Tuesday, May 31, 2022

Solusi Sehat Body Sampai Kuku

Kesehatan itu jadi modal banget untuk menjalani kegiatan keseharian. Orang-orang rela mengupayakan banyak hal agar kondisi kesehatan selalu prima. Berbagai suplemen bermunculan dengan segala janji untuk meningkatkan imun tubuh lah, untuk menjaga kesehatan kulit lah, untuk memelihara kesehatan jantung lah, untuk mencegah penyakit ini lah itulah, tinggal pilih saja mana yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dari segala suplemen yang beredar, satu yang klasik abadi menurutku itu adalah madu. Kemudian madu pun muncul dengan segala variannya. 
Aku sendiri rutin mengonsumsi madu. Tiap hari. Madu kuning juga madu putih. Sempat juga mengonsumsi madu hitam yang rasanya pahit dengan khasiat yang katanya begini dan begini. Tapi sudahlah... hidup sudah pahit, mengapa harus dibuat lebih pahit dengan konsumsi madu pahit? :p Maka aku mencukupkan diri dengan selalu menyiapkan dua jenis madu di rumah. Madu kuning untuk dicampur dengan air perasan lemon, yang kubawa untuk bekal minum sehari-hari. Sedangkan madu putih kupakai untuk campuran jamu supaya rasanya tidak segetir kehidupan ini.
Madu yang kupunya biasanya dikemas dalam botol plastik atau kaca (yang ada emboss merek sirop ternama) dengan tutup plastik dobel berupa ulir dan sumbat untuk menjaga agar madu tetap dalam kondisi terbaiknya. Nah... ketika membuka sumbat yang menutup mulut botol dengan begitu rapat, tentu perlu usaha ekstra dan kadang alat ekstra. Sesekali aku pakai pisau, tapi tak jarang aku pakai ujung kuku untuk membuka plastik sumbat botol yang bentuknya seperti topi boater atau bowler itu. Nah, dalam upaya membuka tutup botol sumbat itu, kukuku menjadi rusak karenanya. Apalagi dipakai buka-tutup sumbat botol madu tiap hari lebih dari sekali. Aku nih punya masalah kuku yang rapuh, tak seperti hatiku yang kukuh. Jiaahhh...
Belakangan, aku menemukan produk honey dispenser ini. Bentuknya lucu, seperti sarang lebah dengan motif pola honeycomb di bagian luarnya. Terbuat dari plastik bening dengan tutup bertangkai yang dilengkapi dengan kenop untuk membuka dan menutup aliran madu di bagian bawah. Bagian bawahnya yang berbentuk seperti dudukan telur dipakai untuk menaruh dispenser ketika sedang tidak digunakan dan menampung tetesan madu sekiranya masih ada yang menetes. Setidaknya, dia menetes di dalam wadah, bukan berceceran di meja. Satu set honey dispenser ini dilengkapi juga dengan sumbat untuk menahan madu agar tidak tumpah saat wadah sedang diisi. 
Honey dispenser ini bisa didapat dengan mudah di market place dengan rentang harga yang beragam. Dasar si aku nggak mau rugi, tentu aku cari yang harganya paling murah. Dan dengan konsep nggak mau rugi pula, aku sengaja beli 2 buah untuk kedua jenis maduku. Kebetulan harganya tidak sampai 50 ribu rupiah untuk sebuah dispenser, maka aku beli 2 sekaligus supaya bisa dapat benefit bebas ongkir (kalau belanja di bawah 50K nggak dapat promo bebas ongkir).
Cara pakainya mudah dan praktis. Untuk mengisinya kita pasang dulu sumbat di lubang bagian bawah, lalu tuangkan madu dari bagian atas setelah membuka tutup ulirnya yang bertangkai. Setelah wadah terisi, pasang kembali penutupnya lalu sumbat bisa dibuka. Setelah itu tempatkan dispenser ini di dudukannya sebelum digunakan. Ketika tiba saatnya untuk mengonsumsi madu, tinggal angkat dispenser mungil ini sambil memegang handle-nya, lalu tekan tuas di bagian pegangan, maka madu pun akan mengalir lancar dari lubang kecil di bagian bawah. Isi ulang madu ke dispenser ini cukup satu  hingga dua minggu sekali, jadi kuku rapuhku punya kesempatan untuk pulih sebelum kembali dipakai untuk membuka sumbat botol madu.
Satu kekurangan dari dispenser ini, masih ada sedikit lubang/celah di bagian penutupnya yang membuat aromanya menguar dan mengundang semut untuk datang. Beberapa kali, kudapati semut terjebak di bagian dalam dispenser ini. Tapi masalah kecil begini tentu bisa diatasi dengan mengoleskan sedikit minyak di area luar agar semut tidak bisa masuk. Atau lain kali, memang skunya saja yang mestinya beli madu asli supaya tidak disemutin. Madu yang kubeli mungkin agak-agak KW, yang banyak campuran gulanya sampai disamperin semut begini. Baiklah... lain kali aku beli madu asli lah.

Lain kali juga, aku bikin review tentang madu putih vs madu kuning atau madu hitam juga deh. Atau review produk lainnya. Tapi belum janji yaa. Kali ini sih janji buat setor blog post di event Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei ini. Terima kasih ya sudah mampir di sini.

Saturday, May 07, 2022

Ketupat Ketan Untuk Lebaran

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei ini adalah "Makanan Khas Kota Mamah". Duh... apa ya yang khas dari sini? Sebagai orang yang numpang hidup di Bandung hampir seumur hidup, aku nggak terlalu familier juga dengan kuliner Bandung. Lahir dari pasangan Jawa dan Tondano, selera di keluarga cukup beragam. Aku sendiri cenderung lebih suka gudeg dan makanan yang manis-manis, seperti seleranya bapak dan nggak ngikut seleranya ibu yang lebih suka ikan serta segala rica yang pedas-pedas. Lama tinggal di Bandung ternyata membuat ibu agak menurunkan standar kecintaannya pada masakan berbahan dasar ikan. Kenapakah? Katanya ikan di Bandung rata-rata tidak segar, akibat 'sudah mati 7 kali'. 🤣

Mengingat ini masih suasana lebaran, aku tuliskan serba sedikit memori tentang makanan khas Idul Fitri (dan Idul Adha) yang selalu ada di meja makan kami setiap tahun. Ketupat ketan, yang dimasak dengan santan. Lauknya bisa apa saja, sesuai usulan kami. Bisa rendang, opor ayam, gulai, kare, apapun lah, suka-suka saja.

Ketupat ketan dan lauknya. Bisa apa saja.
Ketika ibu masih ada, beliaulah yang selalu mengolah ketupat ketan ini. Kami anak-anaknya hanya membantu mengisi kulit ketupat dengan beras ketan yang sudah dicuci, dicampur sedikit santan dan ditaburi garam. Mengisi kulit ketupat harus di batas tiga perempat alias hampir penuh. Ibu selalu mengecek lagi hasil pekerjaan kami sebelum merebusnya dalam wajan atau panci besar berisi santan yang digarami lagi. Merebus ketupat ketan dalam santan tentu tak bisa ditinggal begitu saja seperti merebut ketupat beras. Rebusan harus terus dijaga, diaduk sesekali supaya santan tidak pecah. Itu pekerjaan yang dilakukan berjam-jam. Melelahkan tentunya. Setelah kenal dengan panci presto, ibu pun beralih menggunakannya untuk merebus ketupat. Cukup setengah jam saja setelah api dikecilkan dan hasilnya nggak jauh beda dengan ketupat yang dimasak dengan cara tradisional.

Ketupat ketan selalu jadi favoritku setiap tahun, dinanti-nanti keberadaannya karena rasanya yang gurih, beraroma sedap santan dengan tekstur yang kenyal. Apapun padanan lauknya, aku tak terlalu ambil pusing. Ketupatnya sendiri sudah enak kok. Mengingat kami adalah keluarga campuran dari dua suku yang berbeda, tak nampak dominasi suku tertentu di meja makan. Saling toleransi sajalah. Bapak juga nggak rewel kok soal makanan. Makan apapun, dibawa asik aja. Hal ini terbawa ke kami, anak-anaknya. Hayu, mau makan ketupat ketan pakai lauk apa? Setelah 1-2 hari lebaran, bosan dengan rendang atau opor ayam, ketupat ketan dimakan dengan abon saja pun jadilah.

Perdana memasak ketupat ketan hitam.

Setelah ibu meninggal dunia, tradisi memasak ketupat ketan dilanjutkan oleh kakak sulungku. Pernah di sebuah momen lebaran, kakakku ingin memasak ketupat memakai beras ketan hitam. Hmm...? Tidak biasa tapi ya kita turuti saja. Mengenai rasa, tak jauh berbeda dengan ketupat beras ketan putih. Cuma warnanya saja tampak eksotis.

Ketupat rice cooker vs presto.
Tradisi memasak ketupat ketan di setiap lebaran kulanjutkan setelah kakak sulungku berpulang. Aku tidak masak banyak-banyak karena aku tinggal sendiri saja. Kadang aku hanya memasak setengah kilo atau paling pol sekilo beras ketan (bisa jadi 12-14 buah ketupat berukuran sedang cenderung kecil) yang kubagi bersama kakak yang tinggal di komplek sebelah, atau dicicip teman yang berkunjung ke rumah. Tahun ini aku masak sekilo yang ternyata tidak muat di dalam panci presto imutku. Yuk bagi dua deh, sebagian kumasak di panci presto, sebagian lagi di rice cooker dengan mode memasak beras merah (sekitar 55 menit). Hasilnya? kurang lebih sama-lah.

Untuk mengabadikan tradisi hidangan lebaran ini, kubagikan langkah-langkah pembuatan ketupat ini di salah satu aplikasi memasak. Ternyata eh ternyata, ada web yang mengambil gambarku dan menyalin tulisan dari aplikasi memasak itu tanpa menyebut sumber. Untuk kali ini, aku tak akan mempermasalahkan deh... berprasangka baik saja karena ini adalah masalah tradisi, jadi dirasa pantas untuk dibagikan kembali. Kumaafkan lahir dan batin, semoga bermanfaat dan selamat menikmati ketupat ketan.

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka