Thursday, August 07, 2008

Belajar dari Penjual Arum Manis

(Ini juga nyontek dari Yasmin-barbeku.org)

Sabtu, 26 April 2008, pukul 12.00 pas. Terik matahari persis menerpa kepala, panasnya luar biasa. Hari itu ada kegiatan Hari Bumi di sebuah sekolah. Berbagai kegiatan digelar, mulai dari penampilan siswa, presentasi tentang global warming dan tanam seribu pohon.
Menjelang acara usai, perhatianku tertuju pada kerumunan anak-anak di bawah pohon, dekat pintu masuk sekolah. Riuh rendah suara anak-anak menambah rasa penasaran. Sambil menyeka peluh, kuayunkan langkah kecil mendekati kerumunan. Tampak seorang Bapak – sudah renta – kerepotan melayani anak-anak yang ingin membeli arum manis dan yoyo. Arum manis seharga Rp 1.000,- terbuat dari gula pasir ditambah sedikit zat pewarna. Sementara yoyo yang dijual, bukan dari kayu tetapi dari balon kecil (sebesar bola tenis meja) yang diisi air dan diikat dengan tali elastis, dijual dengan harga Rp 1.000,-.
“Anak-anak, ambilnya yang teratur, jangan lupa uangnya,” terdengar suara parau sang penjual mengingatkan anak-anak yang berebut. Melihat kerumunan yang tak terkendali, kutawarkan bantuan kepada beliau untuk membantu melayani. “Boleh saya bantu melayani Pak,” ujarku menawarkan diri. “Oh.., terima kasih Nak,” sahutnya sambil memasukkan arum manis yang selesai dimasak ke dalam kantong plastik. Sambil berteriak mengingatkan anak-anak untuk antri, aku pun menjadi ‘tenaga salesman’ arum manis dan yoyo dadakan.
Tak sampai setengah jam, terkumpul uang Rp 30 ribu. Ada kepuasan batin yang tak terkira bisa memberikan sedikit Epos (energi positif) membantu Pak Udin penjual arum manis. “Gimana Pak, ramai jualannya?” tanyaku sambil membantu membereskan dagangan. “Alhamdulillah, hari-hari biasa bisa membawa uang ke rumah Rp 25.000,-, kalau ada acara semacam ini mudah-mudahan bisa sampai Rp 50.000,-,” ujarnya sambil tetap menebar senyum.
“Tetapi saya sedih Nak, tadi ada anak beli yoyo dan arum manis harganya Rp 2.000,-. Ia memberi Rp 5.000,-. Belum sempat saya mengembalikan sisa uangnya, ia sudah berlari entah ke mana. Jadi saya pegang uang Rp 3.000,- yang bukan hak saya. Bagaimana cara saya mengembalikannya, ya?”, ujarnya sedih. Tersentak batin ini mendengar keluhannya. Ada cerminan hati sebening kaca, kejujuran dan khawatiran dari raut wajahnya. Diam seribu bahasa, itulah yang aku lakukan, rasa kagumku semakin bertambah. Setelah berpikir sejenak, “Baik Pak, saya akan bantu mengumumkan lewat pembawa acara yang ada di panggung,” sahutku menawarkan solusi. Belum sempat aku melangkah ke panggung, tiba-tiba datang seorang ibu dan anaknya yang ternyata belum mengambil uang kembalian tadi. “Alhamdulillah, ucap Pak Udin berseri-seri. Saya tidak jadi membawa uang yang bukan hak saya,”.
Aku pun pamit meninggalkan Pak Udin dengan perasaan bahagia. “Ini arum manis dan yoyo untuk oleh-oleh anak-anak di rumah,” katanya sebelum kami berpisah. “Terima kasih Pak,” sahutku sambil menolak pemberiannya.
Subhanallah, hari itu kami belajar tentang kejujuran dan indahnya berbagi dari pribadi yang luar biasa yang semangat dan nuraninya patut diteladani, Pak Udin penjual arum manis. (Setiyo Iswoyo)

No comments:

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka