Tuesday, September 19, 2023

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka

Di, udah lama nih kita nggak ketemuan. Ketemuan yuk!

Sebuah pesan whatsapp kubaca di ponselku. Dari Mima, seorang teman yang pernah menjadi kolega di sebuah institusi di suatu masa. Ya... rasanya sudah cukup lama juga kami tak bersua dan bertukar kabar. Kubalas pesannya segera,

Yuk! Mau di mana? Kapan?

Di Ciwalk yuk. Sabtu ini?

Humm... sebetulnya agak males sih ke daerah macet begitu di akhir pekan, tapi sesekali aja kan ini... dengan tujuan silaturahmi pula, jadi baiklah, mari kita jabanin.

~🧡~

Sabtu sore pun datang. Aku sampai lebih dulu di resto yang sudah kami sepakati, sedangkan Mima datang tak lama kemudian dengan senyum lebarnya yang khas. Setelah cipika-cipiki dan sedikit basa-basi, kami pun menelusuri daftar menu untuk memilih menu makan sore kami. Hihii... iya, sore. Bukan makan siang, bukan pula makan malam. Pokoknya makan bareng lah judulnya, ini. Aku memilih sate maranggi yang jadi rekomendasi resto ini, sedangkan Mima memilih menu lain yang berkuah. Katanya dia sedang menghindari masakan yang dibakar atau dipanggang, padahal aku tahu betul dia sangat suka persatean,  makanya aku pilih resto ini untuk tempat ketemuan kami.

"Kenapa nggak nyate? Eh... kalau tahu sedang menghindari bakar-bakaran, kita bisa ke tempat lain aja tadi," ujarku sambil sedikit merasa bersalah.

"Nggak apa-apa... masih banyak menu lain yang bisa dinikmati kan?" Jawabnya ringan saja.

"Memangnya kenapa harus menghindari makanan yang dibakar-bakar?" selidikku sambil menunggu pesanan kami diantar ke meja. 

Dia pun bercerita tentang kunjungannya ke dokter beberapa waktu berselang. Setelah menyampaikan gejala yang dirasakan, ditunjang dengan hasil cek darahnya di lab,

"Cancer nih kayaknya." Ringan saja dia bilang begitu, masih dengan senyum di wajahnya. Sementara aku, mendengar pernyataannya dengan jelas, mataku tiba-tiba berembun.

"Hey... nggak apa-apa...," ujar Mima sambil mengulurkan tangannya ke seberang meja, meraih tanganku, menggenggamnya sejenak. "Saat ini nggak ada yang dirasa siih," sambungnya lagi. "Nggak sakit nggak apa, tapi ya mesti jaga pola makan. Nurut aja deh sama dokter. Nggak boleh makan yang bakar-bakar, segala yang fermentasi, kurangi roti, dan sebagainya. Pantangannya nggak banyak-banyak amat sih rasanya. Masih banyak lah yang bisa dimakan." Pungkasnya. Waiter datang mengantar pesanan kami, menghentikan percakapan sejenak. 

Aku memandangi sate sapi yang terhidang di depanku. Tadinya aku ingin memesan sate kambing, tapi tekanan darahku agak tinggi belakangan ini, membuatku sakit kepala bahkan mual muntah sesekali. Tapi tak pantas rasanya aku mengeluhkan sakit ini, sementara sahabatku mengidap sakit yang jadi momok banyak orang, pembunuh rangking ke-2 dari penyakit yang menyerang perempuan. Apa yang kualami saat ini, tak ada apa-apanya dibandingkan dia. Kami pun melanjutkan makan sore kami tanpa membahas lebih jauh mengenai sakit apapun yang kami idap saat ini.

~🧡~

Bulan Oktober akan bertepatan dengan Breast Cancer Awareness Month yang diperingati sebagai Bulan Kesadaran yang merupakan kampanye tahunan untuk meningkatkan kesadaran akan deteksi dini kanker payudara melalui SADARI (Periksa Payudara Sendiri). Pink ribbon for you, all breast cancer warriors! 

Sebetulnya aku pun pernah mengalami hal serupa itu bertahun yang lalu, jaman masih SMA atau awal kuliah. Kurasakan sebuah benjolan kecil di 'sekwilda'  setelah sadari beberapa kali. Benjolan itu seukuran kacang tanah sih rasanya, atau malah lebih kecil lagi. Aku sudah lupa. Saat itu aku pergi ke puskesmas sebagai faskes pertama. Dari sana diberi surat rujukan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan ke bagian onkologi. Namanya berobat pakai askes (iyaa, masih askes waktu itu, bukan BPJS), aku ya nggak bisa manja-manja atau pilih-pilih dokter. Kuharap akan ketemu dokter wanita, tapi jebule yang nongol dokter laki-laki, tinggi kurus berkumis tebal. Setelah kusampaikan keluhan, ya mesti periksa fisik lah yaa (mallluuuu, tahu, buka-bukaan area 'sekwilda' di depan seorang laki-laki, dokter sekalipun). 

Setelah periksa, pak dokter bilang, "Nggak ada tuh (benjolannya)." Rasanya mukaku sudah merah maksimal karena malu. Ya masa sih aku harus minta dia untuk memeriksa lagi. 'Ini lho, dok... sebelah sini... coba pegang!' sambil menyodorkan *niiiit* #sensor. Duh, kan malu banget ya. Akhirnya aku benahi blus berkancing depan yang kupakai lalu bersiap pulang. Sebelum pulang, pak dokter sempat menyarankan untuk menjalani biopsi sebagai langkah lanjutan. Enggak ah, dok... aku balik badan lalu pulang. Waktu itu aku memilih untuk minum ramuan alternatif semacam jamu yang dijual bebas. Setelah beberapa bulan mengkonsumsi ramuan itu, alhamdulillah benjolan di sekwilda itu tak lagi teraba. Aku nggak perlu lapor ke pak dokter berkumis kan untuk memberi tahu bahwa benjolan benar-benar sudah hilang?

~🧡~

Membicarakan tantangan hidup, rasanya ingin berbagi tapi malu hati. Tantangan jasmani maupun rohani PASTI sama-sama kita alami dalam hidup ini. Kadang aku merasa tantangan hidupku kok gini-gini amat... tapi kalau lirik kanan-kiri, ternyata BANYAK orang lain yang tantangan hidupnya lebih berat, jauhhh lebih berat dari tantangan hidup yang kualami. Jadi... tak ada gunanya mengeluh, Dee. Semua orang menanggung bebannya masing-masing, sesuai dengan kemampuan dirinya. Itu yang dijanjikan Allah di ayat terakhir surat Al Baqarah.  

Aku pernah berbincang dengan salah seorang keponakan, membahas satu-dua tantangan hidup (masalah keluarga tentunya), yang rasanya berat sekali untuk dijalani. Saat membahas itu, dia katakan bahwa tentu tak mungkin kita menawar-nawar pada Allah mengenai apa tantangan hidup yang rasanya tak sanggup kita jalani. Allah pasti tahu bahwa kita mampu. Kalau kita masih 'iseng' dan mencoba menawar, nggak mau menjalani tantangan 'yang ini', hidiiih... kalau dikasih tantangan hidup 'yang itu', mungkin kita lebih nggak mampu. Jadi ya sudah, terima saja tantangan hidup kita saat ini sesuai kemampuan kita. Allah yang akan bantu menguatkan.  Sungguh tak kusadari, ternyata keponakanku sudah dewasa sekali. Peluk kamu, sayang. Kamu pun menjalani tantangan hidup yang tak kalah berat, ditinggal ibu dan ayah dalam usia yang masih cenderung belia. Ya mungkin justru itu yang membuatmu dewasa. 

Untuk mengingatkan diri sendiri saja, kupungkas tulisan ini dengan sebuah hadits.

Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah 'Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah. (HR. Tirmidzi)

Bismillah... semoga kita semua termasuk orang-orang yang disenangi Allah untuk kemudian sanggup bersabar dalam menjalani takdir-Nya, apapun adanya. 

Disetorkan untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan September ini. Kita saling doakan yaa, semoga kita sanggup menjalani tantangan hidup, apapun itu.

5 comments:

read's house kindly said...

Kisah tentang kanker selalu membuatku mbrebes mili nih teh Diah.
Semoga kita senantiasa yakin bahwa Allah pastinya memberikan yang terbaik ya ...

Diah Utami said...

Iya, Teh Dewi. Perjuangan berat bagi para pink ribbon warrior. Saya melihat sendiri teman-teman dan saudara yang menjalaninya. Makanya mata pun langsung mengembun ketika mendengar kabar bahwa orang yang dekat dengan keseharian kita mengalaminya sendiri. Semoga Allah memberi kekuatan, berkenan juga memberi kesembuhan.

Shanty Dewi Arifin said...

Bener ya risih banget harus diperiksa payudara sama dokter laki-laki. Tapi aku sempat ngalamin ada dokter laki-laki yang menolak. Bagus juga boleh seperti itu. Aku pun sama risihnya.

fsrinurilla said...

Amiin aamiin ya Rabb. Terima kasih Teh Diah sudah berbagi, memang Teh, menjadi perempuan, apalagi makin bertambah usia, sering was was jika merasa ada lump di payudara. Semoga kita semua diberikan kesehatan olehNya. 🤲

Yustika said...

Beberapa anggota keluargaku berpulang karena kanker. Terima kasih atas remindernya ya, bahwa ujian itu berdasar kesanggupan kita. Masya Allah.

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka