Sunday, March 20, 2022

Kucing Garong


“Dasar kucing garong! Kuletakkan gagang telefon di tempatnya sambil memaki si penelefon di luar jangkauan pendengarannya.
Untuk ketiga kalinya, dia mengajakku makan bersama. Kali ini buka puasa bersama ceritanya, tapi dia hanya ingin berdua saja. Huh! Setelah gagal dengan usahanya mengajakku makan bersama di restoran miliknya, dia masih belum putus asa rupanya.
Bukan cuma sebal, aku jadi sedih. Hingga saat ini, hanya dia yang berani mengajakku 'kencan', sementara orang yang kuharapkan akan membawaku pergi ternyata malah mengajak menikah… gadis lain. 
Setelah bubaran dengan tunanganku awal tahun, aku tidak putus harapan. Aku yakin, masih ada laki-laki baik yang potensial untuk kujadikan pasangan hidup. Tidak semua laki-laki brengsek lah... Tapi yang datang kok dia? Laki-laki beristri itu, yang bahkan anaknya ada di kelasku!!!
Mantan tunanganku was bad enough. Dia mengaku sudah bercerai dari istri yang memisahkannya dengan dua putrinya. Tapi ketika kami sudah mulai mempersiapkan pernikahan dan menentukan tanggal, eh… dia bilang,”Maybe we have to delay our marriage. I haven’t really divorced from my wife.” Hari itu juga aku deklarasikan perpisahan dengannya. Sayangnya, aku tak bisa bertemu muka dan menampar wajahnya personally. Kami terpisah samudera.

Undangan acara buka bersama dari karibku semasa SMA rasanya bisa jadi pengalih perhatian nih. Sofi jadi tuan rumah. Yanti yang berdinas di Purwakarta kebetulan sedang di Bandung. Aku sendiri, setelah lulus kuliah dan mengajar di sebuah sekolah swasta, bisalah mampir ke rumah Sofi dengan acara bertajuk reuni ini. Tak kusangka hadir juga cowok-cowok se-gang ketika Paskibra dulu. Fadil datang bersama istrinya, sedangkan Teddy yang sekarang bekerja di Jakarta, datang dengan style. Betul-betul reuni kecil yang meriah.
“Dengar-dengar, ada kabar baik nih, Ted? Kok undangannya belum sampai ke sini?” Sofi membuat muka Teddy memerah dengan pertanyaannya. Yang tidak dia tahu, mataku pun membulat mendengar pertanyaan itu. Teddy mau menikah?? Dan dia tidak mengajakku untuk menjadi pengantinnya? Krkkk.. krak!! Aku patah hati lagi.
“Iya. Insya Allah setelah lebaran.”
“Eh… kirain bakalan sama Desi.” Celetuk Yanti, ringan saja. Kali ini aku yang gelagapan.
“Dari dulu udah dijodoh-jodohin, eh gagal.” Yanti memang paling rajin ngeledekin aku dengan Teddy sejak dulu. Sejak kami sama-sama aktif di Paskibra.
“Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik…” ujarku menyitir sebuah hadits nabi.
“Teddy terlalu baik lah buatku….” Ujarku. Rasanya aku berhasil menyembunyikan rasa hati yang sesungguhnya.
“Bukan sebaliknya, Des?” timpal Teddy tersenyum. Masih menawan seperti dulu.
“Ya… mungkin juga.” Ujarku. Komentar garing! Tiba-tiba aku kehilangan sense of humor. Kusembunyikan kecewaku di balik tegukan besar es kelapa muda segar. 

Sejak Yanti semangat sekali menjodoh-jodohkan kami berdua, tepatnya meledek kebersamaan kami, aku memang jadi lebih memperhatikan dia. Kepribadiannya yang tenang, dikombinasikan dengan otak encer, plus tampang dan hati yang cenderung di atas rata-rata, cukup membuat diariku padat dengan cerita tentang dia.
Dari 5 orang bersahabat di Paskibra, selepas SMA kami saling berpisah. Aku dan Teddy bertemu lagi di kampus yang sama walaupun berbeda jurusan. Aku di Biologi, sementara Teddy mengambil Teknik Informatika.
Di kampus Ganesha, kurasakan jatuh cinta yang sesungguhnya pada dia. Betapa berdebarnya ketika lewat di depan gedung fakultasnya. Hanya melihat mobilnya parkir di tepi jalan Tamansari saja sudah membuatku tersenyum-senyum sepanjang hari. Sekilas melihat sosoknya di gedung Oktagon saat kuliah umum pun sudah cukup membuat kupu-kupu di perutku berdansa. Bertemu dan disapanya dalam perjalanan ke perpustakaan, membuatku merasa berbunga-bunga. Gila! Tanpa disadarinya, dia jadi penyemangatku, dan memacuku untuk lulus cepat, sementara dia kelihatannya betah dengan suasana kampus.

Ponselku bergetar. Kulirik layarnya untuk melihat identitas si penelepon. Si kucing garong! Ah… tidak cukup menderitakah hariku saat ini?
“Maaf… saya tidak bisa bicara saat ini, Pak.” Ujarku formil, dan langsung menutup telefon.
“Judes amat sih, Des!” celetuk Yanti.
“Biarin ah.” Ujarku tak acuh.
Kubiarkan handphone-ku bergetar hingga berhenti sendiri.
Reuni kali itu tidak lagi meriah. Perpisahan di halaman rumah Sofi saat itu jadi perpisahan sungguhan. Selamat menempuh hidup baru, Teddy. Hiks.

* * *

Ponselku bergetar. Kulirik layar depan ponselku, nama Teddy terbaca di sana. Kutarik nafas panjang.
“Hallo! Mau nganterin undangan ya? Kapan?” rentetan pertanyaanku sebelum dia bahkan sempat menyapa. Jeda sesaat. Kurasakan dia tersenyum di seberang.
“Akhir minggu ini aku ke Bandung. Bisa ketemu?”
“Bisa. Di Warung Pasta aja ya.”
“Oke. Kalau kamu nggak datang, undangannya aku kirim.”
“Iya…iya… aku datang.”

* * *

Aku datang lebih dulu. Kupilih satu tempat di area depan taman dan membuka ponselku sambil menunggu. Tak berapa lama, dia mengetuk meja di hadapanku. Kami bertukar senyum lalu dia duduk berseberangan. Kami saling berdiam diri sampai pesanan kami datang.
“Maafkan aku…” katanya. Aku mengangkat alis. Bertanya.
“Lama tidak bertemu. Aku memang sengaja menghindarimu.”
“Oh… nggak apa-apa. Aku sudah duluan (menghindarimu).” kupuntir spaghettti di piringku lalu kusuapkan sekaligus untuk kemudian kukunyah dengan geram.
“Sebenarnya… aku sangat menyukaimu,” ujarnya, dengan suaranya yang terdengar berat dan susah keluar. Kunyahanku berhenti. Ini anak… pada detik-detik penyerahan kartu undangan pernikahannya, tega-teganya dia bilang begitu???
“Aku ingin namamu yang tercetak di undangan ini, bersanding dengan namaku. Tapi sekaligus juga tidak ingin. Kita terlanjur sahabatan.”
Entahlah, aku harus tersanjung, marah, kecewa, atau malu dengan hal itu. Tak ayal, aku ingin tahu juga apa alasannya.
“Sebagai sahabat, aku ingin memberi yang terbaik buat kamu. Nasihat, cukup baik nggak?” tanyanya sambil mempermainkan sendok di tangannya.
“Bolehlah.”
“…” kulihat mukanya yang tepat di depanku. Gila! Dia masih setampan dulu, bahkan auranya makin menyala! Kupalingkan pandanganku ke piring di hadapanku.
“Tetaplah seperti kamu sekarang ini.” Ujarnya kemudian.
“Ha???” Itu saja nasihatnya?” dia mengangguk.
“Itu sih nggak perlu dikasih tahu lagi…”
“Supaya aku nggak menyesal kalau menikah nanti.”
“Ya jangan dong!”
“Kalau kamu jadi feminin, manja, dan tidak mandiri, aku akan menyesal tidak menikahimu.”
“Kamu jahat ih! Tega ngomong begitu.” Dia diam.
“Memangnya, calon istrimu, karakternya gimana sih?”
“Prita? Dia feminin, manja, dependent. Dengan begitu, aku merasa dibutuhkan.” Aku mengangguk-angguk.
“Baguslah.”
“Tapi selera humormu, aku suka.” Sambungnya kemudian.
“Nggak perlu aku. Kamu bisa sewa badut Ancol. Lebih dekat.”
“Kamu cerdas, aku respek karena itu.”
“Makasih yaa.” Sebuah reaksi garing lagi.
“Kamu mandiri, tegar, sabar, pintar …”
“Bundar,” sambungku asal saja. Dia tersenyum kecil.
Strong sense of humor. Satu sisi dirimu, aku suka.” Makin lama dia bicara, sebetulnya hatiku makin teriris.
“Tapi aku ingin merasa dibutuhkan, tidak hanya untuk teman diskusi. I want a friend, a wife, a mother for my kids, a sister, and a lover in one person.”
And you found all of them in your future wife. I see. Congratulations.” Aku tersedak. Aku belum mengunyah spaghetti sialan itu dengan baik.
“Tidak semua, memang. But nobody’s perfect. Sebagiannya ada padamu.”
“Aku nggak keberatan jadi istri kedua.” Ujarku. Mudah-mudahan dia tidak mendengar keseriusan dalam nada suaraku. Lagi-lagi, dia cuma tersenyum.
“Maafkan aku, Tam. Kuharap kamu mendapat pendamping terbaik.” Eh, dia memanggilku “Tam”? Nama kecilku. 
“Aku berpikir lebih baik menjaga jarak kita supaya tidak ada yang kecewa. Mungkin akulah yang akan paling kecewa karena dari dulu, sejak teman-teman meledek menjodoh-jodohkan kita di SMA dulu, aku mulai memperhatikan kamu, dan ternyata aku suka. Entahlah dengan kamu, aku rasa kamu sangat baik sebagai sahabat. Tapi kamu terlalu mandiri, tak memerlukan apa-apa dari orang lain. Aku merasa tidak berharga di sisimu, tidak pantas. Daripada berharap muluk-muluk, aku sudah merasa puas dengan persahabatan kita. Meskipun sering menghilang dan menjaga jarak, sebenarnya aku tetap nggak mampu melupakan kamu.”
‘Lalu mengapa kamu muncul lagi sekarang, with shocking news like this?’ satu kalimat dalam benakku menginginkan jawaban.
“Prita biasa memintaku untuk menemaninya ke sana-sini, dan itu membuatku merasa dibutuhkan.”
Good for you. She’ll be a good wife, your lover, your friend, your sister, mother for your kids, she’ll be just perfect!” Aku biasa bicara dalam bahasa Inggris kalau sedang kalut. Bukannya sok gaya, tapi justru untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu akan terkait erat dengan perasaanku saat aku bicara. Dan saat ini aku sedang sakittt, dan aku tak ingin dia tahu.

Padahal, akhir-akhir ini, entah dirasuki setan apa, aku mulai sedang-hampir-akan mempertimbangkan usul Fasya, teman kantor yang terkenal dengan ide-ide brilyan (baca: edan) untuk melamar dia saja, daripada nunggu dilamar dan dia memang ternyata tak datang-datang. Lebih baik didului saja, begitu katanya. Hampir saja ide gila itu kulaksanakan. Untung saja tidak jadi. Atau malah rugi? Ah… Entahlah. Aku tak tahu lagi. Yang kutahu, sekarang ini aku ingin segera pergi dari hadapan pria perampok hatiku ini, yang tak juga dikembalikannya hingga kini. Yah… bawa pergi sana sebagian hatiku! Aku tak kuasa merebutnya kembali dari kucing garong yang satu ini. Kuhabiskan spaghetti di piringku, lalu kuteguk juga jus lemon dalam gelas tinggi di hadapanku. Kecut…! Biarlah kecut ini terasa sampai ke hati. Ih!! Sentimentil banget sih Tam? Kutegakkan mukaku, menatap langsung ke bulat matanya.
“Selamat ya…!”
“Kamu akan datang di pernikahan kami?”
“Mungkin.”
“…” dia tidak berkata-kata lagi. Lalu kami berpisah. Kubawa kartu undangan cantik darinya dengan tangan yang dingin.

Aku pulang dengan sebuah kehancuran jiwa yang baru. Apa yang salah dengan takdirku? Kenapa aku (pernah) jatuh cinta pada dia? Dia yang telah mencuri hatiku dan membawanya pergi. Hatiku tak kan pulih dalam waktu dekat. Jadi… kayaknya untuk saat ini aku akan terima nasihat Teddy sepenuh hati. Tetaplah seperti kamu sekarang ini. I am what I am. Biarpun nanti malam bantalku akan basah dengan air mata hasil nangis Bombay, tapi aku akan tetap jadi gadisnya, seperti yang dia mau. Gadis yang tegar, pintar, sabar, dan… bundar? Hah!!! Yang terakhir nggak-lah.

* * *
Tayang perdana di Majalah Chic edisi Juli 2007. Tayang ulang dengan edit pangkas habis untuk ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog’ edisi Maret: Cerita Fiksi (Dengan Unsur) ITB

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka