Idul fitri sudah dekat. Teringat lagi momen idul fitri di penghujung November 2003, ketika aku melewatkan salah satu Idul fitri paling berkesan di negeri seberang, Jepang.
Jadi satu pengalaman mengharukan ketika aku berkesempatan untuk mengikuti shalat Ied di kedutaan besar Indonesia. Di malam takbiran, aku numpang menginap di asrama seorang kawan. Kurang syahdu rasanya tanpa adanya gema takbir sepanjang malam. Paginya, setelah berjuang di kepadatan lalu lintas Tokyo, disambung dengan jalan kaki yang cukup melelahkan (apalagi karena dilakukan dengan bergegas), sampailah aku dan beberapa kawan di halaman Balai Indonesia. Pagi itu gerimis, tapi tentu saja ‘the show must go on’ alias shalat Ied harus tetap dilangsungkan. Aku sebetulnya sudah ketinggalan shalat, tapi … masa mesti masbuk sih? Tapi ternyata ada shalat Ied gelombang kedua, dan bahkan ketiga!
Seusai shalat, aku berbaur dengan jamaah lain di dalam gedung untuk menikmati sajian makanan khas Indonesia ataupun sekedar kue-kue camilan sambil berbincang-bincang dengan kawan sesama muslim lain, yang notabene baru kutemui pada saat itu. Tapi kami betul-betul serasa saudara. Tidak pernah kenal sebelumnya, tapi saling menyapa ramah. Kalau saja muslim di Indonesia bisa juga seperti ini ya? Indahnya…
Jadi satu pengalaman mengharukan ketika aku berkesempatan untuk mengikuti shalat Ied di kedutaan besar Indonesia. Di malam takbiran, aku numpang menginap di asrama seorang kawan. Kurang syahdu rasanya tanpa adanya gema takbir sepanjang malam. Paginya, setelah berjuang di kepadatan lalu lintas Tokyo, disambung dengan jalan kaki yang cukup melelahkan (apalagi karena dilakukan dengan bergegas), sampailah aku dan beberapa kawan di halaman Balai Indonesia. Pagi itu gerimis, tapi tentu saja ‘the show must go on’ alias shalat Ied harus tetap dilangsungkan. Aku sebetulnya sudah ketinggalan shalat, tapi … masa mesti masbuk sih? Tapi ternyata ada shalat Ied gelombang kedua, dan bahkan ketiga!
Seusai shalat, aku berbaur dengan jamaah lain di dalam gedung untuk menikmati sajian makanan khas Indonesia ataupun sekedar kue-kue camilan sambil berbincang-bincang dengan kawan sesama muslim lain, yang notabene baru kutemui pada saat itu. Tapi kami betul-betul serasa saudara. Tidak pernah kenal sebelumnya, tapi saling menyapa ramah. Kalau saja muslim di Indonesia bisa juga seperti ini ya? Indahnya…
Aku ketemu dengan Daichi dan kedua orangtuanya. Daichi ini pernah jadi muridku di kelas satu ketika aku mengajar di sekolah terdahulu. Nggak lama, hanya beberapa bulan, sebelum aku harus berangkat ke Jepang. Tahun berikutnya, giliran dia dan keluarganya yang kembali ke Jepang. Ibunya adalah warga negara Jepang. Saat itu, bicara dengan Daichi sudah harus pakai bahasa Jepang. Dia mulai lupa bahasa Indonesia. 私も日本語もうだんだん忘れちゃうんだ...。Sayang... Nggak lama berbincang dengan mereka, aku pulang ke Gunma, tempat tinggalku selama di Jepang.
Siang itu aku langsung pulang ke Maebashi dengan kereta api. Di stasiun, hilir-mudik wajah-wajah melayu, sedangkan kereta pun nyaris penuh dengan orang Indonesia. Kalau kita memejamkan mata, serasa mudik deh, karena rata-rata mereka berbicara dengan bahasa daerah masing-masing. Lucu juga. Ada Padang, Medan, Sunda, Jawa, hm... apa lagi ya? Pokoknya terasa kental-lah nuansa Indonesia-nya. Sepanjang memejamkan mata, serasa ada di Indonesia. Tapi... aku kangen untuk kembali ke sana.
Siang itu aku langsung pulang ke Maebashi dengan kereta api. Di stasiun, hilir-mudik wajah-wajah melayu, sedangkan kereta pun nyaris penuh dengan orang Indonesia. Kalau kita memejamkan mata, serasa mudik deh, karena rata-rata mereka berbicara dengan bahasa daerah masing-masing. Lucu juga. Ada Padang, Medan, Sunda, Jawa, hm... apa lagi ya? Pokoknya terasa kental-lah nuansa Indonesia-nya. Sepanjang memejamkan mata, serasa ada di Indonesia. Tapi... aku kangen untuk kembali ke sana.
No comments:
Post a Comment