Monday, October 31, 2022

Menyusur Jejak Kenangan di Kantin Salman

Dua tahun pandemi, membuat banyak tempat tak bisa didatangi. Tidak hanya karena alasan kesehatan sehingga tidak bisa menerima pengunjung, tapi tak sedikit venue yang berubah fungsi karena pandemi. Salah satunya adalah Kantin Salman, kantin kesayangan mahasiswa Kampus Ganesha. Ketika pandemi Kantin Salman ditutup dan difungsikan sebagai kantor merangkap gudang untuk riset pengembangan ventilator Vent-I (ketika covid varian delta sedang ganas-ganasnya). Saat ini, kantin kembali dibuka setelah diremajakan.

Janjian dengan seorang teman untuk makan siang di sana, aku sekalian shalat dzuhur di Masjid Salman, yang juga masjid kebanggaan dan kesayangan muslim-muslimah Ganesha. Bersamaan dengan momen wisudaan di kampus, area parkir jadi penuh sekali. Aku sampai harus berputar 2 kali sebelum akhirnya dapat tempat parkir di dekat bank Muamalat (belakang masjid). Petugas parkirnya sangat kooperatif dan terampil mengarahkan sehingga Ayla silverku bisa muat di spot parkir kecil yang baru saja ditinggalkan oleh mobil sebelumnya. Nuhun nya, A...

Berjalan di bawah gerimis kecil, aku masuk area masjid yang juga sudah lebih segar, termasuk tempat wudhu-nya yang sekarang banyak keran untuk wudhu sehingga antrean jamaah tak terlalu panjang. Lebh nyaman. Masuk area masjid, lantainya pun sudah diremajakan, diganti dengan lantai kayu yang serupa dengan yang sebelumnya. Kali ini lantai berkilat ditempa pendaran lampu temaram dari langit-langit masjid yang lapang tanpa pilar di tengahnya. MasyaAllah... Alhamdulillah. Merasai kembali bersujud di lantai kayu yang ademnya pas. Nggak dingin di saat cuaca dingin, juga tak panas di saat cuaca cerah. Nyaman. Kangennya suasana ini (suasana saat jadi mahasiswa siih, sebetulnya... yang pergi ke masjid untuk pelarian dari penat dan pepatnya ruang kuliah/studio).

Selepas shalat, langkah kaki membawaku ke area kantin yang ternyata tak seramai yang kuperkirakan mengingat di hari tersebut juga berlangsung hajatan wisuda di kampus Ganesha. Aku memutuskan untuk menunggu teman yang sudah janjian akan datang sebelum duduk di area kantin. Pasca pandemi, kantin mengalami peremajaan. Meja-meja panjang berubah menjadi meja persegi dengan kapasitas 4 kursi saja. Dinding pun dibongkar untuk agar sirkulasi udara dapat berputar lebih bebas di area kantin terbuka. Ketika temanku datang, kami pun segera melipir ke konter makanan untuk mengambil menu makan siang kami.

Tak nampak perbedaan pada menu yang ditawarkan. Harga pun masih tetap murah meriah. Piring berisi nasi beserta lauknya yang kubawa ke depan kasir, setelah dihitung ternyata aku tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Aku hanya perlu membayar totalan harga sejumlah Rp 21.000 saja. Rasa masakan pun nyaris tak berubah. Itu menurut temanku. Aku sendiri tak terlalu mmerasakan perbedaan itu. Aku asyik menikmati perbincangan (lebih cocok sesi curhatku) bersama teman lama ini. Dia adik kelas semasa kuliah walaupun beda jurusan, junior juga sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah swasta di area Bandung Utara sebelum dia memutuskan untuk resign dan menjadi ASN.

Nah... kumpul-kumpul, biarpun berdua saja, bisa tetap seru kan... mengingat selama pandemi bertemu muka secara langsung apalagi di tempat umum hampir tidak memungkinkan. Nah, bertemu lagi setelah sekian lama, tentu banyak cerita untuk disampaikan. Bertemu berdua saja membuat kami bebas saling cerita (maafkan aku yang terlalu mendominasi pembicaraan.) Lain kali, ayo kita ulangi dengan teman-teman lama yang membawa energi bahagia. Bertemu lagi di momen silaturahmi, sesuai janji Allah, memperpanjang usaia dan meluaskan rejeki. Kalau begitu, yuk kita ulangi. 

Walaupun sedikit maksa nih, menulis jejak kenangan ini sekalian dijadikan setoran untuk Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yaa.

Friday, October 21, 2022

Kisah Kopi

Kupandangi secangkir kopi hangat di depanku dengan sedikit perasaan bersalah. Sudah lama aku tak minum kopi apalagi yang instan begini. Dan sekarang aku kangen... kupikir, ini untuk mengobati rasa kangen saja. Rasa kangen pada kopi yang bukan kopi sebetulnya. Aku hanya mencari sensasi pada aroma kopi yang menguar dari secangkir kopi dengan sedikit krimer dan gula itu. Sensasi dari sebuah kenangan. Kubiarkan dia mendingin sedikit sambli aku merintang waktu menyisir berbagai aplikasi di ponselku. Biasanya ketika panasnya sudah cukup, kopi begini akan kurirup sekali duduk, tak akan menunggu waktu berlama-lama untuk menghabiskan minuman beraroma sedap itu.

Kopi tubruk klasik. Gambar diambil dari sini.

Perkenalanku dengan kopi dimulai ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, entah kelas berapa tepatnya. Saat itu ada seorang tetangga belakang rumah yang biasa mengasuh kami yang masih kecil-kecil ketika ibu dan bapak berangkat kerja. Mbah, begitu beliau biasa kami sapa. Dia seorang perempuan yang setia dengan jarit dan kebaya dalam kesehariannya, setia juga dengan kopi yang selalu menemani setiap pagi dan sore. Kopi hitam dengan gula. Aromanya yang menguar sungguh membuatku tergoda. Kucicip... dan (mungkin karena manis), aku pun suka. Sejak itu, sesekali aku pun menyeduh kopi sendiri. Kopi tubruk yang entah merek apa, pokoknya apa yang ada di rumah saja. Ibu & bapak menyediakan kopj hanya untuk persediaan sekiranya ada tamu yang berkunjung. Ibu tidak minum kopi, bapak pun hanya sesekali saja. Sepanjang ingatanku, bahkan bapak nyaris tak pernah minum kopi. Aku pun jadinya yaa... sesekali saja.

Masa SMP dan SMA pun kesukaanku pada kopi ya biasa-biasa saja. Masih merasa mendadak bahagia saat menghirup aroma kopi yang wangi, tapi merasa tak perlu mencari-cari saat aroma dan rasa itu tiada. Sesekali aku masih minum kopi, yang sesekali pula beralih ke kopi instan yang lebih praktis tak menyisakan ampas yang mengganggu.

Nescafe Klasik, teman begadang yang asik. Gambar diambil dari sini

Saat kuliah, kopi instan jadi konsumsi sehari-hari, setidaknya 4 kali sepekan. Bukan karena suka luar biasa, tapi karena tuntutan keadaan yang membuatku merasa memerlukan keberadaannya. Untuk teman begadang mengerjakan tugas studio yang berkejaran di hari Sening hingga Kamis. Hari Jumat dan akhir pekan bisa libur ngopi dulu karena kuliah rata-rata 'hanya' kuliah MKDU yang seringkali tak ada tugas yang rutin disetorkan. Dan Minggu malam memulai kembali ritual minum kopi untuk teman begadang. Kali ini yang jadi pilihan adalah nescafe klasik tanpa krimer. Menghirup aromanya saja sudah separuh membuat mata terbuka. Menyesapnya secangkir saja, cukup untuk membuatku terjaga hingga lepas tengah malam. Jelang subuh aku tidur sebentar sebelum kembali beraktivitas seharian.
Kembali ke masa kini, kuteguk kopi hangat dalam cangkir yang sejatinya tak terlalu kunikmati... karena ada perasaan bersalah itulah... Kopi instan begini, kabarnya kandungan kopinya bahkan tidak ada separuhnya. Komposisinya kebanyakan bahan-bahan kimia yang disesuaikan cita rasanya dengan selera pasar. Ketika dokter menyarankan untuk tak terlalu banyak (bahkan sebaiknya menyetop saja) mengonsumsi produk makanan atau minuman instan yang kandungan pengawetnya banyak, ah... maafkan aku, dok. Sesekali sih bolehlah yaa... Buat obat kangen aja kok.
"Bu Diah...?" suara Kang Hary, Service Advisor di AstraBiz menyapa ramah. "Mobilnya sudah siap." ujarnya lagi. Dia menyempatkan duduk sebentar di kursi seberangku untuk menjelaskan beberapa hal terkait Ayla-ku yang menjalani service rutin. "Sekiranya ada keluhan, dalam waktu 15 hari masih bisa komplain dan ada garansi. Tapi jika tidak ada komplain... ya alhamdulillah." lanjutnya menutup pembicaraan sambil wajahnya tak lepas dari senyum ramah di balik masker yang dikenakannya. 
"Siaap, Kang Hary." balasku sambil berpikir... 'garansi 15 hari? minimal 15 hari ke depan aku tak boleh mengonsumsi kopi intan yang sarat pengawet, perasa dan pewarna itu. Oke, Dee? Kita coba disiplin lagi ya. Nggak minum kopi itu jadi sebuah tantangan buatku. Seperti blog posting ini yang dibuat untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Setorr... (Ditulis jelang deadline seperti biasamya dan nggak pakai dopping kopi. Masih amaaan. 👌)

Saturday, October 01, 2022

Skin Care... Should I Care?

Baru-baru ini aku kembali ke rumah yang sempat kutinggalkan sekitar 3 tahun-an. Aku masih berkunjung sesekali ke rumah itu, tapi tak terlalu intens mengamati & mengurusi segala isinya. Sampai di akhir bulan September ini, setelah renovasi kecil selama 3 mingguan, aku siap kembali ke rumah ini. Hampir semua barang tidak berada di tempatnya semula, mengingat isi lemari harus dikeluarkan dulu sebelum digeser dan dipindah tata letaknya. Debu dari proses bongkar rumah menumpuk di sana-sini menyelimuti permukaan barang-barang, buku, pakaian hingga segala pernak-pernik. Kutemukan beberapa kemasan skin care yang pernah kuakrabi beberapa waktu lalu, baik yang separuh jalan dipakai maupun yang masih utuh dalam kemasan. Bisa dipastikan sudah kadaluarsa lah... sayang sekali ya.
Sebagian koleksi produk Oriflame
Ada masanya aku sangat care dengan penggunaan skin care ini. Beberapa tahun lalu, aku tertarik untuk ikut berbisnis ceritanya... skin care dan kosmetik yang dijual dengan sistem multi level marketing, menjanjikan benefit jutaan per bulan, dengan syarat: bisnisnya dijalankan tentunya. Bagaimana cara menjalankan bisnisnya? Produknya dipakai dan jadi testimoni bukti nyata, jualan juga dan tentunya membangun jaringan yang solid.
Aku cocok dengan produknya. Tidak instan yang malah bikin waswas, tapi untuk pemakaian jangka panjang, hasilnya terlihat cukup signifikan. Kantor pusat produsennya berada di Sweden, sedangkan pabriknya tersebar di beberapa negara. Kualitas produknya, aku sih cocok... tapi kualitas kemasannya, ah... ada beberapa yang membuatku kecewa. Kemasan plastiknya mudah patah atau retak yang membuat isinya tak lagi terlindungi secara optimal. Mengingat harganya yang lumayan pricey, aku boleh dong kecewa dengan kualitas kemasannya. Selain itu, ada pertentangan batin juga sih untuk membeli produk luar begini, kok kayak nggak cinta tanah air ya.   
Sesekali dandan pakai eyeliner
Beberapa tahun aku 'menjalankan bisnisnya'. Beli produknya yang rutin kupakai, sesekali dijual juga ke pelanggan yang nggak banyak-banyak amat, juga merekrut dan membina downline. Aku mungkin kurang sabar dan kurang gencar juga menjalani keseluruhan prosesnya. Setelah bertahun-tahun aku kok nggak maju-maju ya. Akhirnya aku memutuskan berhenti dan beralih ke produk lain yang lebih ekonomis dan berbau serta berasa Indonesia. Nggak pakai perang batin pakai produk-produk Wardah karena selain memang cocok di kulit, juga cocok di hati deh... Pengusaha Wardah kan mamah Gajah juga. ;) Ayo kita dukung produk-pproduk Mamah Gajah Ganesha.
Koleksi skin care & kosmetik Wardah
Produk yang kupakai sekarang adalah produk asli dalam negeri, diproduksi di dalam negeri, dan buat aku sih cocok banget, ini. Alhamdulillah, kulitku nggak ada masalah menyesuaikan diri dengan produk baru. Mulai dari foundation kemudian shifting menjadi dd cream yang setia menemani keseharianku, membuat tampilan kulit wajah tampak halus tapi masih terasa ringan. Lipstick dan lip cream-nya favorit banget. Kukoleksi beberapa warna dengan nuansa natural, dalam tone warna orange hingga cokelat. Keseharianku sebenarnya cukup dengan ini saja. Tapi hey... tidak cukup hanya make up standar, sebetulnya perlu juga sih perawatan harian yang rutin. Asal jangan yang ribet, aku sih oke.
Kulengkapi koleksi perawatan kulitku dengan sunscreen (yang masih belum rutin) di pagi hari dan serum di malam hari. Sebelum tidur kusempatkan mencuci wajah dengan facial foam dari rangkaian produk di seri yang sama. Kabarnya sih sebetulnya produk ini kurang cocok untuk kulit wajah separuh abad seperti aku ini. Beauty consultant-nya menyarankan aku pakai yang lebih mahal produk yang lebih tepat buatku dengan kandungan anti-aging. Ah... whatever deh. Saat ini aku pakai skin care yang lebih sesuai dengan budget belanja bulananku saja. Alhamdulillah, kulit wajah nggak manja, mau aja pakai produk apapun. Pakai Wardah nih sekaligus menunjang idealismeku sebagai Warga Negara Indonesia yang mendukung produk-produk Indonesia.   
Nggak mimpi bahwa tampilan kulitku akan seperti Dewi Sandra yang notabene adalah brand ambassador Wardah, tapi minimalnya aku merawat kulitku dengan (cukup) baik. Merawat wajah dan kulit yang dianugerahkan Tuhan ini sudah selayaknya dilakukan. Bukan dengan tujuan untuk mempercantik diri apalagi tabarruj, tapi dengan niat merawat karunia yang sudah diberikan Allah kepada kita. Alhamdulillah dikasih kulit normal yang nggak rewel, cuma perlu perawatan minimal. Jadi, merawat diri ini sudah selayaknya jadi kebiasaan baik. Sewajarnya saja tak perlu berlebihan, cukup untuk menunjukkan bahwa kita peduli dan memberi perhatian pada tubuh kita. So... katakan I care pada skin care.
Buat Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog akhir bulan September ini, yuk lah kita bahas soal skin care. Lain kali kita bahas care yang lain yaa. InsyaAllah.


Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka