Sunday, November 20, 2022

Kisah di Luar Nalar dari Baitullah

NGERIII, Kabah menghilang tak ingin dilihat jamaah,

karena melakukan ini,

Ini salah satu judul dari episode di channel Cerita Untungs yang membahas tentang kisah salah seorang tour guide pembimbing haji/umrah, Ustadz Muksit Haetami. Beliau membuka kisah mengenai salah satu jamaah bimbingannya saat pergi berumrah. Judulnya bombastis. Membuat ngeri atau malah jadi inspirasi untuk pergi ke Tanah Suci? Selain kisah terhijabnya pandangan dari ka'bah, tentu ada pula kisah-kisah lainnya. Simak yuk...!
Spoiler cerita tentang pengalaman Ustadz Muksit ini muncul di linimasa instagramku. Hmm... kupikir menarik juga nih. Ini merupakan salah satu opsi tema yang ditawarkan oleh Komunitas Mamah Gajah Ngeblog di Bulan November ini, yaitu pengalaman di luar nalar. Aku sendiri rasanya tak punya pengalaman khusus tentang itu, mengingat aku adalah orang yang biasa-biasa aja, tak ada pengalaman yang terlalu istimewa apalagi kalau sampai dibilang di luar nalar. Tapi kisah-kisah dari pengalaman jemaah haji atau umrah ini selalu menarik, karena banyak hal yang dirasa ajaib, nggak masuk nalar manusia. Dalam segmen Aku Penasaran, beberapa kisah di luar nalar bisa disimak untuk diambil pelajaran hikmahnya. 
Tidak hanya pengalaman traumatis serupa tertutupnya pandangan mata dari melihat ka'bah, Ustadz Muksit pun mengisahkan kisah tentang seorang jemaah lain yang mual muntah di sepanjang perjalanan hingga nyaris tak bisa menjalani rangkaian ibadah umrah, yang dilanjutkan dengan badan yang serasa panas terbakar. Ini tentu saja di luar logika dan perhitungan manusia. Selain pengalaman seperti itu, tentu saja tak sedikit pula pengalaman jamaah yang mendapat banyak kemudahan saat menjalani ibadah di tanah suci. Ustadz Muksit sendiri mengalami sengndiri kisah di luar nalar ini berupa dibukakannya kesempatan yang tak disangka-sangka untuk pergi berumrah bahkan menjadi pembimbing/mutawwif, ah... ini sih pengalaman pribadi Ustadz Muksit, ketika beliau baru setahun mengabdikan diri sebagai marbot di salah satu masjid di Jakarta. Karunia Allah... jadi momen perdana baginya untuk membimbing jemaah umrah hingga menjadi tour leader di salah satu biro travel haji/umrah yang telah dijalaninya selama 10 tahun ini.
Sebagai seorang muslim, tentu saja ada keinginan dalam hati untuk suatu saat nanti bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci untuk berumrah atau berhaji. Tidak hanya menjejakkan kaki tentunya, tapi untuk menjalani rangkaian ibadah sesuai tuntunan Rasulullah, melihat dan merasai sendiri ka'bah dan beribadah sepenuh hati di dekatnya. Membaca kisah-kisah dari tanah suci selayaknya bisa untuk memicu motivasi untuk menabung -baik biaya untuk perjalanan maupun amalan- agar pantas untuk menjadi tamu Allah. Menyimak penggalan kisah dari Ustadz Muksit juga host-nya sendiri Arie Untung yang mengalami sendiri pengalaman ajaib ini, aku jadi berkaca diri. Untuk menjejak kaki dan beribadah di Tanah Suci, memang harus bersih diri bersih hati. Sudah siapkah diri ini?
Sementara aku masih bertanya-tanya dan berkaca diri, kusetor dulu saja tulisan ini, menjawab tantangan ngeblog dari MGN bulan ini. Ini adalah opsi yang ditawarkan oleh Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Istimewa karena kita bisa memilih salah satu di antara 3 tema, yaitu Tokoh Pahlawan Inspiratif, Review Tontonan/Bacaan, atau Pengalaman di Luar Nalar. Nggak ada ide sebetulnya, untuk ketiga tema di atas, tapi kebetulan saja topik ini muncul di linimasa, jadi sebaiknya kusambar saja kesempatan ini. 

 

Monday, October 31, 2022

Menyusur Jejak Kenangan di Kantin Salman

Dua tahun pandemi, membuat banyak tempat tak bisa didatangi. Tidak hanya karena alasan kesehatan sehingga tidak bisa menerima pengunjung, tapi tak sedikit venue yang berubah fungsi karena pandemi. Salah satunya adalah Kantin Salman, kantin kesayangan mahasiswa Kampus Ganesha. Ketika pandemi Kantin Salman ditutup dan difungsikan sebagai kantor merangkap gudang untuk riset pengembangan ventilator Vent-I (ketika covid varian delta sedang ganas-ganasnya). Saat ini, kantin kembali dibuka setelah diremajakan.

Janjian dengan seorang teman untuk makan siang di sana, aku sekalian shalat dzuhur di Masjid Salman, yang juga masjid kebanggaan dan kesayangan muslim-muslimah Ganesha. Bersamaan dengan momen wisudaan di kampus, area parkir jadi penuh sekali. Aku sampai harus berputar 2 kali sebelum akhirnya dapat tempat parkir di dekat bank Muamalat (belakang masjid). Petugas parkirnya sangat kooperatif dan terampil mengarahkan sehingga Ayla silverku bisa muat di spot parkir kecil yang baru saja ditinggalkan oleh mobil sebelumnya. Nuhun nya, A...

Berjalan di bawah gerimis kecil, aku masuk area masjid yang juga sudah lebih segar, termasuk tempat wudhu-nya yang sekarang banyak keran untuk wudhu sehingga antrean jamaah tak terlalu panjang. Lebh nyaman. Masuk area masjid, lantainya pun sudah diremajakan, diganti dengan lantai kayu yang serupa dengan yang sebelumnya. Kali ini lantai berkilat ditempa pendaran lampu temaram dari langit-langit masjid yang lapang tanpa pilar di tengahnya. MasyaAllah... Alhamdulillah. Merasai kembali bersujud di lantai kayu yang ademnya pas. Nggak dingin di saat cuaca dingin, juga tak panas di saat cuaca cerah. Nyaman. Kangennya suasana ini (suasana saat jadi mahasiswa siih, sebetulnya... yang pergi ke masjid untuk pelarian dari penat dan pepatnya ruang kuliah/studio).

Selepas shalat, langkah kaki membawaku ke area kantin yang ternyata tak seramai yang kuperkirakan mengingat di hari tersebut juga berlangsung hajatan wisuda di kampus Ganesha. Aku memutuskan untuk menunggu teman yang sudah janjian akan datang sebelum duduk di area kantin. Pasca pandemi, kantin mengalami peremajaan. Meja-meja panjang berubah menjadi meja persegi dengan kapasitas 4 kursi saja. Dinding pun dibongkar untuk agar sirkulasi udara dapat berputar lebih bebas di area kantin terbuka. Ketika temanku datang, kami pun segera melipir ke konter makanan untuk mengambil menu makan siang kami.

Tak nampak perbedaan pada menu yang ditawarkan. Harga pun masih tetap murah meriah. Piring berisi nasi beserta lauknya yang kubawa ke depan kasir, setelah dihitung ternyata aku tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Aku hanya perlu membayar totalan harga sejumlah Rp 21.000 saja. Rasa masakan pun nyaris tak berubah. Itu menurut temanku. Aku sendiri tak terlalu mmerasakan perbedaan itu. Aku asyik menikmati perbincangan (lebih cocok sesi curhatku) bersama teman lama ini. Dia adik kelas semasa kuliah walaupun beda jurusan, junior juga sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah swasta di area Bandung Utara sebelum dia memutuskan untuk resign dan menjadi ASN.

Nah... kumpul-kumpul, biarpun berdua saja, bisa tetap seru kan... mengingat selama pandemi bertemu muka secara langsung apalagi di tempat umum hampir tidak memungkinkan. Nah, bertemu lagi setelah sekian lama, tentu banyak cerita untuk disampaikan. Bertemu berdua saja membuat kami bebas saling cerita (maafkan aku yang terlalu mendominasi pembicaraan.) Lain kali, ayo kita ulangi dengan teman-teman lama yang membawa energi bahagia. Bertemu lagi di momen silaturahmi, sesuai janji Allah, memperpanjang usaia dan meluaskan rejeki. Kalau begitu, yuk kita ulangi. 

Walaupun sedikit maksa nih, menulis jejak kenangan ini sekalian dijadikan setoran untuk Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yaa.

Friday, October 21, 2022

Kisah Kopi

Kupandangi secangkir kopi hangat di depanku dengan sedikit perasaan bersalah. Sudah lama aku tak minum kopi apalagi yang instan begini. Dan sekarang aku kangen... kupikir, ini untuk mengobati rasa kangen saja. Rasa kangen pada kopi yang bukan kopi sebetulnya. Aku hanya mencari sensasi pada aroma kopi yang menguar dari secangkir kopi dengan sedikit krimer dan gula itu. Sensasi dari sebuah kenangan. Kubiarkan dia mendingin sedikit sambli aku merintang waktu menyisir berbagai aplikasi di ponselku. Biasanya ketika panasnya sudah cukup, kopi begini akan kurirup sekali duduk, tak akan menunggu waktu berlama-lama untuk menghabiskan minuman beraroma sedap itu.

Kopi tubruk klasik. Gambar diambil dari sini.

Perkenalanku dengan kopi dimulai ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, entah kelas berapa tepatnya. Saat itu ada seorang tetangga belakang rumah yang biasa mengasuh kami yang masih kecil-kecil ketika ibu dan bapak berangkat kerja. Mbah, begitu beliau biasa kami sapa. Dia seorang perempuan yang setia dengan jarit dan kebaya dalam kesehariannya, setia juga dengan kopi yang selalu menemani setiap pagi dan sore. Kopi hitam dengan gula. Aromanya yang menguar sungguh membuatku tergoda. Kucicip... dan (mungkin karena manis), aku pun suka. Sejak itu, sesekali aku pun menyeduh kopi sendiri. Kopi tubruk yang entah merek apa, pokoknya apa yang ada di rumah saja. Ibu & bapak menyediakan kopj hanya untuk persediaan sekiranya ada tamu yang berkunjung. Ibu tidak minum kopi, bapak pun hanya sesekali saja. Sepanjang ingatanku, bahkan bapak nyaris tak pernah minum kopi. Aku pun jadinya yaa... sesekali saja.

Masa SMP dan SMA pun kesukaanku pada kopi ya biasa-biasa saja. Masih merasa mendadak bahagia saat menghirup aroma kopi yang wangi, tapi merasa tak perlu mencari-cari saat aroma dan rasa itu tiada. Sesekali aku masih minum kopi, yang sesekali pula beralih ke kopi instan yang lebih praktis tak menyisakan ampas yang mengganggu.

Nescafe Klasik, teman begadang yang asik. Gambar diambil dari sini

Saat kuliah, kopi instan jadi konsumsi sehari-hari, setidaknya 4 kali sepekan. Bukan karena suka luar biasa, tapi karena tuntutan keadaan yang membuatku merasa memerlukan keberadaannya. Untuk teman begadang mengerjakan tugas studio yang berkejaran di hari Sening hingga Kamis. Hari Jumat dan akhir pekan bisa libur ngopi dulu karena kuliah rata-rata 'hanya' kuliah MKDU yang seringkali tak ada tugas yang rutin disetorkan. Dan Minggu malam memulai kembali ritual minum kopi untuk teman begadang. Kali ini yang jadi pilihan adalah nescafe klasik tanpa krimer. Menghirup aromanya saja sudah separuh membuat mata terbuka. Menyesapnya secangkir saja, cukup untuk membuatku terjaga hingga lepas tengah malam. Jelang subuh aku tidur sebentar sebelum kembali beraktivitas seharian.
Kembali ke masa kini, kuteguk kopi hangat dalam cangkir yang sejatinya tak terlalu kunikmati... karena ada perasaan bersalah itulah... Kopi instan begini, kabarnya kandungan kopinya bahkan tidak ada separuhnya. Komposisinya kebanyakan bahan-bahan kimia yang disesuaikan cita rasanya dengan selera pasar. Ketika dokter menyarankan untuk tak terlalu banyak (bahkan sebaiknya menyetop saja) mengonsumsi produk makanan atau minuman instan yang kandungan pengawetnya banyak, ah... maafkan aku, dok. Sesekali sih bolehlah yaa... Buat obat kangen aja kok.
"Bu Diah...?" suara Kang Hary, Service Advisor di AstraBiz menyapa ramah. "Mobilnya sudah siap." ujarnya lagi. Dia menyempatkan duduk sebentar di kursi seberangku untuk menjelaskan beberapa hal terkait Ayla-ku yang menjalani service rutin. "Sekiranya ada keluhan, dalam waktu 15 hari masih bisa komplain dan ada garansi. Tapi jika tidak ada komplain... ya alhamdulillah." lanjutnya menutup pembicaraan sambil wajahnya tak lepas dari senyum ramah di balik masker yang dikenakannya. 
"Siaap, Kang Hary." balasku sambil berpikir... 'garansi 15 hari? minimal 15 hari ke depan aku tak boleh mengonsumsi kopi intan yang sarat pengawet, perasa dan pewarna itu. Oke, Dee? Kita coba disiplin lagi ya. Nggak minum kopi itu jadi sebuah tantangan buatku. Seperti blog posting ini yang dibuat untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Setorr... (Ditulis jelang deadline seperti biasamya dan nggak pakai dopping kopi. Masih amaaan. 👌)

Saturday, October 01, 2022

Skin Care... Should I Care?

Baru-baru ini aku kembali ke rumah yang sempat kutinggalkan sekitar 3 tahun-an. Aku masih berkunjung sesekali ke rumah itu, tapi tak terlalu intens mengamati & mengurusi segala isinya. Sampai di akhir bulan September ini, setelah renovasi kecil selama 3 mingguan, aku siap kembali ke rumah ini. Hampir semua barang tidak berada di tempatnya semula, mengingat isi lemari harus dikeluarkan dulu sebelum digeser dan dipindah tata letaknya. Debu dari proses bongkar rumah menumpuk di sana-sini menyelimuti permukaan barang-barang, buku, pakaian hingga segala pernak-pernik. Kutemukan beberapa kemasan skin care yang pernah kuakrabi beberapa waktu lalu, baik yang separuh jalan dipakai maupun yang masih utuh dalam kemasan. Bisa dipastikan sudah kadaluarsa lah... sayang sekali ya.
Sebagian koleksi produk Oriflame
Ada masanya aku sangat care dengan penggunaan skin care ini. Beberapa tahun lalu, aku tertarik untuk ikut berbisnis ceritanya... skin care dan kosmetik yang dijual dengan sistem multi level marketing, menjanjikan benefit jutaan per bulan, dengan syarat: bisnisnya dijalankan tentunya. Bagaimana cara menjalankan bisnisnya? Produknya dipakai dan jadi testimoni bukti nyata, jualan juga dan tentunya membangun jaringan yang solid.
Aku cocok dengan produknya. Tidak instan yang malah bikin waswas, tapi untuk pemakaian jangka panjang, hasilnya terlihat cukup signifikan. Kantor pusat produsennya berada di Sweden, sedangkan pabriknya tersebar di beberapa negara. Kualitas produknya, aku sih cocok... tapi kualitas kemasannya, ah... ada beberapa yang membuatku kecewa. Kemasan plastiknya mudah patah atau retak yang membuat isinya tak lagi terlindungi secara optimal. Mengingat harganya yang lumayan pricey, aku boleh dong kecewa dengan kualitas kemasannya. Selain itu, ada pertentangan batin juga sih untuk membeli produk luar begini, kok kayak nggak cinta tanah air ya.   
Sesekali dandan pakai eyeliner
Beberapa tahun aku 'menjalankan bisnisnya'. Beli produknya yang rutin kupakai, sesekali dijual juga ke pelanggan yang nggak banyak-banyak amat, juga merekrut dan membina downline. Aku mungkin kurang sabar dan kurang gencar juga menjalani keseluruhan prosesnya. Setelah bertahun-tahun aku kok nggak maju-maju ya. Akhirnya aku memutuskan berhenti dan beralih ke produk lain yang lebih ekonomis dan berbau serta berasa Indonesia. Nggak pakai perang batin pakai produk-produk Wardah karena selain memang cocok di kulit, juga cocok di hati deh... Pengusaha Wardah kan mamah Gajah juga. ;) Ayo kita dukung produk-pproduk Mamah Gajah Ganesha.
Koleksi skin care & kosmetik Wardah
Produk yang kupakai sekarang adalah produk asli dalam negeri, diproduksi di dalam negeri, dan buat aku sih cocok banget, ini. Alhamdulillah, kulitku nggak ada masalah menyesuaikan diri dengan produk baru. Mulai dari foundation kemudian shifting menjadi dd cream yang setia menemani keseharianku, membuat tampilan kulit wajah tampak halus tapi masih terasa ringan. Lipstick dan lip cream-nya favorit banget. Kukoleksi beberapa warna dengan nuansa natural, dalam tone warna orange hingga cokelat. Keseharianku sebenarnya cukup dengan ini saja. Tapi hey... tidak cukup hanya make up standar, sebetulnya perlu juga sih perawatan harian yang rutin. Asal jangan yang ribet, aku sih oke.
Kulengkapi koleksi perawatan kulitku dengan sunscreen (yang masih belum rutin) di pagi hari dan serum di malam hari. Sebelum tidur kusempatkan mencuci wajah dengan facial foam dari rangkaian produk di seri yang sama. Kabarnya sih sebetulnya produk ini kurang cocok untuk kulit wajah separuh abad seperti aku ini. Beauty consultant-nya menyarankan aku pakai yang lebih mahal produk yang lebih tepat buatku dengan kandungan anti-aging. Ah... whatever deh. Saat ini aku pakai skin care yang lebih sesuai dengan budget belanja bulananku saja. Alhamdulillah, kulit wajah nggak manja, mau aja pakai produk apapun. Pakai Wardah nih sekaligus menunjang idealismeku sebagai Warga Negara Indonesia yang mendukung produk-produk Indonesia.   
Nggak mimpi bahwa tampilan kulitku akan seperti Dewi Sandra yang notabene adalah brand ambassador Wardah, tapi minimalnya aku merawat kulitku dengan (cukup) baik. Merawat wajah dan kulit yang dianugerahkan Tuhan ini sudah selayaknya dilakukan. Bukan dengan tujuan untuk mempercantik diri apalagi tabarruj, tapi dengan niat merawat karunia yang sudah diberikan Allah kepada kita. Alhamdulillah dikasih kulit normal yang nggak rewel, cuma perlu perawatan minimal. Jadi, merawat diri ini sudah selayaknya jadi kebiasaan baik. Sewajarnya saja tak perlu berlebihan, cukup untuk menunjukkan bahwa kita peduli dan memberi perhatian pada tubuh kita. So... katakan I care pada skin care.
Buat Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog akhir bulan September ini, yuk lah kita bahas soal skin care. Lain kali kita bahas care yang lain yaa. InsyaAllah.


Tuesday, September 20, 2022

Gaya Belanja Yang Mana?

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman di dunia maya menulis di halaman media sosialnya, 

"Dua tahun pandemi, akhirnya lihat pameran lagi…
Tapi…
Selera belanja udah nggak kayak dulu…"

Maksudnya bagaimanakah...? Pernyataannya kuterjemahkan sebagai berkurangnya minat dia untuk berbelanja di pasar real. Dia tak lagi (terlalu) tertarik untuk melihat-lihat barang, memegang atau mencium aroma sesuatu yang menarik minatnya untuk dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Apakah beralih ke moda belanja daring? Mungkin begitu. Aku sih iya. :)

Ketika pandemi melanda dan gerak penduduk dunia sangat dibatasi, tak lagi bebas ke mana-mana, kualihkan moda belanja ke moda belanja daring. Belanja segala, bisa banget dilakukan dari depan monitor PC atau ponsel kita, baik menggunakan aplikasi, situs web resmi toko yang bersangkutan, ataupun meminta layanan pesan antar melalui pesan pendek saja. Sungguh sepraktis itu lah.  Setelah beberapa waktu, ternyata aku menikmatinya. Mulai belanja buku, sepatu, pakaian, hingga segala printilan besar maupun kecil, juga belanja kebutuhan sehari-hari, (hampir) semua bisa didapat secara daring.

Dipikir-pikir, banyak juga lho benefit dari sistem belanja daring ini.

  • Aku yang biasa ke mana-mana menyetir sendiri, ternyata sangat bisa menikmati rasanya bersantai di rumah saja, belanja sambil rebahan. Tidak perlu berjibaku menyusuri jalanan dalam kondisi cuaca apapun, tidak perlu repot mencari spot parkir yang kadang sangat tak mudah dan tak praktis. Dengan demikian, aku bisa menghemat biaya transport juga recehan untuk parkir dan mamang gopek-man yang biasa ada di setiap persimpangan. Hemaat... hemaat...

Filter pencarian favorit

  • Aku yang biasa berlama-lama di toko, melipir setiap gang dan kios, membanding-bandingkan harga untuk mencari yang paling ekonomis, dengan belanja daring seluruh proses itu bisa dilakukan dengan lebih efisien. Cukup ketik kata kunci yang diinginkan, maka berderetlah jenis barang yang kuincar. Beragam toko daring siap membentu kita berbelanja. Lokasi bolelh dipilih sesuka kita. Silakan mencari toko daring di sekitar rumah kita jika perlu pengiriman instan, tapi dipersilakan juga mencari produk yang jauh dari tempat tinggal kita jika memang perlu. Aku sendiri biasa mengurutkan dengan filter tertentu, Filter yang kupakai biasanya adalah mengurutkan barang dari harga terendah untuk mendapatkan harga paling ekonomis. Setelah itu filter lokasi pun kuaktifkan untuk mencari lokasi terdekat agar jejak karbon tak terlalu panjang. Aku juga mengaktifkan filter bebas ongkir agar hanya toko-toko yang menerapkan kebijakan bebas ongkir yang muncul di hasil pencarian. Lumayan kaan, bebas ongkir saat jumlah pembelajaan mencapai nilai tertentu. ribuan hingga belasan ribu bisa dihemat untuk belanja online lainnya.     
  • Selain benefit receh-receh begitu, ada juga benefit receh lainnya berupa voucher toko yang memberikan potongan harga. Tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. 

Akumulasi cashback dari Shopback

  • Masih belum cukup hemat, aku juga melipir dulu ke Shopback, sebuah aplikasi perantara yang berani memberi cashback setiap kali kita belanja online setelah melipir ke shopback. Aku yang belanjanya recehan, tentu saja dapat benefit cashback-nya juga recehan. Tapi kalau dikumpul-kumpul diakumulasikan, bisa sampai ratusan ribu juga yang sudah beberapa kalu kutukar dengan pulsa atau kuminta untuk ditransfer ke rekening tabunganku. Recehan juga lumayan kan, ada harganya... ;) Mau ikut dapat benefit cashback dari shopback? Hayu ikut daftar di sini.

Tulisan ini dibuat untuk menjawab tantangan belanja ehh.... Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September. Yuk, belanjaaa...!




Wednesday, August 31, 2022

Yuk, Libatkan Anak Dalam Tugas Rumah Harian

Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan ini bertema bebas merdeka sesuai dengan bulannya, Agustus bulan kemerdekaan. Aku ingin menulis tentang sebuah hal yang masih menggelitik pikiran, mengenai keterlibatan setiap anggota keluarga termasuk anak-anak dalam tugas rumah harian.

Teringat sebuah momen saat berkesempatan mengisi sebuah sesi privat dengan salah seorang muridku. Saat itu masih pagi di masa pandemi. Anak bersekolah online melalui fasilitas zoom atau recorded lesson. Ketika aku datang, kami duduk di area ruang tamu yang katanya punya koneksi sinyal internet cukup bagus di situ. Kerabat si anak melintas untuk menyapu. Aku baru saja hendak meminta maaf karena 'mengganggu' di area yang hendak dibersihkan ketika si anak menggeram gusar saat kakinya tak sengaja tersentuh sapu yang dipegang budenya. 

"Iiih!" Ujarnya dengan geram. "Bude ke sana dong...!" Lanjutnya. Keningku auto berkerut. Heyy... harusnya dia yang minta maaf karena menghalangi area yang hendak dibersihkan. Lagipula itu adalah rumah orangtuanya, bukan rumah budenya. Bukankah seharusnya dia yang ikut berperan membersihkan rumah? Anak 9 tahun itu melanjutkan aktivitasnya mengeset laptop untuk pembelajaran hari itu, tanpa merasa bersalah dan tak juga meminta maaf. Betapa tak berempatinya anak ini... 

Kupikir, ini adalah salah satu dampak dari tak dilibatkannya anak dalam aktivitas keseharian menyelesaikan tugas-tugas di rumah. Orangtua memilih untuk tidak melibatkan anak  dalam aktivitas ini dengan beragam alasan. Kurang bersih lah kalau dikerjakan anak, dibiarkan agar bisa fokus bersekolah dan belajar lah, atau dengan alasan agar asisten rumah tangga ada kerjaan dan tak 'makan gaji buta'. Padahal sejatinya, banyak sekali manfaat melibatkan anak dalam pekerjaan kerumahtanggaan ini. Yuk kita cermati beberapa di antaranya.

Libatkan anak dalam tugas harian di rumah.

1. Melatih kebiasaan baik

Sebuah hadits mengatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Tanamkan ke anak-anak kita (tentu saja dimulai dari diri kita sendiri) bahwa ketika kita menjaga lingkungan sekitar agar tetap bersih, sejatinya itu menunjukkan bahwa kita pun menjaga keimanan kita. Jika kebersihan merupakan sebagian dari keimanan, maka boleh dong dianalogikan bahwa yang betah berkotor-kotor itu... ya yang begitulah. Ya masa cuma ART saja yang beriman dan kita tidak?

2. Mempertajam kepekaan

Ketika kita melakukan aktivitas bersih-bersih, tentu lama kelamaan akan terasa perbedaannya. Mana permukaan lantai yang kesat bebas debu atau lantai yang masih terasa 'berpasir' karena kurang bersih menyapu. Makin lama kita akan makin tahu bagaimana cara untuk menyapu lantai yang paling efektif dan efisien. Saat mengepel, akan terasa mana lantai yang terlalu basah (karena kurang kering memeras lap pel), atau justru tidak rata menyisir seluruh permukaan lantai karena lap pel terlalu kering.

3. Mengasah empati

Saat anggota keluarga berbagi beban pekerjaan, rasa empati akan terasah. Bahwa bebersih dan bebenah itu melelahkan, tentu bisa dirasakan oleh seluruh anggota keluarga sehingga masing-masing lebih menghargai apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain. Ketika tahu lelahnya mengepel, tentu kita pun tak akan seenaknya menginjak lantai yang masih basah. Ketika tahu capeknya belanja dan memasak, tentu akan lebih mudah mensyukuri makanan yang terhidang. Dan seterusnya dan sebagainya.

4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab

Ketika beban pekerjaan rumah dibagi bersama, seringkali ada pula jangka waktu yang disepakati bersama, sepaket dengan konsekuensi yang diterima. Misalnya membuka jendela setiap pagi. Ketika lupa membuka jendela di pagi hari, udara segar sudah lewat sehingga tinggal masuklah udara yang sudah tercemar polusi lalu lintas pagi. Kegiatan menyapu biasanya dilanjutkan dengan aktivitas mengepel. Ketika menyapu belum atau tidak tuntas, kegiatan mengepel pun jadi terganggu bahkan terhambat. Merapikan belanjaan ke dalam lemari sesuai peruntukannya, misalnya telur di raknya, daging di freezer, atau bahan makanan lain yang disimpan di area lain kulkas atau dapur. Salah menempatkan terkadang bisa fatal akibatnya. Hal-hal yang tampaknya sepele begini sejatinya adalah sebuah latihan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab.

5. Memupuk kemandirian

Ketika anak sudah terbiasa melakukan aktivitas bersih-bersih di rumah, saat dia dewasa tak akan sulit baginya untuk beradaptasi dengan situasi yang menuntutnya untuk mandiri dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Dia bahkan mungkin  bisa membantu mencarikan solusi atas beragam permasalahan yang dihadapi baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Saat dia harus mandiri ketika kuliah di luar kota bahkan luar negeri, maka anak yang terbiasa mandiri akan sangat mudah menyesuaikan diri. Sedangkan anak yang tak terbiasa akan mengalami masa sulit saat dia dewasa. Heyy... bukankah kita ingin membuat hidup mereka mudah? Ya justru itu perlu dilatihkan sejak dini, bukan dengan memanjakan mereka dengan menyediakan ART yang siap membantu kapan saja. 

Ayo, mulai libatkan putra-putri kita dengan aktivitas tugas rumah tangga. Mulai saja dari yang sederhana semacam menyapu dan mengepel lantai kamarnya sendiri. Siapkan alat bantu yang mudah dan menyenangkan, supaya mereka makin semangat membantu ayah bundanya di rumah. Bolde Super Mop punya paket ember dan mop yang tidak hanya fungsional tapi juga enak dilihat. Aku sendiri suka lihatnya, ember super mop dengan tema superman begini. Warna biru-merah khas Superman dengan ember peras berwarna kuning terang yang bisa dilepas, memudahkan kita saat membersihkan ember hingga keseluruhan dinding bagian dalamnya. Dengan tampilan gaya superman begini, siapa tahu mengepel jadi super kilat dan super bersih. Mungkin berpengaruh juga untuk memperkuat pandangan infra merah sehingga bisa melihat spot mana yang belum kena sapuan mop super ini. Seru kaaan...? Oya, yang lebih suka gaya Batman Super Mop yang lebih gelap tapi elegan juga ada... 

Thursday, July 07, 2022

Hari Cokelat Sedunia

Baru aku tahu di tahun ini, bahwa ada hari cokelat sedunia, yang jatuh di hari ini. Tapi sebetulnya, ada beberapa hari cokelat internasional lainnya yang juga dirayakan atau setidaknya diingat oleh warga dunia dengan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Salah satunya di tanggal 7 Juli ini. Untuk itu, mari kita sedikit rayakan hari istimewa ini dengan mengunggah satu resep pungkasan yang kudapat di sesi workshop baking tempo hari bersama Tulip Cokelat.
Ini adalah resep dari rangkaian resep untuk membuat Memory Cake, sebuah cake berlapis dengan cokelat yang dominan di hampir semua lapisannya. Di lapisan terbawah ada chocolate biscuit (sebetulnya ini semacam sponge cake) sebagai base, dilapisi chocolate cream sebelum ditumpuk dengan pannacotta cream yang ditumpuk kembali dengan selapis chocolate biscuit sebelum ditutup dengan chocolate cream. Diamkan dulu semalaman dalam freezer agar seluruh lapisannya set dan punya bentuk yang kokoh sebelum dark chocolate glaze dikucurkan di atasnya sebagai pelapis akhir. Sebagai sentuhan akhir, boleh ditambahkan dekorasi berupa potongan coklat putih dengan aksen taburan bubuk coklat. Manisnya maksimal. Tampilan cake cantik (asal pinter motongnya 😅), sesuai dengan sensasi unik saat menyantapnya. Lapisan pannacotta dan chocolate glaze jadi paduan sempurna di setiap gigitannya.
Kali ini, aku hanya akan share resep glaze yang membuatku terpesona. Rahasia lapisan glazing berkilau sebagai selimut cake ini ternyata begini toh... Yuk kita siapkan bahan-bahannya.

Dark Chocolate Glaze
Bahan-bahan:
90 g air
90 g gula pasir
225 g glucosa
15 g gelatin kering ---> 90 g gelatin basah

Cara Membuat
Step 1
Masak air, gula dan glukosa dengan api kecil. Jangan tunggu sampai mendidih, cukup sampai seluruh gula pasir larut dan glucosa tercampur rata. Biarkan meletup kecil di tepian panci. Aduk perlahan.
Step 2
Tambahkan bubuk coklat yang sudah diayak dan cooking cream (whip cream yang tidak perlu dikocok). Panaskan dengan api kecil sampai sedikit menggelembung. Aduk dengan spatula, hindari munculnya gelembung udara. Biarkan meletup-letup di tepian panci selama lebih-kurang 5 menit, setelah itu matikan api dan angkat panci. Dinginkan sejenak.
Step 3
Tambahkan gelatin yang sudah direndam dalam air es hingga mengembang 9 kali lipat. Gunakan timbangan untuk akurasi ukuran. Jika gelatin ternyata lebih dari 90 gram, peras sedikit hingga beratnya berkurang. Sebaliknya, jika beratnya kurang dari 90 gram, tambahkan sedikit air untuk menggenapkan hingga 90 gram. Perbedaan berat ini nanti bisa berpengaruh ke kondisi glaze yang kita buat.
Aduk perlahan hingga semua bahan tercampur rata. Tunggu hingga glaze bersuhu lebih-kurang 35-40 derajat celcius sebelum dituang ke atas mue yang sudah dikeluarkan dari freezer. Ratakan dengan offset spatula, sat-set kalau perlu satu kali sapuan saja supaya permukaannya mulus. Sementara itu biarkan kelebihan glazingnya meleleh ke tepian cake hingga menutupi seluruh permukaan cake. Setelah itu bisa dihias dengan kepingan cokelat putih yang sudah diberi taburan cokelat bubuk sebelumnya. Sesuai selera saja sih sebetulnya, suka-suka kita. 
Seusai workshop baking, beberapa bahan masih tersisa yang tentu saja tak bisa dibiarkan terlalu lama -di dalam kulkas sekalipun- maka aku manfaatkan lagi untuk membuat Memory Cake batch selanjutnya. Kali ini kubuat dalam ukuran mini untuk hantaran kepada seorang teman dan satu lagi versi tiny untuk lucu-lucuan sebagai snack untuk kumakan sendiri. Lapisan glazing-nya tidak menutup sempurna. Masih ada satu-dua gelembung kecil di sana-sini. Tepiannya yang tidak rata bisa ditutupi dengan potongan cokelat putih yang jadi dekorasi tak berkonsep (yang penting bocel-bocel glazing yang tidak rata bisa tertutupi/tersamarkan lah... :p). Dan mari kita nikmati Tiny Memory Cake ini dalam rangka untuk ikut memperingati hari cokelat sedunia. 🍫

Kacapi Yang Ingin Kupelajari

Di Masa Itu

Bersama mama angkat di kebun tomat.

Bertahun lalu, ketika aku dapat kesempatan tinggal di Jepang selama 1,5 tahun, kusempatkan mengisi 2 pekan di dalamnya dengan ikut berpartisipasi dalam program homestay ke Pulau Kyushu, bersama Yayasan Karaimo yang sudah rutin menggelar program itu selama bertahun-tahun. Berkumpul bersama mahasiswa asing lainnya dari berbagai tempat di Jepang, lalu disebar ke rumah-rumah keluarga Jepang untuk beraktivitas rutin di sana selama 2 pekan, jadi pengalaman yang sungguh berharga. Aku sendiri ditempatkan di Takanabe, bersama 3 orang mahasiswa asing lainnya dan secara spesifik aku tinggal bersama keluarga petani yang ramah.


Di akhir masa 2  pekan, setiap perwakilan area diminta untuk unjuk kebolehan, baik bersama keluarga angkat maupun secara individual. Saat itu kami menyanyikan lagu 'It's A Small World' dalam 3 bahasa yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Latihannya dilakukan dalam bus yang melaju menuju lokasi. Mudah eksekusinya, apalagi mamak-mamak angkat kita bersuara merdu dan sangat paham nada. Paduan suara yang kami tampilkan terasa sangat padu dan harmonis, megah juga saat seluruh audiens dipersilakan ikut bernyanyi dalam bahasa mereka masing-masing. Lagu ini juga sangat universal, tersedia dalam berbagai bahasa, hingga semua orang di dalam aula saat itu bisa ikut menyanyi dalam bahasanya masing-masing. Meriah. 

Dalam sesi performance itu, tentu saja banyak tampilan lain yang unik dan menarik. Ada yang menampilkan tarian Jepang, namun ada pula yang menampilkan tarian tradisional negara tempat peserta homestay berasal. Ada yang tampil solo bermain biola, namun ada juga yang peserta negara asing yang dengan percaya diri tampil solo memainkan alat musik Jepang. Di saat itu, aku terpikir betapa inginnya aku menampilkan salah satu kekayaan budaya Indonesia di kancah internasional semacam itu.

Alat musik kecapi. Sumber: wikipedia.
Coba kita list satu persatu. Untuk tampilan degung komplit tentu tak mungkin ditampilkan secara solo, mengingat alat yang dimainkan sangat beragam, punya dimensi dan berat yang tak main-main. Selain itu, biasanya setiap nayaga bertanggung jawab dan mempunyai peran masing-masing atas instrumennya. Angklung tentu akan jadi tampilan yang unik dan punya nilai budaya khas Jawa Barat. Satu set angklung bisa saja dimainkan secara solo, tapi instrumen bambu itu juga perlu penanganan khusus yang tidak sederhana saat dibawa bepergian. Terpikir olehku untuk menguasai salah satu instrumen musik Sunda, apakah suling, rebab atau kecapi. Nnahh... tampak unik bukan, kecapi? Sangat bisa dimainkan sendiri dan bisa jadi pengiring lagu dalam beragam kesempatan.

Di Masa Kini

Sepulang dari Jepang aku baru mulai mencari kesempatan untuk belajar memainkan kecapi. Terus terang saja, instrumennya pun belum aku miliki. Gitar sih aku punya, dan bisa memainkannya secara otodidak dengan chord dasar. Kupikir, memainkan kecapi tak akan jauh dari itu lah. Tapi engkau salah duga, Marbela...!  

Beberapa waktu (tepatnya beberapa tahun) kemudian, kutemukan seorang guru yang bisa mengajarkan cara memainkan kecapi. Guru privat, datang ke rumah, dengan imbalan fee yang masih murah meriah. Saat itu bersama dengan salah satu keponakanku, kami bergantian belajar kecapi di rumah. Suatu kebetulan bahwa keluarga kakak iparku punya sebuah kecapi yang bisa kita pakai. Niatnya siiih, buat latihan di rumah, memperlancar keterampilan bermain kecapi. Tapi niat tinggallah niat.

Ternyata memainkan kecapi tak semudah yang kukira. Perlu koordinasi jari kanan dan kiri yang padu. Jari kanan memainkannya dengan cara dipetik ke arah depan, sedangkan jari yang kiri justru memetik senar ke arah yang berlawanan. Dan itu harus dilakukan bersamaan. Dalam beberapa pertemuan saja, aku sudah ketinggalan dari keponakan yang belajar lebih cepat (hadeuww... ini tantenya yang sudah mulai 'karatan' nih. Belajar keterampilan baru tak lagi secepat dulu). Selain itu, kuku juga harus dipelihara cukup panjang supaya bisa memetik senar kecapi dengan nada yang jernih. Sementara aku malah nggak betahan dengan kuku panjang, selain gampang rusak pula, makanya perlu suplemen.  

Setelah lanjut berpikir, motivasi pun mulai goyah. Niat awal untuk menguasai alat musik kecapi adalah agar bisa perform solo sambil mengenalkan budaya Indonesia di kalangan internasional. Sementara sekarang, kesempatan itu cenderung menyempit. Budget bulanan juga agak diirit-irit, jadilah aku ngibrit. Nggak jadi deh pengen mastering kecapi. Shifting aja ke keterampilan yang lain. Apa dong...? Ada yang mau kasih ide? Mengingat ini adalah Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini yang mengusung tema tentang hal-hal yang ingin dipelajari. Hmm... untuk saat ini tampaknya aku harus fokus dulu ke keterampilan memanage waktu dengan baik. Nah, setelah ini mudah-mudahan bisa upgrade skill baru ya, biarpun nggak akan bisa dipakai untuk perform solo di panggung, tapi manfaatnya terasa buat diri sendiri yaa.

Friday, July 01, 2022

#Day1, Disaster

Beberapa waktu lalu, karena cukup berani (malu) untuk posting foto dan cerita kegagalan saat baking, aku terpilih menjadi salah satu pemenang yang mendapat paket hadiah dari #TulipChocolate berupa kursus baking yang dipandu oleh dua orang Chef yang sudah tahunan malang-melintang di dunia percoklatan. Selain kursus baking berkelas internasional (yang kalau berbayar tentulah tak murah), kami 5 orang pemenang dari Indonesia beserta 5 orang lainnya dari Filipina pun dibekali dengan peralatan baking yang kualitasnya juga standar internasional dong. Mindset-ku langsung di-set untuk siap upgrade baking skill dari amatir menjadi... apa ya? Ya pokoknya harus naik kelas lah. Siap? Bismillah... bisa yuk bisa...
Paket hadiah dari Tulip Chocolate. 
Untuk keperluan kursus baking ini, selama beberapa hari aku menginap di rumah kakak untuk meminjam dapur dengan akses ke segala peralatannya. Yeay! Selain memang rumah yang aku tempati sebelumnya (punya kakak juga) memang dijadwalkan untuk renovasi besar. Jadilah aku angkut perlengkapan standar menginap beberapa hari. 
Niat awalnya, kakak maulah jadi asistenku sekalian curi dengar ilmu baking. Checklist segala kelengkapan alat dan bahan, termasuk belanja sendiri bahan-bahan premium, sudah dilakukan (rasanya) sebelum hari-H. Maka sok 'siap tempur', di Senin pagi pukul 9 kurang aku sudah duduk manis di depan laptop di dalam kamar dengan catatan di tangan, siap menyimak penjelasan Chef Jean-Marc Bernelin melalui aplikasi zoom.
Chef Jean-Marc in action.
Mungkin aku yang terlalu santai, atau kurang menyimak di saat briefing, dan yang jelas sih tidak mengecek kembali guide book yang sudah disampaikan panitia, aku salah jadwal lah di hari pertama ini. Yang kupahami... Chef akan mendemonstrasikan resep di sesi pagi untuk kami praktikkan di siang harinya. Kupikir aku akan punya cukup waktu untuk mempersiapkan alat dan bahan pada saat istirahat siang untuk kemudian praktik di siang jelang sore harinya. Eh ternyata tidak dong. Setelah Chef Jean-Marc demo memasak 1 resep, kami harus langsung mempraktikkannya segera setelah itu. O-ow... Aku gagap gempita dong. Tidak siap. Segeralah aku bersicepat menyiapkan beragam alat dan bahan. Owh... aku bingung sendiri di dapur yang tidak terlalu familiar buatku ini. Di mana spatula? Di mana whisk? Mana wadah-wadah untuk putih telur, wadah untuk menyiapkan gula, tepung, atau bahan lainnya untuk diolah? Bagaimana pula mengoperasikan oven listrik? Aku merasa tersesat di dapur ini. Kakak dan anak-anaknya sedang sibuk dengan berbagai aktivitas lain, jadi aku dipersilakan 'menjarah-rayah' dapurnya sendiri saja. Tapi aku tidak cukup mengenali medan dan alat dapur canggih yang membuatku gamang untuk menggunakannya. Ah... sudah salah langkah sejak sesi pertama nih. 😳😳😳
Lanjut resep kedua, kita perlu plastic wrap, yang ternyata tak tersedia di rumah kakak. Di saat bristirahat sholat dan makan, aku sibuk survey market place termurah dan terdekat untuk membeli cling wrap supaya bisa segera dikirim ke lokasiku berada saat ini untuk dipakai hari ini juga! Selepas makan siang, pesanan datang. Ternyata kakakku pun menyempatkan untuk mampir ke supermarket dan belanja cling wrap serupa. Hahayy... salah pengertian, kita. Tak apalah punya stok lebihan. Daripada kurang kan ya...?
Kompilasi hari pertama
Maka resep 2-ku kupending untuk digarap setelah sesi kursus berakhir. Aku lanjut dulu menyimak dan praktik resep ke-3 dan ke-4. Bagaimana nasib resep 2? Siap-siap begadang jangan begadang deh untuk proses eksekusinya. Sementara resep 1 yang adalah Choco Biscuit (semacam sponge cake), akhirnya berhasil juga kupanggang dengan loyang seadanya. Oven yang cenderung kecil membuatku harus membagi adonan menjadi dua kali naik panggangan. Sebelum menuangkannya ke dalam loyang, kakakku sempat bertanya, "Ini ada gula putih (dalam wadah terbuka), apa mau dipakai juga?" Astaghfirullah... aku lupa menambahkan sisa gula ke dalam adonan kocokan putih telur. Seharusnya gula ditambahkan sedikit demi sedikit pada saat membuat meringue. Jadi bagaimana ini? Maksa, aku tambahkan saja sisa gula putih itu ke dalam adonan. Nggak tahu deh hasilnya bakal bagaimana. Masih #GagalBaking dong kalau begini caranya. Betul-betul Day1 Disaster nih. Bismillah... semoga di hari ke-2 besok bisa lebih baik.
Ke-hectic-an hari pertama kursus baking bersama Tulip Chocolate ini kurangkum untuk setoran Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yang bertema Rutinitas harian mamah. Ah... tentu saja aktivitas kursus baking ini bukan rutinitas harianku. Aku hanya ingin bercerita, satu hari hectic dalam hidupku sebagai baker amatir. Hari ke-2 hingga ke-4 akan lanjut di postingan mendatang yaa. InsyaaAllah. 

Tuesday, May 31, 2022

Solusi Sehat Body Sampai Kuku

Kesehatan itu jadi modal banget untuk menjalani kegiatan keseharian. Orang-orang rela mengupayakan banyak hal agar kondisi kesehatan selalu prima. Berbagai suplemen bermunculan dengan segala janji untuk meningkatkan imun tubuh lah, untuk menjaga kesehatan kulit lah, untuk memelihara kesehatan jantung lah, untuk mencegah penyakit ini lah itulah, tinggal pilih saja mana yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dari segala suplemen yang beredar, satu yang klasik abadi menurutku itu adalah madu. Kemudian madu pun muncul dengan segala variannya. 
Aku sendiri rutin mengonsumsi madu. Tiap hari. Madu kuning juga madu putih. Sempat juga mengonsumsi madu hitam yang rasanya pahit dengan khasiat yang katanya begini dan begini. Tapi sudahlah... hidup sudah pahit, mengapa harus dibuat lebih pahit dengan konsumsi madu pahit? :p Maka aku mencukupkan diri dengan selalu menyiapkan dua jenis madu di rumah. Madu kuning untuk dicampur dengan air perasan lemon, yang kubawa untuk bekal minum sehari-hari. Sedangkan madu putih kupakai untuk campuran jamu supaya rasanya tidak segetir kehidupan ini.
Madu yang kupunya biasanya dikemas dalam botol plastik atau kaca (yang ada emboss merek sirop ternama) dengan tutup plastik dobel berupa ulir dan sumbat untuk menjaga agar madu tetap dalam kondisi terbaiknya. Nah... ketika membuka sumbat yang menutup mulut botol dengan begitu rapat, tentu perlu usaha ekstra dan kadang alat ekstra. Sesekali aku pakai pisau, tapi tak jarang aku pakai ujung kuku untuk membuka plastik sumbat botol yang bentuknya seperti topi boater atau bowler itu. Nah, dalam upaya membuka tutup botol sumbat itu, kukuku menjadi rusak karenanya. Apalagi dipakai buka-tutup sumbat botol madu tiap hari lebih dari sekali. Aku nih punya masalah kuku yang rapuh, tak seperti hatiku yang kukuh. Jiaahhh...
Belakangan, aku menemukan produk honey dispenser ini. Bentuknya lucu, seperti sarang lebah dengan motif pola honeycomb di bagian luarnya. Terbuat dari plastik bening dengan tutup bertangkai yang dilengkapi dengan kenop untuk membuka dan menutup aliran madu di bagian bawah. Bagian bawahnya yang berbentuk seperti dudukan telur dipakai untuk menaruh dispenser ketika sedang tidak digunakan dan menampung tetesan madu sekiranya masih ada yang menetes. Setidaknya, dia menetes di dalam wadah, bukan berceceran di meja. Satu set honey dispenser ini dilengkapi juga dengan sumbat untuk menahan madu agar tidak tumpah saat wadah sedang diisi. 
Honey dispenser ini bisa didapat dengan mudah di market place dengan rentang harga yang beragam. Dasar si aku nggak mau rugi, tentu aku cari yang harganya paling murah. Dan dengan konsep nggak mau rugi pula, aku sengaja beli 2 buah untuk kedua jenis maduku. Kebetulan harganya tidak sampai 50 ribu rupiah untuk sebuah dispenser, maka aku beli 2 sekaligus supaya bisa dapat benefit bebas ongkir (kalau belanja di bawah 50K nggak dapat promo bebas ongkir).
Cara pakainya mudah dan praktis. Untuk mengisinya kita pasang dulu sumbat di lubang bagian bawah, lalu tuangkan madu dari bagian atas setelah membuka tutup ulirnya yang bertangkai. Setelah wadah terisi, pasang kembali penutupnya lalu sumbat bisa dibuka. Setelah itu tempatkan dispenser ini di dudukannya sebelum digunakan. Ketika tiba saatnya untuk mengonsumsi madu, tinggal angkat dispenser mungil ini sambil memegang handle-nya, lalu tekan tuas di bagian pegangan, maka madu pun akan mengalir lancar dari lubang kecil di bagian bawah. Isi ulang madu ke dispenser ini cukup satu  hingga dua minggu sekali, jadi kuku rapuhku punya kesempatan untuk pulih sebelum kembali dipakai untuk membuka sumbat botol madu.
Satu kekurangan dari dispenser ini, masih ada sedikit lubang/celah di bagian penutupnya yang membuat aromanya menguar dan mengundang semut untuk datang. Beberapa kali, kudapati semut terjebak di bagian dalam dispenser ini. Tapi masalah kecil begini tentu bisa diatasi dengan mengoleskan sedikit minyak di area luar agar semut tidak bisa masuk. Atau lain kali, memang skunya saja yang mestinya beli madu asli supaya tidak disemutin. Madu yang kubeli mungkin agak-agak KW, yang banyak campuran gulanya sampai disamperin semut begini. Baiklah... lain kali aku beli madu asli lah.

Lain kali juga, aku bikin review tentang madu putih vs madu kuning atau madu hitam juga deh. Atau review produk lainnya. Tapi belum janji yaa. Kali ini sih janji buat setor blog post di event Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei ini. Terima kasih ya sudah mampir di sini.

Saturday, May 07, 2022

Ketupat Ketan Untuk Lebaran

Tema Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei ini adalah "Makanan Khas Kota Mamah". Duh... apa ya yang khas dari sini? Sebagai orang yang numpang hidup di Bandung hampir seumur hidup, aku nggak terlalu familier juga dengan kuliner Bandung. Lahir dari pasangan Jawa dan Tondano, selera di keluarga cukup beragam. Aku sendiri cenderung lebih suka gudeg dan makanan yang manis-manis, seperti seleranya bapak dan nggak ngikut seleranya ibu yang lebih suka ikan serta segala rica yang pedas-pedas. Lama tinggal di Bandung ternyata membuat ibu agak menurunkan standar kecintaannya pada masakan berbahan dasar ikan. Kenapakah? Katanya ikan di Bandung rata-rata tidak segar, akibat 'sudah mati 7 kali'. 🤣

Mengingat ini masih suasana lebaran, aku tuliskan serba sedikit memori tentang makanan khas Idul Fitri (dan Idul Adha) yang selalu ada di meja makan kami setiap tahun. Ketupat ketan, yang dimasak dengan santan. Lauknya bisa apa saja, sesuai usulan kami. Bisa rendang, opor ayam, gulai, kare, apapun lah, suka-suka saja.

Ketupat ketan dan lauknya. Bisa apa saja.
Ketika ibu masih ada, beliaulah yang selalu mengolah ketupat ketan ini. Kami anak-anaknya hanya membantu mengisi kulit ketupat dengan beras ketan yang sudah dicuci, dicampur sedikit santan dan ditaburi garam. Mengisi kulit ketupat harus di batas tiga perempat alias hampir penuh. Ibu selalu mengecek lagi hasil pekerjaan kami sebelum merebusnya dalam wajan atau panci besar berisi santan yang digarami lagi. Merebus ketupat ketan dalam santan tentu tak bisa ditinggal begitu saja seperti merebut ketupat beras. Rebusan harus terus dijaga, diaduk sesekali supaya santan tidak pecah. Itu pekerjaan yang dilakukan berjam-jam. Melelahkan tentunya. Setelah kenal dengan panci presto, ibu pun beralih menggunakannya untuk merebus ketupat. Cukup setengah jam saja setelah api dikecilkan dan hasilnya nggak jauh beda dengan ketupat yang dimasak dengan cara tradisional.

Ketupat ketan selalu jadi favoritku setiap tahun, dinanti-nanti keberadaannya karena rasanya yang gurih, beraroma sedap santan dengan tekstur yang kenyal. Apapun padanan lauknya, aku tak terlalu ambil pusing. Ketupatnya sendiri sudah enak kok. Mengingat kami adalah keluarga campuran dari dua suku yang berbeda, tak nampak dominasi suku tertentu di meja makan. Saling toleransi sajalah. Bapak juga nggak rewel kok soal makanan. Makan apapun, dibawa asik aja. Hal ini terbawa ke kami, anak-anaknya. Hayu, mau makan ketupat ketan pakai lauk apa? Setelah 1-2 hari lebaran, bosan dengan rendang atau opor ayam, ketupat ketan dimakan dengan abon saja pun jadilah.

Perdana memasak ketupat ketan hitam.

Setelah ibu meninggal dunia, tradisi memasak ketupat ketan dilanjutkan oleh kakak sulungku. Pernah di sebuah momen lebaran, kakakku ingin memasak ketupat memakai beras ketan hitam. Hmm...? Tidak biasa tapi ya kita turuti saja. Mengenai rasa, tak jauh berbeda dengan ketupat beras ketan putih. Cuma warnanya saja tampak eksotis.

Ketupat rice cooker vs presto.
Tradisi memasak ketupat ketan di setiap lebaran kulanjutkan setelah kakak sulungku berpulang. Aku tidak masak banyak-banyak karena aku tinggal sendiri saja. Kadang aku hanya memasak setengah kilo atau paling pol sekilo beras ketan (bisa jadi 12-14 buah ketupat berukuran sedang cenderung kecil) yang kubagi bersama kakak yang tinggal di komplek sebelah, atau dicicip teman yang berkunjung ke rumah. Tahun ini aku masak sekilo yang ternyata tidak muat di dalam panci presto imutku. Yuk bagi dua deh, sebagian kumasak di panci presto, sebagian lagi di rice cooker dengan mode memasak beras merah (sekitar 55 menit). Hasilnya? kurang lebih sama-lah.

Untuk mengabadikan tradisi hidangan lebaran ini, kubagikan langkah-langkah pembuatan ketupat ini di salah satu aplikasi memasak. Ternyata eh ternyata, ada web yang mengambil gambarku dan menyalin tulisan dari aplikasi memasak itu tanpa menyebut sumber. Untuk kali ini, aku tak akan mempermasalahkan deh... berprasangka baik saja karena ini adalah masalah tradisi, jadi dirasa pantas untuk dibagikan kembali. Kumaafkan lahir dan batin, semoga bermanfaat dan selamat menikmati ketupat ketan.

Wednesday, April 20, 2022

Hobi? Hummm.... Apa Ya?

Terus terang saja, membuat tulisan tentang aktivitas favorit yang biasa disebut hobi, sesuai dengan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, membuat aku jadi agak merenung. Apa ya hobiku sekarang ini? Rebahan, palingan. Hahaa...
Ketika kecil dulu, di masa buku kenangan bergiliran diisi oleh teman-teman, aku biasanya menulis aktivitas menggambar dan menyanyi di kolom hobi, Bertambah dengan kegemaran mengoleksi perangko yang beriringan dengan korespondensi. Di masa itu, saling berkirim surat dengan sahabat pena masih sangat lazim dan aku sungguh-sungguh menyenangi pengalaman itu. Saling berkirim surat sedikit banyak membantuku mengasah keterampilan menulis dan merangkai kata dalam bahasa yang baik dan terstruktur. Belajar sabar juga untuk menerima surat balasan yang kutunggu-tunggu di rentang waktu beberapa hari hingga hitungan minggu. Sangat berbeda dengan aktivitas berkirim pesan yang terjadi sekarang ini, di mana pesan instan tak perlu waktu lama untuk terkirim dan berbalas.

Dari aktivitas korespondensi itu, selain manfaat berupa kematangan psikologis dan kekuatan mental (menulis surat panjang dengan tulisan yang konsisten rapi perlu perjuangan lho), pastinya ada dong manfaat yang didapat secara fisik yang bisa jadi artefak sejarah. Selain mendapat beragam cerita seru tentang aktivitas teman-teman sebaya di tempat lain, beberapa kali juga aku menerima souvenir dari mereka. Saling bertukar lah kita. Souvenir yang khas dari daerah kita, tapi berukuran cukup kecil untuk bisa masuk amplop? Mikir lho itu untuk mencari benda yang pas. Bisa gantungan kunci, batas buku, sapu tangan, atau foto diri kita juga bisa. Ragam perangko yang tertempel di amplop juga jadi benda koleksi yang tak kalah menarik. Aku pun mengaku-aku sebagai philatelis. 🖃

Sampul Hari Pertama Jamnas 86.
Kubeli ketika mengikuti Jamnas di Cibubur.
Sebagai philatelis, aku merawat perangko-perangko yang kudapat dari teman-teman sahabat penaku. Kadang aku beli juga perangko bekas untuk menambah koleksiku, tapi rasanya kok tidak original ya. Ingin beli koleksi khusus semacam sampul hari pertama peringatan hari istimewa atau koleksi khusus PT Pos, kok rasanya sayang ya, buang uang untuk perangko. Mau dipakai untuk berkirim surat, sayang karena perangkonya edisi terbatas. Kalau dikirim ke orang lain, perangko edisi khusus itu tak akan kumiliki lagi dong, malah jadi milik orang lain. Tapi mau disimpan dan disayang-sayang juga kok ya terlihat ‘tak berguna’ dan buang uang ya. Ahahaa... akhirnya hobi koleksi perangko tinggal memori saja. Album perangko milikku juga sudah hilang. Sayang? Nggak sayang-sayang amat siih, toh koleksi yang kumiliki juga biasa-biasa aja, nggak istimewa. Jadi ya shifting saja ke kegiatan menyenangkan lain. Mariii...!

Sudah kubilang kan bahwa aku suka menyanyi? Dulu itu suka sekali menyanyi segala macam lagu. Ketika acara ‘Ayo Menyanyi’ atau 'Lagu Pilihanku’ ada di tv, aku biasa mengikuti acara tersebut sampai tuntas dan dari sana tak jarang aku belajar lagu baru untuk kunyanyikan dengan gembira di depan kelas ketika guru meminta muridnya untuk bergiliran menyanyi satu persatu dalam pelajaran kesenian. Biasanya teman-teman jadi anteng menyimak, menunggu-nunggu, aku akan menyanyi lagu apa kali ini? Sementara teman yang lain setia dengan lagu Pelangi, Lihat Kebunku atau Mendaki Gunung, aku biasanya membawakan lagu yang baru pertama kali mereka dengar, lengkap dengan gerak dan ekspresi. Sok artis banget ya? 😜 Aku pun mulai menggubah lagu padahal tidak punya keterampilan memainkan alat musik apapun di masa itu. Beberapa laguku yang lain sempat kuunggah di kanal Youtube, dengan iringan gitar dan suara ala kadarnya. Silakan diapresiasi.

Sekarang ini, aku sudah jarang menyanyi. Hobi menggambar pun luntur justru ketika aku mulai kuliah di FSRD ITB. Ketika SD, SMP hingga SMA aku merasa skill menggambarku cukup mumpuni, pas masuk kuliah auto minder ketika melihat goresan tangan teman-teman kok luar biasa sekali. Rata-rata mereka menggambar dengan santai, goresan cepat srat sret, tahu-tahu jadi aja gambar yang bagus. Sementara aku perlu usaha ekstra keras untuk membuat gambar yang bahkan hanya dibilang lumayan ‘benar’. Kuliah di DKV yang katanya salah satu jurusan favorit ternyata tidak membuatku bahagia. Aku sempat ingin pindah jurusan ke studio tekstil. Menggambar sosok dengan gaya fashion adalah salah satu hal yang membuatku bahagia, terlebih lagi ketika kukirimkan sketsa desain itu ke salah satu majalah, tayang, dan dapat uang. Bahagia nggak siih...? Aku sempat jadi kontributor rubrik Sketsa di majalah Ummi selama setahun lebih, sampai diundang jadi juri bersama Mbak Anne Rufaidah ketika majalah tersebut menggelar lomba sketsa busana muslim.
Beberapa sketsa busana yang sempat tayang di majalah Ummi.
Urusan kesenangan menggambar sketsa fashion ini ada irisannya dengan kesenangan pada dunia jahit menjahit. Ibu yang dulu adalah guru di sekolah keterampilan putri jadi inspirasiku. Selain membawa karya murid-muridnya ke rumah (untuk dinilai), ibu juga seringkali menjahit sendiri baju-baju untuk keempat putrinya, terutama saat Idul Fitri. Dulu ibu punya mesin jahit yang diengkol pakai tangan, lalu dilengkapi dengan dinamo dan digerakkan listrik. Sesekali, aku coba menjahit dan ternyata suka. Ibu lalu membeli mesin jahit baru yang memiliki fitur pola jahitan yang variatif. Menjahit dengan mesin jahit baru itu, tentu jauh lebih menyenangkan. Aku pun terkadang menjahit baju sendiri, termasuk seragam SMA yang kelimannya kujahit dengan pola jahitan yang tersedia di mesinnya. Selain praktis karena tak perlu mengelim dengan tangan, pola jahitan cantik juga jadi penghias seragam SMAku.

Celemek batik bolak-balik. Upcycle dari baju lama.
Kesukaan jahit menjahit, seiring dengan kecintaanku pada kain-kain tradisional. Inginnya sih seiring juga dengan kesenangan untuk mengoleksinya, terutama pada kain batik yang variannya luas sekali. Mengenali dan mengoleksi serba sedikit kain batik, sudah membuatku mengaku-aku sebagai batikmania. Makanya blog ini kunamai demikian. Tapi seperti koleksi perangko, koleksi batik ini sayang-sayang uang juga ya. Kalau hanya dikoleksi saja, untuk apa juga? Toh lama-lama lapuk digerus masa. Kalau digunting dan dijadikan baju, sayang... motif batiknya harus ‘berkorban’, sesuai dengan model baju yang diinginkan. Selain itu, sudah rahasia umum juga bahwa batik yang asli biasanya menggunakan pewarna alami yang mudah pudar setelah dicuci beberapa kali. Tapi aku tetap senang sih mengoleksi batik, biarpun tidak mau (atau tepatnya tidak mampu) merogoh kocek terlalu dalam untuk memperjuangkan sehelai kain batik bagus untuk dikoleksi. Saat ini kain-kain batikku masih banyak yang teronggok, menunggu untuk dimanfaatkan. Iya siaap. Tunggu nanti kalau aku dapat hidayah. Toh mesin jahit juga setia menanti. Apakah akan cukup waktu untuk membuat baju lebaranku sendiri? Kita lihat saja nanti ya.

Sunday, March 20, 2022

Kucing Garong


“Dasar kucing garong! Kuletakkan gagang telefon di tempatnya sambil memaki si penelefon di luar jangkauan pendengarannya.
Untuk ketiga kalinya, dia mengajakku makan bersama. Kali ini buka puasa bersama ceritanya, tapi dia hanya ingin berdua saja. Huh! Setelah gagal dengan usahanya mengajakku makan bersama di restoran miliknya, dia masih belum putus asa rupanya.
Bukan cuma sebal, aku jadi sedih. Hingga saat ini, hanya dia yang berani mengajakku 'kencan', sementara orang yang kuharapkan akan membawaku pergi ternyata malah mengajak menikah… gadis lain. 
Setelah bubaran dengan tunanganku awal tahun, aku tidak putus harapan. Aku yakin, masih ada laki-laki baik yang potensial untuk kujadikan pasangan hidup. Tidak semua laki-laki brengsek lah... Tapi yang datang kok dia? Laki-laki beristri itu, yang bahkan anaknya ada di kelasku!!!
Mantan tunanganku was bad enough. Dia mengaku sudah bercerai dari istri yang memisahkannya dengan dua putrinya. Tapi ketika kami sudah mulai mempersiapkan pernikahan dan menentukan tanggal, eh… dia bilang,”Maybe we have to delay our marriage. I haven’t really divorced from my wife.” Hari itu juga aku deklarasikan perpisahan dengannya. Sayangnya, aku tak bisa bertemu muka dan menampar wajahnya personally. Kami terpisah samudera.

Undangan acara buka bersama dari karibku semasa SMA rasanya bisa jadi pengalih perhatian nih. Sofi jadi tuan rumah. Yanti yang berdinas di Purwakarta kebetulan sedang di Bandung. Aku sendiri, setelah lulus kuliah dan mengajar di sebuah sekolah swasta, bisalah mampir ke rumah Sofi dengan acara bertajuk reuni ini. Tak kusangka hadir juga cowok-cowok se-gang ketika Paskibra dulu. Fadil datang bersama istrinya, sedangkan Teddy yang sekarang bekerja di Jakarta, datang dengan style. Betul-betul reuni kecil yang meriah.
“Dengar-dengar, ada kabar baik nih, Ted? Kok undangannya belum sampai ke sini?” Sofi membuat muka Teddy memerah dengan pertanyaannya. Yang tidak dia tahu, mataku pun membulat mendengar pertanyaan itu. Teddy mau menikah?? Dan dia tidak mengajakku untuk menjadi pengantinnya? Krkkk.. krak!! Aku patah hati lagi.
“Iya. Insya Allah setelah lebaran.”
“Eh… kirain bakalan sama Desi.” Celetuk Yanti, ringan saja. Kali ini aku yang gelagapan.
“Dari dulu udah dijodoh-jodohin, eh gagal.” Yanti memang paling rajin ngeledekin aku dengan Teddy sejak dulu. Sejak kami sama-sama aktif di Paskibra.
“Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik…” ujarku menyitir sebuah hadits nabi.
“Teddy terlalu baik lah buatku….” Ujarku. Rasanya aku berhasil menyembunyikan rasa hati yang sesungguhnya.
“Bukan sebaliknya, Des?” timpal Teddy tersenyum. Masih menawan seperti dulu.
“Ya… mungkin juga.” Ujarku. Komentar garing! Tiba-tiba aku kehilangan sense of humor. Kusembunyikan kecewaku di balik tegukan besar es kelapa muda segar. 

Sejak Yanti semangat sekali menjodoh-jodohkan kami berdua, tepatnya meledek kebersamaan kami, aku memang jadi lebih memperhatikan dia. Kepribadiannya yang tenang, dikombinasikan dengan otak encer, plus tampang dan hati yang cenderung di atas rata-rata, cukup membuat diariku padat dengan cerita tentang dia.
Dari 5 orang bersahabat di Paskibra, selepas SMA kami saling berpisah. Aku dan Teddy bertemu lagi di kampus yang sama walaupun berbeda jurusan. Aku di Biologi, sementara Teddy mengambil Teknik Informatika.
Di kampus Ganesha, kurasakan jatuh cinta yang sesungguhnya pada dia. Betapa berdebarnya ketika lewat di depan gedung fakultasnya. Hanya melihat mobilnya parkir di tepi jalan Tamansari saja sudah membuatku tersenyum-senyum sepanjang hari. Sekilas melihat sosoknya di gedung Oktagon saat kuliah umum pun sudah cukup membuat kupu-kupu di perutku berdansa. Bertemu dan disapanya dalam perjalanan ke perpustakaan, membuatku merasa berbunga-bunga. Gila! Tanpa disadarinya, dia jadi penyemangatku, dan memacuku untuk lulus cepat, sementara dia kelihatannya betah dengan suasana kampus.

Ponselku bergetar. Kulirik layarnya untuk melihat identitas si penelepon. Si kucing garong! Ah… tidak cukup menderitakah hariku saat ini?
“Maaf… saya tidak bisa bicara saat ini, Pak.” Ujarku formil, dan langsung menutup telefon.
“Judes amat sih, Des!” celetuk Yanti.
“Biarin ah.” Ujarku tak acuh.
Kubiarkan handphone-ku bergetar hingga berhenti sendiri.
Reuni kali itu tidak lagi meriah. Perpisahan di halaman rumah Sofi saat itu jadi perpisahan sungguhan. Selamat menempuh hidup baru, Teddy. Hiks.

* * *

Ponselku bergetar. Kulirik layar depan ponselku, nama Teddy terbaca di sana. Kutarik nafas panjang.
“Hallo! Mau nganterin undangan ya? Kapan?” rentetan pertanyaanku sebelum dia bahkan sempat menyapa. Jeda sesaat. Kurasakan dia tersenyum di seberang.
“Akhir minggu ini aku ke Bandung. Bisa ketemu?”
“Bisa. Di Warung Pasta aja ya.”
“Oke. Kalau kamu nggak datang, undangannya aku kirim.”
“Iya…iya… aku datang.”

* * *

Aku datang lebih dulu. Kupilih satu tempat di area depan taman dan membuka ponselku sambil menunggu. Tak berapa lama, dia mengetuk meja di hadapanku. Kami bertukar senyum lalu dia duduk berseberangan. Kami saling berdiam diri sampai pesanan kami datang.
“Maafkan aku…” katanya. Aku mengangkat alis. Bertanya.
“Lama tidak bertemu. Aku memang sengaja menghindarimu.”
“Oh… nggak apa-apa. Aku sudah duluan (menghindarimu).” kupuntir spaghettti di piringku lalu kusuapkan sekaligus untuk kemudian kukunyah dengan geram.
“Sebenarnya… aku sangat menyukaimu,” ujarnya, dengan suaranya yang terdengar berat dan susah keluar. Kunyahanku berhenti. Ini anak… pada detik-detik penyerahan kartu undangan pernikahannya, tega-teganya dia bilang begitu???
“Aku ingin namamu yang tercetak di undangan ini, bersanding dengan namaku. Tapi sekaligus juga tidak ingin. Kita terlanjur sahabatan.”
Entahlah, aku harus tersanjung, marah, kecewa, atau malu dengan hal itu. Tak ayal, aku ingin tahu juga apa alasannya.
“Sebagai sahabat, aku ingin memberi yang terbaik buat kamu. Nasihat, cukup baik nggak?” tanyanya sambil mempermainkan sendok di tangannya.
“Bolehlah.”
“…” kulihat mukanya yang tepat di depanku. Gila! Dia masih setampan dulu, bahkan auranya makin menyala! Kupalingkan pandanganku ke piring di hadapanku.
“Tetaplah seperti kamu sekarang ini.” Ujarnya kemudian.
“Ha???” Itu saja nasihatnya?” dia mengangguk.
“Itu sih nggak perlu dikasih tahu lagi…”
“Supaya aku nggak menyesal kalau menikah nanti.”
“Ya jangan dong!”
“Kalau kamu jadi feminin, manja, dan tidak mandiri, aku akan menyesal tidak menikahimu.”
“Kamu jahat ih! Tega ngomong begitu.” Dia diam.
“Memangnya, calon istrimu, karakternya gimana sih?”
“Prita? Dia feminin, manja, dependent. Dengan begitu, aku merasa dibutuhkan.” Aku mengangguk-angguk.
“Baguslah.”
“Tapi selera humormu, aku suka.” Sambungnya kemudian.
“Nggak perlu aku. Kamu bisa sewa badut Ancol. Lebih dekat.”
“Kamu cerdas, aku respek karena itu.”
“Makasih yaa.” Sebuah reaksi garing lagi.
“Kamu mandiri, tegar, sabar, pintar …”
“Bundar,” sambungku asal saja. Dia tersenyum kecil.
Strong sense of humor. Satu sisi dirimu, aku suka.” Makin lama dia bicara, sebetulnya hatiku makin teriris.
“Tapi aku ingin merasa dibutuhkan, tidak hanya untuk teman diskusi. I want a friend, a wife, a mother for my kids, a sister, and a lover in one person.”
And you found all of them in your future wife. I see. Congratulations.” Aku tersedak. Aku belum mengunyah spaghetti sialan itu dengan baik.
“Tidak semua, memang. But nobody’s perfect. Sebagiannya ada padamu.”
“Aku nggak keberatan jadi istri kedua.” Ujarku. Mudah-mudahan dia tidak mendengar keseriusan dalam nada suaraku. Lagi-lagi, dia cuma tersenyum.
“Maafkan aku, Tam. Kuharap kamu mendapat pendamping terbaik.” Eh, dia memanggilku “Tam”? Nama kecilku. 
“Aku berpikir lebih baik menjaga jarak kita supaya tidak ada yang kecewa. Mungkin akulah yang akan paling kecewa karena dari dulu, sejak teman-teman meledek menjodoh-jodohkan kita di SMA dulu, aku mulai memperhatikan kamu, dan ternyata aku suka. Entahlah dengan kamu, aku rasa kamu sangat baik sebagai sahabat. Tapi kamu terlalu mandiri, tak memerlukan apa-apa dari orang lain. Aku merasa tidak berharga di sisimu, tidak pantas. Daripada berharap muluk-muluk, aku sudah merasa puas dengan persahabatan kita. Meskipun sering menghilang dan menjaga jarak, sebenarnya aku tetap nggak mampu melupakan kamu.”
‘Lalu mengapa kamu muncul lagi sekarang, with shocking news like this?’ satu kalimat dalam benakku menginginkan jawaban.
“Prita biasa memintaku untuk menemaninya ke sana-sini, dan itu membuatku merasa dibutuhkan.”
Good for you. She’ll be a good wife, your lover, your friend, your sister, mother for your kids, she’ll be just perfect!” Aku biasa bicara dalam bahasa Inggris kalau sedang kalut. Bukannya sok gaya, tapi justru untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu akan terkait erat dengan perasaanku saat aku bicara. Dan saat ini aku sedang sakittt, dan aku tak ingin dia tahu.

Padahal, akhir-akhir ini, entah dirasuki setan apa, aku mulai sedang-hampir-akan mempertimbangkan usul Fasya, teman kantor yang terkenal dengan ide-ide brilyan (baca: edan) untuk melamar dia saja, daripada nunggu dilamar dan dia memang ternyata tak datang-datang. Lebih baik didului saja, begitu katanya. Hampir saja ide gila itu kulaksanakan. Untung saja tidak jadi. Atau malah rugi? Ah… Entahlah. Aku tak tahu lagi. Yang kutahu, sekarang ini aku ingin segera pergi dari hadapan pria perampok hatiku ini, yang tak juga dikembalikannya hingga kini. Yah… bawa pergi sana sebagian hatiku! Aku tak kuasa merebutnya kembali dari kucing garong yang satu ini. Kuhabiskan spaghetti di piringku, lalu kuteguk juga jus lemon dalam gelas tinggi di hadapanku. Kecut…! Biarlah kecut ini terasa sampai ke hati. Ih!! Sentimentil banget sih Tam? Kutegakkan mukaku, menatap langsung ke bulat matanya.
“Selamat ya…!”
“Kamu akan datang di pernikahan kami?”
“Mungkin.”
“…” dia tidak berkata-kata lagi. Lalu kami berpisah. Kubawa kartu undangan cantik darinya dengan tangan yang dingin.

Aku pulang dengan sebuah kehancuran jiwa yang baru. Apa yang salah dengan takdirku? Kenapa aku (pernah) jatuh cinta pada dia? Dia yang telah mencuri hatiku dan membawanya pergi. Hatiku tak kan pulih dalam waktu dekat. Jadi… kayaknya untuk saat ini aku akan terima nasihat Teddy sepenuh hati. Tetaplah seperti kamu sekarang ini. I am what I am. Biarpun nanti malam bantalku akan basah dengan air mata hasil nangis Bombay, tapi aku akan tetap jadi gadisnya, seperti yang dia mau. Gadis yang tegar, pintar, sabar, dan… bundar? Hah!!! Yang terakhir nggak-lah.

* * *
Tayang perdana di Majalah Chic edisi Juli 2007. Tayang ulang dengan edit pangkas habis untuk ‘Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog’ edisi Maret: Cerita Fiksi (Dengan Unsur) ITB

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka