Wednesday, February 11, 2009

Kita, Cina, dan India (Renungan Tragedi Demo Sumut)

Dikutip dari Republika Jumat, 06 Februari 2009 pukul 06:56:00
Oleh: Zaim Uchrowi

Berangkatlah dengan damai ke hadirat Ilahi, saudaraku Abdul Aziz Angkat! Engkau bukan korban. Engkau pahlawan meskipun keluarga memilih memakamkanmu di pekuburan biasa. Kepahlawananmu kau tunjukkan dengan kematian yang menjadi penanda bagi seluruh bangsa ini: Moralitas macam apa yang kita miliki sekarang ini sebagai bangsa?

'Pemekaran'. Itu kata indah yang dalam beberapa tahun terakhir menari-nari di benak banyak orang di seluruh Nusantara. Ada argumen indah di balik kata itu. Buat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi, tak sedikit pula permainan kepentingan yang ada di balik kata dan alasan indah itu. 'Pemekaran daerah' berarti memperbanyak jabatan serta kesempatan menyedot dana publik. Akan ada jabatan gubernur, bupati, dan wali kota baru. Akan banyak kursi baru di dinas-dinas, juga di lembaga legislatif. Akan muncul pula orang-orang kaya baru.

Akankah rakyat umum teruntungkan dari 'pemekaran'? Tak selalu. Tak sedikit provinsi, kabupaten, serta kota hasil pemekaran yang sampai sekarang belum layak sebagai provinsi, kabupaten, dan kota semestinya. Tak sedikit pemekaran yang lebih didorong kepentingan elite. Berbagai cara akan ditempuh untuk mengegolkan pemekaran. Termasuk, bila perlu, dengan aksi demo anarkis. Entah apakah hal ini pula yang terjadi pada aspirasi pemekaran Provinsi Tapanuli. Yang pasti, penyampaian aspirasi itu telah berkembang anarkis hingga engkau, Ketua DPRD Sumatra Utara, mengembuskan napas terakhirmu.

Memang seburuk inikah wajah kita saudaraku? Budaya macam apa yang sebenarnya kita miliki saat ini? Dengan budaya yang ada, bagaimana kita dapat menjadi bangsa besar? Bagaimana kita mampu berdiri tegak dan bermartabat sebagaimana India, Cina, apalagi Amerika di tengah kompetisi global yang kian ketat ini? Ataukah kita telah menikmati, lantaran terbiasa, terus berkubang dengan berbagai persoalan? Termasuk dengan pertikaian demi pertikaian? Amerika, Cina, dan India punya modal jelas untuk dapat berjaya di kancah global.

Dengan hegemoni politik dan budayanya, Amerika akan terus mencetak dolar, mengekspor film, musik, budaya makan, program teknologi informasi, serta senjata ke pasar dunia buat memakmurkan dirinya. Cina memiliki masyarakat pekerja superkeras yang mampu mengembangkan industri manufaktur yang menguasai dunia. Maka, di tengah resesi sekarang, pun mereka terus berekspansi untuk menguasai pasar Afrika. Juga, agresif merebut energi di seluruh dunia. Sedangkan, India akan terus tertopang oleh jejaring para profesionalnya yang menguasai lembaga-lembaga serta perusahaan-perusahaan dunia.

Hingga 64 tahun merdeka, kita belum punya modal jelas buat berjaya di dunia. Kita masih bergelut dengan persoalan-persoalan lama, juga tetap mempertahankan perilaku-perilaku lama. Rumitnya pula, kita tidak merasa ada yang keliru dengan keadaan bangsa. Kita tak merasa perlu ada yang diubah dari bangsa ini. Kita tak merasa perlu mendesak para pemimpin, serta seluruh kekuatan politik, untuk bekerja keras mencari jalan baru bagi Indonesia. Kita bukan penguasa seperti Amerika, bukan pekerja keras macam Cina, juga belum jadi profesional global seperti India. Apa yang akan kita andalkan buat mengatasi kemiskinan, keterbelakangan, kemerosotan lingkungan, serta moral yang ada?

Saudaraku Abdul Aziz Angkat, kematianmu mengingatkan bahwa saat ini kita masih terlena. Kita, para akademisi, budayawan, wartawan, profesional, rohaniwan, serta para pendidik, ini masih terus menangguk keuntungan dari kecentangperenangan yang ada. Kita belum sungguh-sungguh berusaha mentransformasi bangsa ini menjadi bangsa maju yang mampu menyejahterakan dan menenteramkan seluruh rakyatnya. Jalan kematianmu adalah jalan syuhada atas bakal terjadinya perubahan mendasar Indonesia.*

No comments:

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka