Tuesday, September 19, 2023

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka

Di, udah lama nih kita nggak ketemuan. Ketemuan yuk!

Sebuah pesan whatsapp kubaca di ponselku. Dari Mima, seorang teman yang pernah menjadi kolega di sebuah institusi di suatu masa. Ya... rasanya sudah cukup lama juga kami tak bersua dan bertukar kabar. Kubalas pesannya segera,

Yuk! Mau di mana? Kapan?

Di Ciwalk yuk. Sabtu ini?

Humm... sebetulnya agak males sih ke daerah macet begitu di akhir pekan, tapi sesekali aja kan ini... dengan tujuan silaturahmi pula, jadi baiklah, mari kita jabanin.

~๐Ÿงก~

Sabtu sore pun datang. Aku sampai lebih dulu di resto yang sudah kami sepakati, sedangkan Mima datang tak lama kemudian dengan senyum lebarnya yang khas. Setelah cipika-cipiki dan sedikit basa-basi, kami pun menelusuri daftar menu untuk memilih menu makan sore kami. Hihii... iya, sore. Bukan makan siang, bukan pula makan malam. Pokoknya makan bareng lah judulnya, ini. Aku memilih sate maranggi yang jadi rekomendasi resto ini, sedangkan Mima memilih menu lain yang berkuah. Katanya dia sedang menghindari masakan yang dibakar atau dipanggang, padahal aku tahu betul dia sangat suka persatean,  makanya aku pilih resto ini untuk tempat ketemuan kami.

"Kenapa nggak nyate? Eh... kalau tahu sedang menghindari bakar-bakaran, kita bisa ke tempat lain aja tadi," ujarku sambil sedikit merasa bersalah.

"Nggak apa-apa... masih banyak menu lain yang bisa dinikmati kan?" Jawabnya ringan saja.

"Memangnya kenapa harus menghindari makanan yang dibakar-bakar?" selidikku sambil menunggu pesanan kami diantar ke meja. 

Dia pun bercerita tentang kunjungannya ke dokter beberapa waktu berselang. Setelah menyampaikan gejala yang dirasakan, ditunjang dengan hasil cek darahnya di lab,

"Cancer nih kayaknya." Ringan saja dia bilang begitu, masih dengan senyum di wajahnya. Sementara aku, mendengar pernyataannya dengan jelas, mataku tiba-tiba berembun.

"Hey... nggak apa-apa...," ujar Mima sambil mengulurkan tangannya ke seberang meja, meraih tanganku, menggenggamnya sejenak. "Saat ini nggak ada yang dirasa siih," sambungnya lagi. "Nggak sakit nggak apa, tapi ya mesti jaga pola makan. Nurut aja deh sama dokter. Nggak boleh makan yang bakar-bakar, segala yang fermentasi, kurangi roti, dan sebagainya. Pantangannya nggak banyak-banyak amat sih rasanya. Masih banyak lah yang bisa dimakan." Pungkasnya. Waiter datang mengantar pesanan kami, menghentikan percakapan sejenak. 

Aku memandangi sate sapi yang terhidang di depanku. Tadinya aku ingin memesan sate kambing, tapi tekanan darahku agak tinggi belakangan ini, membuatku sakit kepala bahkan mual muntah sesekali. Tapi tak pantas rasanya aku mengeluhkan sakit ini, sementara sahabatku mengidap sakit yang jadi momok banyak orang, pembunuh rangking ke-2 dari penyakit yang menyerang perempuan. Apa yang kualami saat ini, tak ada apa-apanya dibandingkan dia. Kami pun melanjutkan makan sore kami tanpa membahas lebih jauh mengenai sakit apapun yang kami idap saat ini.

~๐Ÿงก~

Bulan Oktober akan bertepatan dengan Breast Cancer Awareness Month yang diperingati sebagai Bulan Kesadaran yang merupakan kampanye tahunan untuk meningkatkan kesadaran akan deteksi dini kanker payudara melalui SADARI (Periksa Payudara Sendiri). Pink ribbon for you, all breast cancer warriors! 

Sebetulnya aku pun pernah mengalami hal serupa itu bertahun yang lalu, jaman masih SMA atau awal kuliah. Kurasakan sebuah benjolan kecil di 'sekwilda'  setelah sadari beberapa kali. Benjolan itu seukuran kacang tanah sih rasanya, atau malah lebih kecil lagi. Aku sudah lupa. Saat itu aku pergi ke puskesmas sebagai faskes pertama. Dari sana diberi surat rujukan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan ke bagian onkologi. Namanya berobat pakai askes (iyaa, masih askes waktu itu, bukan BPJS), aku ya nggak bisa manja-manja atau pilih-pilih dokter. Kuharap akan ketemu dokter wanita, tapi jebule yang nongol dokter laki-laki, tinggi kurus berkumis tebal. Setelah kusampaikan keluhan, ya mesti periksa fisik lah yaa (mallluuuu, tahu, buka-bukaan area 'sekwilda' di depan seorang laki-laki, dokter sekalipun). 

Setelah periksa, pak dokter bilang, "Nggak ada tuh (benjolannya)." Rasanya mukaku sudah merah maksimal karena malu. Ya masa sih aku harus minta dia untuk memeriksa lagi. 'Ini lho, dok... sebelah sini... coba pegang!' sambil menyodorkan *niiiit* #sensor. Duh, kan malu banget ya. Akhirnya aku benahi blus berkancing depan yang kupakai lalu bersiap pulang. Sebelum pulang, pak dokter sempat menyarankan untuk menjalani biopsi sebagai langkah lanjutan. Enggak ah, dok... aku balik badan lalu pulang. Waktu itu aku memilih untuk minum ramuan alternatif semacam jamu yang dijual bebas. Setelah beberapa bulan mengkonsumsi ramuan itu, alhamdulillah benjolan di sekwilda itu tak lagi teraba. Aku nggak perlu lapor ke pak dokter berkumis kan untuk memberi tahu bahwa benjolan benar-benar sudah hilang?

~๐Ÿงก~

Membicarakan tantangan hidup, rasanya ingin berbagi tapi malu hati. Tantangan jasmani maupun rohani PASTI sama-sama kita alami dalam hidup ini. Kadang aku merasa tantangan hidupku kok gini-gini amat... tapi kalau lirik kanan-kiri, ternyata BANYAK orang lain yang tantangan hidupnya lebih berat, jauhhh lebih berat dari tantangan hidup yang kualami. Jadi... tak ada gunanya mengeluh, Dee. Semua orang menanggung bebannya masing-masing, sesuai dengan kemampuan dirinya. Itu yang dijanjikan Allah di ayat terakhir surat Al Baqarah.  

Aku pernah berbincang dengan salah seorang keponakan, membahas satu-dua tantangan hidup (masalah keluarga tentunya), yang rasanya berat sekali untuk dijalani. Saat membahas itu, dia katakan bahwa tentu tak mungkin kita menawar-nawar pada Allah mengenai apa tantangan hidup yang rasanya tak sanggup kita jalani. Allah pasti tahu bahwa kita mampu. Kalau kita masih 'iseng' dan mencoba menawar, nggak mau menjalani tantangan 'yang ini', hidiiih... kalau dikasih tantangan hidup 'yang itu', mungkin kita lebih nggak mampu. Jadi ya sudah, terima saja tantangan hidup kita saat ini sesuai kemampuan kita. Allah yang akan bantu menguatkan.  Sungguh tak kusadari, ternyata keponakanku sudah dewasa sekali. Peluk kamu, sayang. Kamu pun menjalani tantangan hidup yang tak kalah berat, ditinggal ibu dan ayah dalam usia yang masih cenderung belia. Ya mungkin justru itu yang membuatmu dewasa. 

Untuk mengingatkan diri sendiri saja, kupungkas tulisan ini dengan sebuah hadits.

Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah 'Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah. (HR. Tirmidzi)

Bismillah... semoga kita semua termasuk orang-orang yang disenangi Allah untuk kemudian sanggup bersabar dalam menjalani takdir-Nya, apapun adanya. 

Disetorkan untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan September ini. Kita saling doakan yaa, semoga kita sanggup menjalani tantangan hidup, apapun itu.

Saturday, August 12, 2023

Tiga Impian Yang Belum Kesampaian

Aku menatap surat perjanjian kerjasama penulisan buku yang sudah kutandatangani di atas materai ini. Beneran nih... kumpulan tulisanku akan diterbitkan menjadi sebuah buku? Bukan di penerbit mayor siih, tapi ini bukan buku indie yang bisa cetak kapan saja dan berapa saja. Sungguhan dikurasi dan siap diterbitkan. Benerankah ini?

ZONK!!! Surat perjanjian penerbitan boleh saja sudah ditandatangani, tapi ternyata penerbitan bukuku batal. Kumpulan tulisan berupa pengalamanku selama di Jepang, akhirnya kuposting dengan hashtag #MemoriMaebashi di kompasiana. Salah satunya, yang sempat menjadi artikel utama di kompasiana bisa dibaca di sini

Menerbitkan buku berisi tulisan sendiri adalah salah satu mimpi yang belum kesampaian. Masih berharap siih, tapi jadi malu sendiri ketika menulis sebagai sarana berlatih malas-malasan kujabanin. Bahkan nulis blog posting untuk tantangan MGN aja masih sering mandeg. ๐Ÿ™ˆ

Menulis keroyokan sih, sudah ada pengalaman beberapa kali. Ada yang memuaskan, tapi ada juga yang memualkan (nggak beneran memualkan, cuma ya rada nyebelin aja.) Dari 4 proyek antologi -Eh btw, e-book ITB dalam fiksi proyek barengnya MGN, keitung proyek antologi juga nggak siih...?- aku ceritakan serba sedikit tentangnya ya, biar semangatku terbakar lagi untuk menerbitkan buku sendiri.

Proyek Antologi pertama: Curhat Jalan Raya
Curhat Jalan Raya. Ini adalah proyek Antologi yang paling memuaskanku. Setiap kontributor dikurasi dulu dan diseleksi. Hanya 30 tulisan yang lolos kurasi dan berhasil ikut naik cetak menjadi buku kumpulan curhat yang seru ini. Setelah buku yang dicetak oleh Leutika Publishing ini sampai di tanganku, kubaca satu persatu tulisan di dalamnya, dan rasanya memang bagus-bagus siih. Aku bersyukur bisa menulis bersama salah satu penulis senior, Mbak Ifa Afianty di dalam proyek antologi ini. Tulisan-tulisan lain dalam buku itu sangat dekat dengan keseharian dan rata-rata dikisahkan dengan gaya bercerita yang menarik, sampai rasanya 'kesal' ketika sudah membaca buku itu hingga halaman terakhir. Masih ingin baca cerita yang lain lagi soalnya... 

Ramadan di Rantau. Ini adalah kebalikan dari buku Curhat Jalan Raya, menjadi proyek antologi yang paling tidak memuaskan juga tidak membanggakan. Aku merasa 'terjebak' ikut dalam proyek antologi ini. Kutemukan undangan untuk menulis pengalaman mengenai Ramadan di rantau ini dari sebuah akun penulis di facebook. Kabarnya dia sudah menulis banyak proyek antologi dengan buku yang tidak sekedar indie tapi juga terdaftar resmi dengan ISBN.  Terdengar sangat terpercaya bukan? Tapi ternyata kuratornya hanya dia sendiri. Bukan kurator juga sebetulnya, karena tulisan-tulisan yang masuk tidak melalui proses seleksi lagi. Dia bahkan sampai membuat 2 jilid buku ini, Ramadan di Rantau 1 dan 2, menimbang tulisan yang masuk sudah melebihi target. Yang membuatku kecewa, membaca beberapa tulisan dalam buku itu ternyata seperti mendengar seseorang bergumam saja, tak ada gregetnya. Sekiranya diseleksi dengan lebih baik, sangat mungkin buku ini akan lebih berkualitas. 

Proyek curhat berkedok Antologi :p
Unboxing Soulmate dan Melepas Untuk Bahagia. Dua proyek antologi ini jadi ajang curcol juga. Entah berapa persen kisah pribadi yang termuat di situ, tapi semoga jadi bahan pelajaran untuk pembaca. Membaca beragam kisah dalam buku Unboxing Soulmate, membuatku kembali menyadari dan memahami, bahwa pasangan hidup itu adalah misteri. Kadang tak dicari malah datang sendiri, tapi tak jarang dikejar malah dia menghilang, Buku Melepas Untuk Bahagia juga jadi sarana pembelajaran dan penguatan diri, bahwa tak semua yang kita kira baik, akan baik untuk kita. Menggenggam 'milik kita' tak selalu indah, sementara melepaskan bisa jadi membuat kita lebih bahagia. Selalu ada hikmah di balik semua peristiwa. 

Satu proyek antologi lagi, diwujudkan dalam bentuk e-book kumpulan cerita fiksi (dengan unsur) ITB. Ini kumpulan kisah yang serunya poll!!! Berisi cerita-cerita seru yang kental dengan aura nostalgia kampus Ganesha, dengan segala kisah seru tersembunyi di sana-sini. Yang mau baca-baca lagi, bisa langsung cuss ke sini.

~ ~ ๐Ÿ’› ~ ~

Hari-hari terakhir di Gunma, kuhabiskan dengan menyortir barang-barang yang akan kubawa pulang ke Indonesia. Omong punya omong dengan dua teman sesama program teacher training, segala urusan mereka dengan kampus sudah selesai bahkan sekitar 2 pekan sebelum kepulangan. Aku pun sudah menyelesaikan laporan kegiatan teacher training-ku dan bersiap untuk jalan-jalan terakhir sebelum kembali ke Indonesia. Hiroshima jadi tujuanku selanjutnya.

ZONK!!! Sensei memintaku untuk kembali merevisi laporan kegiatanku selama menjalani program teacher training. Aku harus bolak-balik mengedit dan menyerahkan revisian laporan sampai akhirnya sensei 'menyerah' di H-3. Ketika jadwal kepulangan sudah mepet begitu, aku tak mungkin lagi dong jalan-jalan ke Hiroshima yang jaraknya sekitar 800 km dari Gunma. Dengan jarak sedemikian jauh, tentu tak mungkin aku pergi bolak-balik dalam sehari, sementara packing belum beres, lalu undangan 'pesta perpisahan' juga berentet untuk dihadiri. Sementara masih banyak urusan domestik lain yang juga perlu didahulukan. Gagal deh berkunjung ke Hiroshima.

Berlatar belakang kebun Plum di area Nagoya Castle
Selama masa tinggalku di Jepang yang 1,5 tahun lamanya, alhamdulillah aku bisa berkunjung ke beberapa tempat wisata dan mendapatkan ragam kenangan yang begitu berkesan dan tak terlupakan. Tapi pergi ke Hiroshima dan mengunjungi Monumen Bom Atom adalah salah satu tujuan dalam daftar impian yang masih ingin kuwujudkan. Biarpun tabungan bolak-balik terpakai untuk hal lain-lainnya, optimis dulu ajalah. Entah kapan berkunjung ke sana, tapi ya siapa tahu... ada yang mau ngajakin untuk jadi guide ke sana. Yoroshiku ne

~ ~ ๐Ÿ’› ~ ~

Labbaik... Allahumma labbaik. Labbaika syariika laka labbaik. Innal hamda wanni'mata laka walmulk. Laa syariikalak. Berjalan di pusaran jamaah haji di sekitar ka'bah, melambai dengan takzim ke arah bangunan bersahaja yang jadi tujuan seluruh muslim di dunia, berdesakan di lautan jemaah berpakaian ihram. Ya Allah... ibadah tertinggi sebagai seorang muslim ini tentunya ingin juga kualami.

Dekorasi kamar: suasana masjidil haram dengan lampu.
Izinkan aku menjadi salah satu jemaah di rumah-Mu, ya Allah...

Tidak, kali ini tidak zonk. Bismillah... suatu saat aku akan datang ke baitullah, untuk beribadah di depan ka'bah, pergi ke tanah suci untuk menjalankan ibadah haji. Ya Allah... aku mohon izinkan diri ini untuk pergi. Entah tahun berapa aku akan dapat kuota, kesempatan untuk pergi berhaji, tapi ihtiar sudah mulai kujalani. Mendaftar untuk mendapatkan nomor antrian, menyetorkan sejumlah uang sebagai dana awal dan melanjutkan menabung di tabungan khusus yang kali ini tak akan kuotak-atik. Merutinkan berjalan kaki (masih pagi-pagi dulu) supaya badan terbiasa untuk ibadah yang perlu kekuatan fisik (dan mental) ini. Semoga Allah berkenan 'memanggilku' ke baitullah, sebelum Dia memanggilku ke haribaan-Nya. Tolong berikan kesehatan agar aku bisa menjalani ibadah itu dengan paripurna. Ya Allah...aku ingin pergi berhaji dalam keadaan sehat walafiat. Aamiin yaa mujiibassaailiin. 
~ ~ ๐Ÿ’› ~ ~

Bismillah... tulisan ini merupakan rangkuman keinginanku yang masih ingin dicapai. Disetorkan untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan Agustus ini. Bantu aminkan yaa, mamah-mamah... 

Thursday, July 20, 2023

Tolong Katakan Padaku, Dari Mana Asalku?

Tiap kali ditanya, 'Kamu orang mana?' atau 'Kamu asalnya dari mana?', aku pasti perlu beberapa waktu untuk berpikir sebelum menjawab. Atau... kau siap-siap saja mendengarkan penjelasan yang cukup panjang ya. Aku siap bercerita dan nanti tolong bantu aku, apa yang harus kujawab ketika ditanya tentang daerah asalku. 
Beberapa waktu yang lalu, di acara halal bihalal keluarga besar Mangundimedjan, keponakanku bolak-balik menanyaiku, "Ini (yang baru datang) siapa, tante?" Ketika hubungan kekerabatan masih cukup dekat, misalnya sepupuku langsung beserta putra-putri mereka, aku masih bisalah memberi tahu dan mengenalkan. Tapi ketika yang datang adalah putra-putri dari sepupu bapak dari keluarga besarnya, euh... aku mendadak bodoh rasanya. Kalau ada ujiannya, mungkin nilaiku cuma 30. Harus remedial deh. 
Jika menurut garis patrilineal, aku termasuk suku Jawa. Bapak berasal dari Solo, keturunan ke-7 dari Sultan Mangkunagoro. Dari berkas-berkas yang ditinggalkan bapak, kutemukan dokumen Piagam Sentono yang menunjukkan hubungan kekerabatan bapak turun temurun dengan K.G.P.A.A. Mangkunagoro I. Keluarga besar dari bapak rata-rata bisa berbahasa Jawa, halus. Sedangkan aku? Jika ditanya dengan bahasa Jawa, jawaban default-ku adalah, "Hwaduh... mboten ngertos. Kulo ora iso boso Jowo." Pernah sih aku 'terjebak' bertanya kepada seorang teman kuliah yang berasal dari Solo. Kubilang, eyangku dari Solo juga sih. Lalu aku sok-sokan nanya, "Kalo kamu, Solone ngendhi?" Terus meluncurlah sederet kalimat dalam bahasa Jawa darinya, yang tak satu pun kupahami. Kuapok deh nanya orang pake bahasa Jawa. Hahaa... jadi kalau aku 'ngaku-ngaku' Orang Jawa, ya iyain sajalah ya, karena secara garis keturunan bapak, aku berdarah Jawa. Tapi kayak Jawa murtad rasanya kalau tak bisa Bahasa Jawa begini. :p 
Sebetulnya... dari ibu pun mestinya aku punya sedikit darah Jawa. Ibu berasal dari Tondano, tepatnya dari sebuah daerah yang disebut Kampung Jawa. Konon katanya, penduduk di sana adalah keturunan Kyai Madja dan pasukannya yang diasingkan oleh Belanda ke Sulawesi Utara. Kenalan serba sedikit yuk denganku, siapa tahu ternyata kita basudara.  Kita mulai dengan marga atau nama keluarga ya.
Marga ibuku, mengikut ayahnya adalah Masloman. marga bapak dari ibuku (yaitu kakekku) adalah Masloman, sedangkan marga ibu dari ibuku (yaitu nenekku) adalah Pulukadang.
Mengingat orang-orang di Kampung Jawa ini rata-rata terkait kekerabatan, sangat mudah bagi kami untuk mengenali kerabat sekampung. Marga atau kadang disebut Fam Pulukadang cukup dikenal, selain Kiay Modjo sebagai keturunan garis pertama dari Kiay Modjo. Ada pula Kiay Demak, Haji Ali, Kangiden, Lamani, dan sebagainya. Ternyata banyak juga nama-nama keturunan Kiay Modjo dan pengikutnya yang sekarang sudah banyak tersebar di seantero Indonesia. 

Nah... sebagai seorang yang lahir dari orang tua campuran Jawa-Tondano, aku merasa tak terkait dengan Jawa ataupun Tondano. Terus terang saja, aku lebih merasa sebagai orang Sunda dibandingkan Jawa. Ini karena sejak lahir aku sudah di Bandung, bersekolah di Bandung juga sejak TK sampai kuliah, Teman-teman mainku rata-rata orang kampung dan kami lebih aktif berkomunikasi dengan Bahasa Sunda, walaupun aku tetap kesulitan untuk berbicara Bahasa Sunda lemes/halus. 
Seumur hidupku, bisa dibilang begitu, aku tinggal di tanah Pasundan, menyerap budaya dan bahasanya, dan rasanya cinta banget dengan tanah dan air di kota Bandung ini. 
Jadi... bisakah kau katakan padaku, dari mana asalku sekiranya ada yang menanyakan itu padaku. Gampangnya sih... orang Indonesia sajalah. Setuju? Kupungkas ceritaku untuk disetorkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang mengusung tema 'Daerah Asal'. Perlu 'bersemedi' sekian lama hingga akhirnya kutuntaskan juga tulisan bingung ini untuk menjawab tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli.

Friday, June 16, 2023

Banjir Kenangan Tak Terlupakan

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni ini bertema mengenai pengalaman masa kecil. Beuh... pikiran langsung flashback ke masa bertahun lalu, untuk kemudian memilih dan memilah kisah mana yang akan kuceritakan. Berikut ini salah dua di antara kenangan masa kecil yang enggan lepas dari ingatan.

Ketika kecil, aku tinggal di Dayeuhkolot. Familiar dengan nama itu? Ya... Dayeuhkolot kerap muncul di berita daerah maupun nasional sebagai area yang terdampak banjir  ketika musim hujan (dan banjir) tiba. Bittersweet memory kalau aku ingat masa itu. 

Di depan tembok sekolah masa kecilku.
Beberapa waktu lalu aku berkesempatan mengunjungi almamaterku, SDN Dayeuhkolot 7, yang terletak sekitar 100-200 meteran dari tepian Sungai Citarum. Berlokasi begitu dekat dengan salah satu sungai terbesar di Jabar ini tentu resiko kebanjiran mengintai di setiap waktu, terutama di musim hujan. Ketika hujan mengguyur Bandung dalam 2 atau 3 hari berturut-turut, tunggu saja... kami kemudian akan datang ke sekolah hanya untuk membaca pengumuman bahwa sekolah diliburkan karena banjir.  Biasanya aku dan teman-teman akan balik badan untuk pulang ke rumah masing-masing, berganti baju dengan baju lusuh, lalu kembali ke sekolah untuk bermain air. Kukucuprekan, istilahnya pada waktu itu.

Kami bermain air selama 1 hingga 2 jam  sesuka kami saja, toh biasanya orangtua kami tak ada di rumah karena pergi bekerja. Kami baru pulang ke rumah ketika lapar mulai melanda karena kelamaan bermain (atau berkubang?) dalam air yang sewarna bajigur. Tapi rasanya tentu saja tak ada bajigur-bajigurnya. Bagaimana aku bisa tahu? Ya, aku pernah merasakan sendiri ketika terpeleset dan bersalto 2 putaran di dalam air setinggi dada (di area yang landai sedikit lebih dekat ke tepi sungai). Dalam kepanikan nyaris tenggelam begitu, tak ayal air sungai terminum juga. Kupikir-pikir sekarang ini, jijik banget ya maenanku di masa itu, mengingat aliran Sungai Citarum yang berwarna coklat keruh itu tentulah membawa material lumpur dan... euwwhh... sudahlah, tak perlu dibayangkan lagi. ๐Ÿฅด๐Ÿ˜ต‍๐Ÿ’ซ

Bermain air begitu seringkali berlangsung beberapa hari. Dan setelah air surut, kami pun kembali ke sekolah untuk kerja bakti membersihkan kelas yang kotor berlumpur. Sebagai anak kecil, kami sih happy-happy aja, justru senang karena lepas dari kewajiban belajar di kelas. Sementara ketika aku dewasa dan menjalani profesi sebagai guru, rasanya libur sekolah 1-2 hari saja sudah cukup membuatku merasa kehilangan yang teramat sangat. Cemas mengingat target materi yang harus diajarkan. Akankah terkejar di sisa waktu semester berjalan? Dijejalkan atau justru dipangkas? Hahaa... Happy vs worry, what a bittersweet memory.

Flashback lebih jauh lagi yuk ke masa ketika aku bersekolah di TK. Ada pengalaman (tampak) lucu tapi bikin malu. Tapi biarlah kuceritakan padamu, karena toh saat itu aku masih lugu.

Tim tari Suwe Ora Jamu. Ki-ka: Panty, Yuli, Mbak Yayang, Nunung, Yani, aku.

Saat itu adalah hari perpisahan sekolah. Aku dan beberapa teman sudah berlatih untuk tampil menari di atas panggung. Aku ingat sekali, pagi itu aku diantar kakak sulungku, Mbak Yayu,  yang bersiap membantuku memakaikan kostum untuk tarian pertamaku, tari Suwe Ora Jamu, sesuai lagu yang mengiringi tarian itu. Dari 6 orang yang menari Suwe Ora Jamu, aku dan Nunung didapuk untuk membawakan dua tarian. Tarian kedua ini aku lupa judulnya, tapi kostumnya berupa baju senam hitam yang dilengkapi dengan kaos kaki kitam panjang (harusnya stocking kali ya) dengan rok berumbai dari kertas minyak, dan pelengkap mahkota bunga yang terbuat dari kertas krep juga kalung dan korsace. Untuk sesi ganti kostum yang rada ribet ini, aku ingat Mbak Yayu masih ada dan membantuku membuka lilitan selendang serta kain batik untuk kemudian menggantinya dengan kostum yang kusebut di atas tadi. 

Tari Hawai-kah ini?
Dengan kostum baju senam legendaris.
Rangkaian acara pun berlangsung satu demi satu. Ada teman lain yang bernyanyi, membaca sajak, atau unjuk kebolehan lainnya. Pengumuman-pengumuman pun disampaikan, termasuk pembagian hadiah. Aku juga dapat hadiah lah... standar saja, berupa buku tulis pada waktu itu. Kami naik ke atas meja panggung untuk menerima hadiah sementara aku masih memakai kostum tariku yang terakhir. 

Pendek kata, rangkaian kegiatan pun usai dan saatnya kami pulang ke rumah masing-masing. Kulihat berkeliling, tak kulihat sosok Mbak Yayu di mana pun. Tak pula ada orangtuaku karena keduanya bekerja. Tampaknya hari itu Mbak Yayu bersekolah siang dan dia pergi meminggalkanku di sekolah tanpa kabar apapun (ya mungkin karena aku sedang sibuk menari di panggung). Mbak Yayu kemudian pulang sambil membawa seluruh kelengkapan kostum tarian Suwe Ora Jamu. Intinya sih semua, tak bersisa. Tinggallah aku yang harus meninggalkan rok berjumbai dan mahkota bunga karena itu adalah properti sekolah. Kaos kaki hitam pun kutanggalkan karena tampaknya aku hanya dipinjami salah seorang teman. Ya, rasanya aku tak pernah punya kaos kaki hitam panjang. Aku tak ingat apakah Mbak Yayu meninggalkan alas kaki untukku atau juga dibawanya pulang. Yang jelas, yang kuingat dengan terang adalah aku pulang berjalan kaki ke rumah dengan mengenakan baju senam saja. Malunya luar biasa ketika siang hari itu aku memaksakan diri berjalan melewati barak tentara di kompleks Yon Zipur III alias barak tentara Kujang 330, melewati perumahan keluarga mereka yang sedang menjalani istirahat siang. Aku  sok cuek aja menebalkan muka dan telinga, mengabaikan segala komentar dan apapun kata atau tanya mereka. Perjalanan 500 meteran yang kutempuh dari sekolah ke rumah itu rasanya jadi perjalanan terlama. Lega rasanya bisa kembali ke rumah dan segera berganti baju dengan baju main yang normal, lalu kembali lagi ke komplek tentara di belakang rumah untuk manjat pohon kersen. Mudah-mudahan mereka nggak ingat mukaku, si anak yang barusan lewat pakai baju senam seksi tadi. Hihiii... ๐Ÿคญ๐Ÿซฃ

Monday, May 01, 2023

Gudeg Banda Kesukaan

Lebaran baru saja usai. Seperti tradisi di keluargaku, ketupat ketan selalu terhidang di meja makan. Lauknya saja yang selalu berganti setiap tahun. Tahun ini keponakan yang biasa berkunjung ke Bandung tak berkesempatan datang. Qadarullah, dia masih menjalani masa isoman (masih musim aja nih, si covid?). Padahal dia ini, yang bidang pekerjaannya di bidang boga, kan sebetulnya bisa dikaryakan untuk membantu masak-masak di rumah. Hahaa... Azas manfaat banget ya si tante.

Intinya sih... aku memang mencari partner masak dan ide untuk membuat lauk pendamping untuk ketupat ketan tahun ini. Berakhir dengan memasak gulai yang rasanya nggak ke sana nggak ke sini, yang akhirnya lebih banyak kumakan sendiri. Mau bagi-bagi tetangga kok ya nggak laku ya. Rata-rata mereka juga masak lebih 'grande' dibanding aku. 

Ketupat ketan #batch2 kubuat beberapa hari selepas Idul Fitri, untuk menghabiskan kulit ketupat dan beras ketan yang sudah kubeli. Aku memasak ketupat ketan setengah kiloan (untuk sekitar 6-7 buah ketupat berukuran sedang) yang bisa habis dalam beberapa hari. #Batch1 sudah habis dimakan bersama kakak-kakak. #Batch2 giliran kumakan sendiri karena kakak yang tinggal serumah denganku lebih suka nasi daripada ketupat ketan. Aku nggak ambil pusing lah. Yang pusing adalah aku, akan makan pakai apa lagi kali ini?

Foto diambil dari tokopedia 

Ada gudeg kalengan dalam beberapa varian yang kubeli tempo hari. Gudeg kaleng Bu Tjitro yang rasanya sudah kuakrabi sejak lama. Rasa dan aromanya cukup dekat dengan Gudeg Banda kesukaanku. Kali ini, aku coba varian rasa rendang. Biasanya rendang adalah lauk paling pas buat ketupat ketan karena rasanya yang cenderung pedas, bisa jadi penyeimbang gurihnya ketupat ketan. Tapi review jujurku untuk gudeg varian rendang ini, humm... kurang cocok ah. Rasa gudegnya jadi samar karena adanya rasa rendang yang jadinya juga nggak ke mana-mana. Mana nggak ada dagingnya pula. Jadi rendang apa ini teh...? Tapi sejujurnya, varian gudeg originalnya sih enak juga, jadi salah satu favoritku, pengobat kangen pada gudeg yang sedep. 

Gudeg Banda komplit-dari laman ig Gudeg Banda
Duh... jadi kangen banget nih sama Gudeg Banda kesukaan. Perkenalan pertamaku dengan Gudeg Banda adalah di jaman kuliah medio 90-an, ketika diajak teman akrabku membeli gudeg ini. Waktu itu lokasinya terletak di sebuah paviliun di Jalan Banda, di seberang Gedung Wahana Bakti Pos yang tentu saja juga berlokasi di Jalan Banda. Lapaknya masih berupa warung semi permanen dengan tenda di bagian depannya. Biasanya temanku membeli gudeg untuk dibawa pulang sebagai lauk makan nasi. Sesekali, aku dan dia makan juga sih di warung itu. Kunikmati sekali daging buah nangka muda yang lembut, dengan campuran kerecek yang tak kalah lembut, dengan pelengkap tahu, dan opor telur atau ayam, disiram kuah santan yang encer melembabkan nasi (fyi, aku suka yang becek-becek begini), ditambah dengan sambal yang pedasnya pas sesuai selera (nggak terlalu pedas) dan bebas biji cabai. Damai banget makan nasi dengan Gudeg Banda ini. Kunikmati sekali setiap suapannya hingga piring licin tandas.

Belakangan, semakin berkembang pesat warung Gudeg Banda ini, dia membuka gerai di food court Yogya Dept Store. Kalau berkesempatan berkunjung ke food court Riau Junction atau BIP, hampir bisa dipastikan aku akan memilih Gudeg Banda sebagai main course. Tak cukup puas dengan kelas food court, Gudeg Banda membuka restoran yang berlokasi di Jalan Lombok. (Pusing... pusing deh. Ini sebetulnya gudeg Yogya, yang mulai dengan gerobak dorong yang mangkal di Jalan Riau di tahun 1976, lanjut numpang berdagang di sebuah paviliun di Jalan Banda, tapi sekarang jadi resto permanen di Jalan Lombok di kota Bandung). Rasa gudeg ini masih otentik cenderung manis. Seleraku banget yang ngikutin lidah bapak yang keturunan Solo-Yogya. Sejauh ini, gudeg paling favorit itu ya Gudeg Banda ini. Ketika berkunjung ke Yogyakarta dan mencicip gudeg di sana, ah... aku masih terkenang-kenang Gudeg Banda. Gudeg paling juara. Saat ini, Gudeg Banda punya 3 lokasi permanen, yaitu di Jalan Lombok no 57, Jalan Taman Cibeunying Selatan No 33, dan Topaz Commercial No 28, Summarecon yang semuanya di Bandung. Tinggal pilihlah, mau makan di outlet mana. Tersedia juga kok di layanan pesan-antar makanan. 
3 lokasi Restoran Gudeg Banda
Sekiranya pembaca punya referensi gudeg juara lainnya, silakan menjejak komentar ya, siapa tahu aku bisa menjajal rasanya dan pasti... pasti akan membandingkan dengan Gudeg Banda sebagai benchmark. Aku berani ngadu jagoanku deh, yang kunobatkan sebagai makanan favorit walaupun jarang-jarang juga kunikmati (makanya akan sangat mengapresiasi ketika berkesempatan menikmatinya lagi, di mana pun tempatnya, apakah di outlet/restonya, di food court Yogya, atau sesekali memesan lewat layanan pesan-antar).
 
Tulisan tentang Gudeg Banda kesukaan ini kusetorkan untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog yang digelar komunitas MGN setiap bulan yang bulan ini mengusung tema Makanan Favorit. Boleh bilang dong, apa makanan favorit kalian. Siapa tahu aku juga suka. Kasih tahu yaa...

Saturday, April 15, 2023

Hiroshima Kuingin Jumpa

Di Kebun Plum Osaka Garden

20 tahun yang lalu (Oh my Lord... sudah selama itu...?), ketika aku berkesempatan untuk belajar setitik di Negeri Matahari Terbit, pastilah ada keinginan untuk jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat wisata populer di sana. Kalau sempat waktunya dan cukup (dicukup-cukupkan) budgetnya, aku pilih-pilih destinasi wisata populer yang jadi landmark-nya beragam kota di sana. Di beberapa kali kesempatan libur semester, aku menyempatkan untuk jalan agak jauh, baik bersama teman ataupun grup wisata yang dikelola kampus. Area Tokyo yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan dari Gunma sudah kukunjungi beberapa kali, numpang lewat dan menyempatkan berfoto dengan latar belakang Tokyo Tower. Kyoto yang lebih jauh pun sempat kujejak dan menikmati suasana kota budaya yang sangat kental berbau Jepang lama. Sempatlah berfoto di depan Ginkakuji yang terkenal itu. Area Hokkaido di ujung utara Jepang dengan suasana yang sedikit berbeda dengan Jepang pada umumnya sudah pula kukunjungi, sementara agak ke selatan, aku sempat menjalani masa homestay selama 2 minggu sekalian sedikit berwisata. Salah satu tempat yang ingin tapi belum sempat kukunjungi adalah kota Hiroshima dengan kekhususan untuk menginjakkan kaki di depan landmark kota: Monumen Perdamaian atau tepatnya sih Kubah Bom Atom (Genbaku Domu).  

Genbaku Dome sepertinya kalah populer dibandingkan destinasi wisata lainnya di Hiroshima yaitu Itsukushima Shrine dengan gerbang merah megah yang seolah terapung di air. Genbaku Dome bahkan tidak masuk dalam 50 tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi di Jepang menurut situs Tsunagu Japan. Seriously? Orang Jepangnya sendiri mempertanyakan keinginanku mengunjungi Genbaku Dome itu. Kenapa ingin berkunjung ke sana? Giliran aku yang terpaku, tak tahu harus bagaimana menjawabnya. Bukan karena tak tahu alasannya, tapi karena tak tahu bagaimana mengungkapkannya dalam Bahasa Jepang. Hahaa... Separah itu kemampuan Bahasa Jepangku. Aku hanya bisa bilang, ada keterkaitan sejarah antara dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dengan deklarasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. 

Mengapa aku ingin mengunjungi area Monumen Perdamaian Hiroshima itu? Seperti yang kubilang sebelumnya, aku ingin pergi ke sana karena ada keterkaitan sejarah dengan Indonesia. Di masa penjajahan Jepang yang mensengnya... mensengaya... mengsengya... ah, menyengsarakan rakyat Indonesia, di saat itulah tentara sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan meluluhlantakkan kota tersebut. Momen itu tentu saja mengguncangkan seluruh Jepang, termasuk balatentara yang sedang menginvasi di luar negeri. Maka tak menunggu lama, Presiden Soekarno pun mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di 17 Agustus 1945, mengambil kesempatan di masa kekosongan kekuasaan itu. Merdeka, Indonesia!
Tentara Jepang menginvasi? Sebagian orang Jepang bahkan tak tahu fakta ini. Beberapa teman yang kutanya, hanya sebatas tahu bahwa tentara Jepang atau (mereka pikir) warga sipil Jepang dikirim ke Indonesia untuk bekerja di pertambangan atau pertanian. Sejatinya, mereka menjajah Indonesia lho... Seorang kenalan yang mempelajari sejarah bertanya setengah sungkan, "Apakah kamu tidak benci Bangsa Jepang?" katanya. Dia tanyakan karena dia tahu fakta bahwa tentara Jepang menjajah Indonesia di rentang waktu 1942 hingga 1945. Aku mau jawab apa ya? Kalau bilang benci, lha kok usaha banget untuk dapat beasiswa (biarpun nondegree sekalipun) untuk ke Jepang. Aku dibiayai hidup selama 1,5 tahun di sana, itu jadi wujud negara Jepang untuk menebus kesalahan leluhurnya di masa lalu mungkin yaa. Jadi... yuk, kita berdamai saja. Maka dari itu, wajar sekali bukan, keinginanku untuk mengunjungi Monumen Perdamaian Hiroshima

Selain itu, setiap landmark dan kota di seantero Jepang biasanya memiliki stempel khusus yang bisa digunakan untuk penanda bagi pengunjung, bahwa mereka sudah menjejak di sana, dengan stempel sebagai buktinya. Di saat-saat terakhir masa tinggalku di sana, aku baru sempat mendapatkan stempel kota Maebashi (itu pun nggak terlalu jelas), sementara beberapa kota lainnya sudah kudapatkan stempelnya yang rata-rata bisa ditemukan di stasiun maupun gedung atau area populer lainnya. Nah... sudah cukup kan alasan bagiku untuk ingin pergi ke Hiroshima? Aku ingin dapat stempel dari landmark bangunan bersejarah itu. Doakan yaa, semoga suatu saat aku bisa ke sana. 
Setoran untuk Tantangan Ngeblog Mamah Gajah bulan April, tapi lagi-lagi kelewat deadline. :( Posting anyway lah...



Saturday, March 04, 2023

Handling Mudah Bawang Putih VS Bawang Merah


Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret ini mengusung tema 'Life Hack (Produk atau Metode yang Mempermudah Hidup).' Dari sekian banyak ide life hack yang bertebaran dan bertaburan di jagat maya, ya banyak juga sih yang applicable dan memang mempermudah hidup, walaupun tak sedikit juga yang malah bikin ribet. ๐Ÿคช 

Mengingat ini sudah bulan Maret dan jelang akhir bulan nanti sudah masuk bulan Ramadhan, mamah-mamah pasti sibuk dengan segala aktivitas masak-memasak. Walaupun nggak terlalu suka masak dan merasa jalan ninja mamah adalah dengan order makanan via blablabla-food, tapi ya nggak mungkin tiap hari juga kali... apalagi buat hidangan sahur. Kasihan babang blablabla-food kalau harus nganterin pesanan kita sementara mereka pun bersicepat dengan imsak untuk makan sahur juga. Jadi... hayulah masak sesekali.

Urusan masak pasti nggak akan jauh dari perbawangan. Bawang merah dan bawang putih tampaknya harus selalu tersedia di dapur kita untuk modal masak sehari-hari. Eh... aku enggak juga sih, soalnya kalau soal bumbu, aku agak sering pakai bumbu dasar siap pakai ajs. Nah... tapi itu mah life hack yang lain lagi deh yaa. Saat ini aku mau sedikit sharing tentang cara praktis handling duo bawang ini. 

Bawang Putih

Rata-rata masakan -di belahan bumi mana pun- biasanya familiar dengan penggunaan bawang putih. Aku sebetulnya suka aromanya, tapi ya jangan nempel lama-lama di tangan juga dooong. Belakangan ini aku sedang suka bikin chicken wings ala salah satu resto waralaba. Resepnya kucontek dari sebuah akun di cookpad. Praktis banget ini, cuma mencampurkan beragam saus, madu, kecap dan... bawang putih cincang. Kalau mencincang bawang putih ya pasti ada kontak erat dengan si bawang dan pasti ketempelan aromanya, yang awet rajet seperti kena pelet. Kebayang nggak siih, pas kita abis khusyuk berdoa lalu mengusap muka, hadeuh... ambyar semua deh gara-gara aroma bawang.

Well... pendek kata, aku menemukan produk pemarut bawang putih ini di sebuah gerai e-commerce ketika mencari barang lain. Biasa... untuk menggenapkan belanjaan supaya dapat promo ongkir gratis, aku tambah bareng ini dan itu sebelum checkout. Harganya murah meriah, nggak sampai 10 ribuan, tapi membantu sekali untuk mencacah si bawang putih tanpa perlu berkontak intens dengannya. Hasilnya memang bukan bawang putih cincang siih, melainkan parutan bawang kasar. Sebagai pengganti bawang cincang, sangat boleh juga kan yaa?

Foto diambil dari sini
Pemarut bawang ini berukuran kecil yang cukup untuk mengeksekusi sesiung bawang putih. Ada stopper di kedua ujungnya, depan dan belakang, sehingga parutan bawang tidak akan mudah meluncur bebas hingga lepas. Namun begitu, ketiga bagian alat ini bisa dilepas ketika hendak dibersihkan. Cara penggunanya praktis sekali. Bawang putih bisa diletakkan di wadah berupa tabung kecil di bagian tengah alat, yang bisa bergerak maju-mundur. Terdapat pula penutup yang sekaligus berfungsi untuk mendorong si bawang perlahan hingga habis diparut. Jari kita tak akan kontak berlama-lama dengan si bawang. Tangan kiri memegang handle, sementara tangan kanan menggerakkan wadah bertutup untuk menghasilkan parutan dengan ukuran yang cenderung seragam. Setelah itu, parutan bawang putih bisa segera ditambahkan ke dalam bumbu marinasi.

Bawang Merah

Ketika pindahan rumah beberapa waktu yang lalu, kutemukan benda ini di antara beragam barang peninggalan ibu yang layak untuk dipertahankan dan dimanfaatkan tentunya. Ini adalah alat pengiris bawang, yang memungkinkan kita untuk merajang bawang tanpa berurai air mata. Irisan yang dihasilkan tipis seragam, walaupun arah irisan tak bisa kita atur sesuai keinginan kita.

Perajang bawang peninggalan ibu ini warnanya sudah pudar, tapi fungsinya masih optimal dengan bilah pisau yang masih terjaga tajam. Terakhir kupakai untuk mengiris bawang untuk digoreng. Kesukaan pisan. Membersihkannya pun mudah karena bagian demi bagian perajang bawang ini bisa dibongkar untuk dibersihkan secara paripurna. Perajang bawang serupa dengan beragam pilihan warna bisa didapatkan di toko kelontong offline ataupun online dengan harga di kisaran 15 ribuan hingga puluhan ribu. Sebagai mamak-mamak ekonomis, kita tentu cari harga termurah yang masih masuk akal yaa. Kalau kelewat murah juga aku malah jadi curiga, jangan-jangan yang dijual adalah produk reject.
Ngomongin produk yang bikin mudah atau nyaman hidup kita, dua alat yang kusebutkan di atas itu sangat membantuku untuk mempermudah urusan keseharian di dapur. Dulu, kupikir para desainer produk tuh cuma ngadi-ngadi aja, mendesain produk yang di-claim dengan fungsi begini dan begitu, lalu dijejalkan ke pasar agar konsumen merasa perlu untuk membeli. Tapi di antara sekian banyak produk yang diproduksi, pastilah ada beberapa yang memang dibuat untuk memecahkan masalah keseharian seperti yang kerap terjadi di dapur kita. Aku tak segan lagi untuk mengeksekusi duo bawang di dapur sekarang ini. Bawang putih dan bawang merah takluk tanpa meninggalkan jejak aroma di tangan ataupun drama air mata. 

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka