Rabu siang menjelang sore, 2 September 2009. Anak-anak TK sudah pulang sejak sebelum tengah hari, sementara anak-anak SD baru saja dibubarkan dan bersiap pulang. Beberapa anak sudah dijemput oleh orang tua atau sopir jemputannya masing-masing, pulang ke rumah. Beberapa anak lainnya masih asyik di sekolah, bermain sambil menunggu saat pulang ke rumah. Anak-anak SMP beristirahat sejenak usai melanjutkan tadarus alQuran. Jam tiga nanti mereka akan berlatih angklung untuk tampilan perdana di depan petinggi yayasan dan Kota Baru, dalam event peresmian pemasangan tiang pancang pertama pembangunan mesjid raya Kota Baru. Aku, sebagai pelatih angklung amatiran, beristirahat sejenak usai mengajar di kelas 6.
Hari itu hari yang melelahkan. Aku hanya mengajar di tiga kelas, sebetulnya, tapi ketiganya berada di lantai yang berbeda, maka bolak-baliklah aku ke atas dan ke bawah dengan membawa segala perlengkapan seni, "senjataku" untuk mengajar. Capek... niatnya sih mau istirahat dulu sebentar deh sebelum naik lagi ke ujung lantai tiga, untuk melatih angklung di ruang musik sekolah kami. Baru beberapa saat di depan komputer, mengecek mailbox-ku, kurasakan guncangan kecil yang berangsur semakin kuat. 'Apakah gempa?' pikirku. Menunggu... akankah dia berhenti? Oh, ternyata tidak. Guncangan semakin kuat dan semua yang masih ada di sekolah berhamburan ke luar ruangan, mencari tempat lapang.
Berlarian menuruni tangga, kepanikan melanda. Sebagian semen dari sambungan dua buah gedung, berguguran dalam serpihan kecil-kecil. Takbir dan tasbih diucap tak putus, berharap kemurahan Allah. Satu-dua menit, guncangan gempa akhirnya reda. Tangis beberapa anak terdengar di sana-sini. Mulai dari yang takut, panik, atau justru karena takut dimarahi sang ibu karena kehilangan sebelah sepatu saat berlari ke ruang terbuka. Ah... ada-ada saja.
Tak berapa lama kemudian, kami 'diusir' dari pelataran dalam sekolah, untuk menuju ke ruang terbuka lainnya di halaman depan sekolah, mengantisipasi kemungkinan adanya gempa susulan.`Bergegaslah kami ke depan. Segera seusai itu, kami sibuk bertelepon ke sana-sini. Hampir semua orang terlihat memakai telegon genggamnya. Tapi tampaknya line telefon juga teramat sibuk, atau memang putus. Setelah berkali-kali mencoba, aku berhasil mengontak dua kakakku, yang juga merasakan gempa serupa.
Gempa rupanya berpusat di Tasikmalaya, dengan kekuatan 7,3 skala Richter. Kuat. Sungguh. Sementara di daerah Cianjur, daerah yang mengalamai kerusakan terparah, para relawan berupaya menjangkau daerah mereka. Daerah lain yang mengalami kerusakan juga adalah Bandung selatan, seperti Banjaran dan Pangalengan. Masya Allah... itu kan tidak seberapa jauh dari rumah kami. Rumah kami pun mengalami retak-retak sedikit. Bukan kerusakan berarti sih dibandingkan robohnya rumah saudata-saudara kami di tempat lain. Sungguh, peringatan Allah ini... terasa begitu nyata di bulan puasa ini. Bahwa usia manusia bisa berakhir kapan saja, di mana saja, dan bagaimana pun caranya. Gimana Allah saja. Allaahu akbar!
Hari itu hari yang melelahkan. Aku hanya mengajar di tiga kelas, sebetulnya, tapi ketiganya berada di lantai yang berbeda, maka bolak-baliklah aku ke atas dan ke bawah dengan membawa segala perlengkapan seni, "senjataku" untuk mengajar. Capek... niatnya sih mau istirahat dulu sebentar deh sebelum naik lagi ke ujung lantai tiga, untuk melatih angklung di ruang musik sekolah kami. Baru beberapa saat di depan komputer, mengecek mailbox-ku, kurasakan guncangan kecil yang berangsur semakin kuat. 'Apakah gempa?' pikirku. Menunggu... akankah dia berhenti? Oh, ternyata tidak. Guncangan semakin kuat dan semua yang masih ada di sekolah berhamburan ke luar ruangan, mencari tempat lapang.
Berlarian menuruni tangga, kepanikan melanda. Sebagian semen dari sambungan dua buah gedung, berguguran dalam serpihan kecil-kecil. Takbir dan tasbih diucap tak putus, berharap kemurahan Allah. Satu-dua menit, guncangan gempa akhirnya reda. Tangis beberapa anak terdengar di sana-sini. Mulai dari yang takut, panik, atau justru karena takut dimarahi sang ibu karena kehilangan sebelah sepatu saat berlari ke ruang terbuka. Ah... ada-ada saja.
Tak berapa lama kemudian, kami 'diusir' dari pelataran dalam sekolah, untuk menuju ke ruang terbuka lainnya di halaman depan sekolah, mengantisipasi kemungkinan adanya gempa susulan.`Bergegaslah kami ke depan. Segera seusai itu, kami sibuk bertelepon ke sana-sini. Hampir semua orang terlihat memakai telegon genggamnya. Tapi tampaknya line telefon juga teramat sibuk, atau memang putus. Setelah berkali-kali mencoba, aku berhasil mengontak dua kakakku, yang juga merasakan gempa serupa.
Gempa rupanya berpusat di Tasikmalaya, dengan kekuatan 7,3 skala Richter. Kuat. Sungguh. Sementara di daerah Cianjur, daerah yang mengalamai kerusakan terparah, para relawan berupaya menjangkau daerah mereka. Daerah lain yang mengalami kerusakan juga adalah Bandung selatan, seperti Banjaran dan Pangalengan. Masya Allah... itu kan tidak seberapa jauh dari rumah kami. Rumah kami pun mengalami retak-retak sedikit. Bukan kerusakan berarti sih dibandingkan robohnya rumah saudata-saudara kami di tempat lain. Sungguh, peringatan Allah ini... terasa begitu nyata di bulan puasa ini. Bahwa usia manusia bisa berakhir kapan saja, di mana saja, dan bagaimana pun caranya. Gimana Allah saja. Allaahu akbar!
No comments:
Post a Comment