Tuesday, September 29, 2009

Silaturahmi Tahunan

Beberapa tahun belakangan ini, masa-masa pasca-lebaran kami manfaatkan untuk bersilaturahmi. Kami sempatkan untuk berkunjung ke rumah Pak Rombang, mantan atasan kami. Beliau adalah mantan kepala sekolah di tempat aku mengajar dulu. Hal ini rutin kami lakukan setiap tahun. Tahun ini, pak Rombang juga bersiap-siap untuk ‘invasi’ kami ke kediaman beliau… Biarpun sudah berkali-kali berkunjung ke sana, sendiri ataupun bersama-sama, aku masih juga sering nyasar di kompleks besar itu. Tidak mudah memang menemukan jalan Pluto yang terletak di pelosok kompleks Margahayu Raya yang luas. Tahun ini, Alhamdulillah nggak nyasar lagi. Dua tahun lalu, kami saling mengajak teman, dengan pesan berantai, sms-an. Yuk, kita bersilaturahmi ke rumah pak Rombang. Tahun sebelumnya kami perempuan saja yang ke sana. Jadi nggak enak hati kan, sama istrinya. Biarpun mereka berdua sudah cukup sepuh, tapi tetep aja nggak enak hati ketika yang datang kok gadis-gadis semua. Haha…! Tahun berikutnya kami mengajak beberapa orang bapak rekan kerja kami untuk ikut berkunjung. Untungnya mereka setuju. Diaturlah waktu pertemuan yang tepat untuk itu. Bada dzuhur, sesudah makan siang, supaya nggak usah ngerepotin tuan rumah dengan acara menjamu kita-kita (huhuy… ke-GR-an amat ya? ;)) Di hari yang sudah disepakati, kami datang satu persatu ke kediaman beliau. Tidak berapa lama kemudian, kami sudah terlibat perbincangan seru. Segala macam topik bisa jadi bahan perbincangan. Mulai dari urusan birokrasi sekolah yang masih juga njelimet hingga urusan nyari sekolah lagi (Nerusin sekolah, maksudnya…). Mulai dari teman-teman yang masih aktif mengajar hingga yang sudah resign. Mulai dari urusan anak, keluarga, hingga perjuangan mencari pasangan hidup. Hah… susah ya kalau udah ngomongin yang satu ini. Soalnya, salah satu ‘korbannya’ adalah aku Sampailah saat adzan asar. Bapak-bapak pergi shalat ke masjid dekat rumah pak Rombang, sementara ibu-ibu numpang shalat di rumah. Yang nggak shalat, menemani ibu Rombang sambil bincang-bincang lebih jauh. Sepulangnya bapak-bapak dari masjid, perbincangan berlanjut lagi. Tentang masa kini dan masa lalu, tentang kenangan dan harapan, wah… pokoknya perbincangan nggak habis-habis deh. Sulit untuk menyudahi. Ketika kita sudah menggiring pembicaraan ke arah penutup untuk segera pamit, eh… addaaa aja yang nyambung lagi, bikin cerita jadi panjang lagi. Tak terasa, waktu maghrib pun tiba. Beneran deh, saatnya pamitan. Yak ampuuun, masih ada juga yang manjang-manjangin cerita. Niat mau pulang masih belum juga terlaksana. Sampai akhirnya.. pett!!! Mati lampu. Gelaplah sekitar. Ibu Rombang sibuk mencari lilin ke dalam, gelap-gelapan, sementara pak Rombang masih menemani kami di ruang tamu. Salah seorang kawan menyalakan lampu di ponselnya, dan masih juga melanjutkan berbincang. Nggak enak hati juga kita. Maksudnya, masa sih ketika suasana terang-riang kita ngobrol dan berbincang, tapi ketika lampu mati lantas kita pergi begitu saja. Rasanya kok ya kurang sopan gitu ya. Tapi memang harus pulang nih. Akhirnya ketika ibu Rombang sudah datang membawa lilin menyala, kita sepakat untuk pamitan pulang. Lagi, yang bapak-bapak pergi ke masjid untuk shalat di sana, sementara kami yang ibu-ibu shalat maghrib di Carrefour Kircon, nggak jauh dari rumah pak Rombang. Sekalian makan malam dan belanja. Mumpung deket… ;). Padahal sih memang dasarnya ibu-ibu, sukanya belanja melulu :p Jadi, kejadian tahun itu merupakan reuni sekaligus silaturahmi yang nyaris nggak berhenti-berhenti, diakhiri acara makan dan ketawa-ketiwi. Capek deh pipi. Tahun ini, kami berkunjung lagi. Dan masih juga… perbincangan nggak berhenti-berhenti. Kami sudah pamitan pun, pak Rombang masih juga ngajakin bincang-bincang di teras rumahnya (abis berfoto-foto tuh..) Jam setengah dua-an, akhirnya aku dan Intan baru berhasil meloloskan diri. Hihi… Bukannya nggak kangen, pak, tapi masih ada tujuan lain yang berencana kami datangi. Silaturahmi juga. Mumpung masih liburan nih. Kalau sudah masuk sekolah lagi, kan nggak bisa ke mana-mana selain ke kelas dan ketemu murid-murid.
Minal aidin wa faizin. Maaf lahir batin ya atas semua salah dan khilaf.

Sunday, September 27, 2009

Dari Puncak CiWalk

Kamis, 24 September 2009, aku, Intan dan Umi berniat ketemuan untuk bersilaturahmi pasca Idul Fitri, mau Meraih Mimpi bersama-sama. Maksudnya, mau nonton film animasi karya Nia Dinata ini di teater XXI CiWalk.
Setelah late brunch di rumah, aku pergi ke rumah Intan dulu. Menjemputnya sebelum kemudian berangkat bareng ke lokasi. Jalanan tidak terlalu padat, dan kami bisa sampai cukup cepat ke area Cihampelas. Di jalan Cihampelas itulah laju kendaraan padat merayap. Kendaraan dari atas (Ciumbuleuit dan Dago) ataupun Cipaganti, berbaur di Cihampelas. Kendaraan yang menuju gerbang tol Pasteur, ataupun yang masih ingin berlama-lama di Bandung dan menjajal area CiWalk, campur baur di sana.
Seperti sudah diprediksi, CiWalk ramai... deh. Mencari slot parkir jadi susah sekali. Aku harus berputar naik berkali-kali hingga lantai tertinggi. Agak ngeri juga setiap kali mendaki landasan terjal menuju lantai berikutnya. Kuat nggak nih, katana kecilku. Jangan dulu mikirin turunnya deh. Udah ngeri duluan. Tapi... rupanya kengerian itu terbayar dengan pemandangan indah dari atas gedung CiWalk. Di kejauhan nampak jembatan layang Pasupati yang gagah. Indah.
Ketemu Umi yang sudah nunggu lama. Jadi malu hati karena sudah bikin dosa lagi. Dia ternyata nggak bisa ikutan acara kita karena akan dijemput sang kakak dari luar kota yang berencana untuk bersilaturahmi ke rumah kerabat. Jadi cuma ketemu sebentar, lalu dia pergi. Aku dan Intan lalu mengantri tiket bioskop di teater 2 untuk film Meraih Mimpi. Dapat barisan paling belakang di sayap kiri. Lokasi yang cukup strategis, menurutku.
Nontonlah kita sambil menahan lapar gara-gara belum sempat makan siang. Tayangan film itu tak kunikmati betul. Mungkin karena lapar (hehe...), aku jadi ekstra kritis terhadap apa yang kulihat dan kudengar. Begitu banyak taburan bintang Indonesia yang terlibat di dalam proses produksi film itu, kurasa malah membuatnya jadi tidak fokus. Cut Mini sebagai Kakatu kurasa bermain apik. Penggambaran Gita Gutawa sebagai Dana si gadis desa dengan celana pendek birunya, kurasa tidak cukup membumi. Kurang meng-Indonesia, gitu. Patton sebagai Rai, adiknya Dana, yang digambarkan suka kungfu, hm... lucu juga sih. Di beberapa scene-nya kok ya jadi seperti Kungfu Panda ya. Agak lebay sih... tapi masih OK-lah.
Komunitas binatang di hutan sekitar, ini juga kurasa kurang tergarap dengan apik. Begitu banyak binatang dengan logat bahasa lokal yang tergabung di sana. Ada monyet Sunda, kancil Cina, bunglon Jawa, sementara Kakatu konsisten dengan logat melayunya. Padahal mereka tinggal di hutan yang sama.
Mencermati gambar animasi sepanjang film ini, kupikir animator Indonesia yang terlibat boleh diberi applause untuk penyemangat kerja mereka. Belum bisa dibandingkan dengan animasi Disney sih. Masih jauh deh rasanya, tapi sudah cukup lumayan-lah. Gerak bibir para pemeran kadang tidak sinkron dengan kata-kata yang diucapkannya. Tapi sejauh ini, film itu masih bisa kuberi dua bintang deh. Sementara itu, Gita Gutawa masih bisa dapat poin tambahan ketika dia menyanyikan themesong untuk film ini. Cantik betul. Suaranya yang jernih, artikulasi yang pas dengan nada yang tepat membuat film ini semakin cantik. Lagi-lagi, jadi teringat film yang lain sebagai pembanding, dan film Meraih Mimpi ini kalah lagi. Petualangan Sherina dengan lagu-lagu cantiknya menurutku masih lebih bagus. Ayo, sejarah perfilman Indonesia sudah mencatat karya-karya besar anak bangsa yang membanggakan. Di masa depan, pasti akan ada film Indonesia yang lebih spektakuler dan mengguncang sejarah (karena bagusnya). Insya Allah.
Usai nonton film, aku shalat asar dulu di mushala CiWalk yang apik. Setelah itu jalan-jalan sebentar di kawasan pertokoan, sekedar cuci mata, lalu menuju sebuah restoran favorit untuk makan siang yang sangat terlambat (atau makan malam yang terlalu awal?) Beberapa kekecewaan terpaksa kualami lagi. Berawal dari tak dipedulikannya kehadiran kami, dua orang perempuan sederhana di restoran yang cukup elit itu. Kita harus bengong dulu beberapa saat sebelum waiter mengantar kami ke meja yang tersedia. Setelah memesan dan berbincang berpanjang-panjang, eh... pesanan kita ternyata nggak datang-datang. Waiter/waitress malah mendahulukan pelanggan di meja lain yang justru datang belakangan. Setelah sedikit complain (cuma dengan muka asem kita sih...), akhirnya pesanan kita datang juga. Alhamdulillah. Makanlah kita sambil melanjutkan bincang-bincang.
Selesai makan, aku buru-buru ke mushala lagi untuk shalat magrib, sementara Intan ke lantai bawah untuk window shopping sesi ke-2. Selesai shalat, aku bergabung dengan Intan. Lihat-lihat juga. Tertarik dengan beberapa helai batik cantik, tapi nggak tega mbayarnya (soalnya mahal sih...). Agak ngiler juga lihat dislay sepatu-sepatu lucu, tapi sengaja nggak nyari nomor yang cocok denganku. Kalo ada, nanti aku merasa berkewajiban untuk beli. Bisa gawat. Intan menemukan softcase yang cocok untuk laptopnya, sementara aku nggak menemukan banyak pilihan untuk laptop berlayar 15 inci yang kupunya. Pengen punya sih, tapi belum mau beli karena opsi yang tersedia tidak cukup menarik buatku.
Usai menjelajah lantai bawah CiWalk, ah... rasanya hari sudah cukup panjang. Sudah saatnya untuk pulang. Kembali ke lantai atas tempat parkir mobil, kudapati pemandangan indah, Bandung di malam hari. Tentu kusempatkan untuk mengambil satu-dua shot dari kamera poketku, dan salah satu yang tercantik, kupajang di sini ya, untuk kita nikmati bersama. Enjoy Bandung... ;)

Saturday, September 26, 2009

Wisata Puntang

Hari pertama Idul fitri. Ritual tahunan, nyaris tak ada bedanya, kecuali dengan kedatangan sepupuku dari Jakarta yang tidak biasa. Kunjungan yang menghadirkan tanda tanya besar karena kali ini tanpa disertai keluarganya.
Hari kedua Idul fitri. Sementara anak-anak (baca: ponakan-ponakanku) ‘diungsikan’ ke rumah kakak, kami empat orang dewasa di rumah memanfaatkan ketiadaan mereka dengan beres-beres pasca-lebaran. Nyuci piring dan peralatan masak, nyuci baju, beres-beres rumah. Segar semua deh.
Hari ketiga Idul fitri, Selasa, 22 September 2009, rencana jalan-jalan keluarga telah disusun. Target: Area wisata Gunung Puntang, Banjaran. Catatan: lokasi ini sering jadi sasaran penggemblengan kami ketika masih jadi pramuka jaman SMP dan SMA. Aku dan kakak-kakak ipar sih serasa nostalgia aja ;)
Sekitar jam 9, kami bertolak. Konvoi 4 mobil, siap menuju kawasan Puntang. Aku menumpang mobil kakakku, sedan Honda City, bersama ibu dan satu kakak lainnya. Mobil kakak yang lain (Toyota Avanza) dikemudikan oleh kakak ipar, membawa istri, ketiga anaknya, dan 4 keponakan. Fully-loaded. Yang berikutnya, Suzuki Karimun hitam, dibawa oleh kakak ipar kakakku, sekeluarga, 4 orang, plus segala persediaan pangan ;) Yang terakhir, Mitsubishi carry merah yang relatif kosong, hanya diisi oleh suami-istri adik ipar kakakku. Dua anak mereka kan sudah menumpang di mobil kakakku. Cari serunya tuh.
Perjalanan tidak jauh. Tidak sampai satu jam, kami sudah sampai di lokasi. Jalan menanjak dan berkelok-kelok, membawa kami ke kaki gunung Puntang yang permai (halah...) Area Puntang masih relatif sepi di pagi Selasa itu. Kami menemukan sebuah lokasi landai beratap yang kami gunakan sebagai “base camp”. A Iwan alias papah akan menjaga base camp, sementara kami berjalan sedikit mendaki, ke area yang kami ingini. Mau ke mana...? Curug? Lapangan tenis masa silam (dibangun di jaman Belanda tuh...)? Kolam cinta (karena bentuk kolamnya menyerupai bentuk hati, walaupun kolam itu sudah tak berair dan tak digunakan lagi)? Kami pun mendaki hingga lokasi kolam cinta. Ibuku yang sudah nenek-nenek maupun keponakan kecilku yang belum lagi genap 3 tahun, masih bisa mendaki dan berjalan sendiri.
Berfoto-fotolah kami di sana. Melanjutkan perjalanan, ibu dan beberapa orang kakakku kembali ke base camp, sementara aku dan beberapa orang lainnya, plus seluruh keponakan berjalan lagi menyusuri jalan setapak untuk menemukan tepi sungai. Sungai kecil yang berair sangat jernih itu sangat mengundang keinginan untuk menceburkan diri ke dalamnya. Walaupun airnya dingin sekali, tapi keponakanku tak ragu untuk bermain-main di antara bebatuan besar itu. Pengalaman baru untuk mereka. Keponakan kecilku pun ikut berkecipak di air tenang. Setelah semua bajunya ditanggalkan (oleh sang ayah), dia dibiarkan untuk berjalan-jalan dan menjelajah sebagian kecil wilayah sungai itu, sementara kakak-kakak sepupunya asyik dan seru bermain air dengan segala gaya ;)
Dinginnya air membuat keponakan kecilku memuaskan diri dengan berjalan di air dangkal di antara bebatuan. Cipratan air dari aktivitas heboh kakak-kakaknya sempat membuatnya kesal. Tapi rupanya lama kelamaan dia tertarik juga untuk menjajal aliran sungai itu. Dia mulai dengan berjongkok di air dangkal. Pinggangnya ke bawah sudah basah, dan dia menyenangi arus kecil air sungai melintas di sekitarnya. Sementara itu kakak-kakaknya menemukan lokasi serupa kolam kecil dengan arus berbuih yang menyerupai kolam jacuzzi air dingin. Seru sekali mereka bertiga, para perjaka muda itu, bermain di dalamnya.
Sebelum tengah hari, kami berkemas dan kembali ke basecamp. Di perjalanan, si adik berucap, “Adik lapar...” Ha!!! Nggak biasanya dia begitu. Biasanya kalau jam makannya tiba, dia harus dibujuk atau dikejar-kejar dulu untuk makan, dan sekarang dia bilang lapar? Pasti efek dari kedinginan tuh. Kakak perempuannya juga kedinginan sampai ke tulang. Jelas aja, bajunya basah semua. Untunglah kita tidak begitu jauh dari base camp. Sesampainya di sana, segera saja mulut-mulut kecil itu lahap menyambut makanan yang disuapkan ke depan mereka. Lapar berat tuh, judulnya ;)
Selesai makan, ponakan-ponakanku ingin main air lagi. Maka turunlah mereka ke cabang sungai yang terletak agak di bawah base camp yang kita tempati. Main air lagi, tapi tak seseru sesi sebelumnya. Berfoto-ria, nggak lupa dong, tapi tidak dengan kameraku. Low batt se-low-low-nya membuat kameraku tak berguna di sesi siang itu. Tapi pengalaman bahagia di hari lebaran itu toh sudah terekam dan tersimpan di memory card dalam kameraku, siap untuk di-upload ke album foto facebook-ku. Wisata Puntang, judulnya.
Segera setelah kupasang dan kuberi komentar pendek-pendek di setiap fotonya, komentar dari teman-teman spontan berdatangan, menyatakan kekaguman. Sungai jernih yang alami, lengkap dengan batu-batu besar begitu, di mana lagi bisa ditemui? Setelah jenuh dengan suasana kota dengan hutan beton, hutan pinus tentu akan jadi penyejuk mata. Pemandangan sungai kotor penuh sampah yang melintas di tengah kota sebagai ‘santapan’ sehari-hari, tentu akan menyenangkan bila bisa menghapusnya sejenak dari pelupuk mata, digantikan dengan pemandangan alam segar tepi sungai yang masih alami. Siapa yang tidak tertarik, coba...? Ayo deh, siapa mau ikut wisata Puntang, aku mau deh jadi guide-nya ;)

Sunday, September 20, 2009

Tradisi (Jelek) Lebaran

Alhamdulillah, sampai juga kita di bulan Syawal. Sedih juga ketika Ramadhan meninggalkan kita. Bulan mulia itu telah berlalu. Semoga Allah masih memberi umur agar kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun depan, untuk melakukan amalan terbaik, yang lebih baik dari tahun ini. Amiin.
Setiap tahun, selalu ada yang pantas kita cermati dari pelaksanaan Ramadhan dan Lebaran di negara kita tercinta, Indonesia ini (biarpun Agustus sudah lewat, aku tetap cinta Indonesia lho…) Kadang malu juga sih, soalnya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia (ya iyalah, luas negaranya juga lumayan gitu lho, bukan lu manyun :p), ternyata kualitas umatnya rata-rata masih memble. Kuantitas boleh diadu, tapi kualitas belum bisa dijagokan. Sungguh seperti ucapan nabi bertahun silam, “Suatu saat umat muslim akan berjumlah besar, namun hanya seperti buih di lautan.” Nggak punya kekuatan. Mungkin karena masih ada hal-hal kecil yang kita permasalahkan, bukannya mengurusi hal besar dan bermanfaat. Beberapa contoh kecil di sini, coba ingat-ingat… adakah di sekitar kita, atau malah kita sendiri pelakunya? Hmm…
Lebaran Tidak Bersamaan
Tahun ini, persoalan Lebaran yang tidak bersamaan, muncul lagi. Sempat muncul kebingungan sih di masyarakat, Idul Fitri tuh kapan ya…? 20 atau 21 September? Yang jelas mah tanggal 1 Syawal deh. Ketika berbagai ormas besar hingga MUI sudah sepakat dengan tanggal penetapan 20 September sebagai 1 Syawal, eh… masih ada saja kelompok-kelompok kecil di beberapa tempat di Indonesia yang “mencuri start” dengan berlebaran lebih dulu. Hayoo… puasanya 28 hari ya…?
Main Petasan di Malam Takbiran
Ini lagi yang bikin sebel en mangkel. Di sekitar rumah nih, pada malam takbiran, beberapa pemuda tanggung main petasan malam-malam. Nggak tanggung-tanggung, petasannya meledak dengan kekuatan besar. Suaranya fantastis. Ini sih sudah nggak bisa ditolerir lagi. lha wong malam takbiran gitu lho. Orang lain sibuk takbiran di masjid atau malah kirab keliling kampung, ini malah main petasan di sekitar perumahan. Berisik, tahu?!? Belum lagi perbincangan di antara mereka yang ramai dengan bahasa dan kata-kata kasar. Gemas aku jadinya. Kuteriaki dari jendela kamarku, “Hey, takbiran sana, jangan main petasan aja. Ngganggu!” Salah satu dari mereka sempat berseru, “Allaahu akbar Allaahu akbar. Laa ilaaha ilallaahuwallaahu akbar…” sambil berlalu.
Mereka sempat pergi beberapa saat. Eh eh eh… jam 10-11-an mereka (atau rombongan yang lain lagi kali ya) datang lagi, main petasan lagi. Kuteriaki lagi, “Hey, sayang-sayang uangnya tuh. Daripada beli petasan dan ngganggu orang, mendingan sumbangin buat korban gempa, sana!” Sekitar 10 km dari kediaman kita, di Banjaran dan Pangalengan, banyak saudara-saudara kita yang jadi korban gempa pertengahan Ramadhan tempo hari. Betul kan, daripada buang uang dan jadi dosa, mendingan sumbangin dan jadi pahala.
Membiarkan Koran Berantakan/Berserakan
Satu lagi nih. Yang ini terjadi di hari Idul Fitri. Khutbah Idul fitri tak sepenuhnya disimak oleh jamaah, padahal khatibnya mirip-mirip ustadz Yusuf mansyur lho (sedikiit… banyak enggaknya. Haha…) Sebelum sang khatib sempurna menutup khutbahnya dengan doa, sudah banyak jamaah yang berdiri dan membubarkan diri. Nggak sopan banget ya. Lebih nggak sopan lagi, ketika banyak di antara mereka yang membiarkan koran alas shalat mereka berserakan di lapangan. Boro-boro dibawa pulang lagi. Dibereskan saja enggak. Mentalitas macam apa tuh? Seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Korannya nggak dibawa, mah?” Sang ibu menjawab santai, “Biarin aja.” Tak puas dengan jawaban ibunya, si anak bertanya lagi, “Kenapa dibiarin?” Ibunya agak bingung sih, tapi dia jawab lagi, “Iya… nanti biar diambil orang… buat disumbangin…” Eh… sembarangan aja nih si ibu. Disumbangin ke mana koran robek-robek begitu? Asbun aja... Sedangkan beberapa hadits mengabarkan bahwa Islam itu indah.
Allah itu indah, dan Dia mencintai keindahan.
Kebersihan sebagian dari iman.

Kesimpulannya, yang nggak bersih tentu kualitas keimanannya patut dipertanyakan. Jadi, kalau umat Islam jorok begini, sudah berimankah kita? Jadi pertanyaan besar ya…?

Anggrek untuk Lebaran

Rabu lalu, 16 September 2009, hari terakhirku ke sekolah. Dapat jadwal piket ceritanya... Membenahi beberapa file sebelum liburan, bikin anggaran kegiatan untuk kuartal berikutnya, tapi belum bikin persiapan mengajar. Itu sih nanti aja ah. Hehe...
Bincang-bincang dengan ibu kepsek, kukomentari satu pot anggrek baru di meja kerjanya. Bunga-bunga cantik keluarga anggrek bulan hybrid dalam nuansa ungu yang siap bermekaran. Kuingatkan untuk merawatnya semasa liburan, jangan sampai kering ketika saatnya kembali beraktivitas di sekolah. Tahu-tahu, beliau menitipkan bunga itu padaku. Beliau tahu bahwa ibuku bertangan dingin dalam merawat bunga-buangaan, termasuk anggrek yang jadi salah satu favoritnya (favoritku juga...)
Kaget dong... semudah itukah keputusan untuk menitipkan bunga anggrek cantik itu di rumah ibuku? Tapi aku tidak melewatkan kesempatan ini. Kesempatan baik tak datang sering-sering, harus cepat disambar sebelum kesempatan itu keburu melayang ;) Kuperhatikan, tanaman bunga ini masih dalam kondisi yang prima. Daunnya segar mengkilap, sementara kuntum bunganya banyak, siap mekar satu demi satu di hari-hari mendatang. Untuk Idul Fitri, titipan anggrek dari ibu kepsek ini akan tampak manis sekali di ruang tamu ibuku ;)
Satu lagi anggrek cantik dari taman bunga ibuku, masih tergantung di atas kolam. Dua untai bunga anggrek kecoklatan yang cantik, sementara ini biarlah jadi pemanis taman bunga belakang. Untaian yang satu sudah mekar duluan, dan satu persatu kelopak bunga mungil itu mulai layu dan berguguran. Sementara untaian yang baru sudah bermekaran sempurna, bersanding dengan 'kakaknya', membuatnya jadi sebuah paduan yang indah. Sungguh. Memperindah hari fitri di Syawal ini.

Friday, September 18, 2009

Selamat Idul Fitri

Di penghujung Ramadhan... kusadari betapa masih banyak amalan yang belum dijalani dengan sempurna, walaupun kusadari betul, bahwa sempurna itu hanya milik-Nya saja.
Sambut Syawal yang menjanjikan fitri... merenung kupertanyakan kelayakan diri untuk meraih fitrah diri, rasanya masih jauh panggang dari api.
Mohon maafkan lahir dan batin, atas semua salah dan khilaf. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah shaum kita, dan mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan tahun depan, untuk melakukan yang terbaik dalam upaya meraih ridho-Nya. Amiin.
Taqabalallaahuminna wa minkum, taqabbal yaa Kariim.

Wednesday, September 16, 2009

Karma

Satu hari 'libur' sebelum masa piket di sekolah, aku bertekad untuk memanfaatkan hari Senin untuk meng-upgrade kondisi mobilku. Harus ganti oli, ganti saringan oli, dan ngecek kondisi lampu kecil (atau lampu dekat?) mobilku. Jadilah sebuah kunjungan ke bengkel mobil langganan.
Karma, kali. Beberapa waktu sebelumnya, aku suka misuh-misuh kalau ada mobil yang menyalakan lampu besar di jalanan. Silau, tahu!?! Nggak bisa nyalain lampu kecil aja gitu? Eh... nggak berapa lama kemudian, kejadian padaku sendiri. Awalnya cuma lampu yang sebelah kanan yang mati (ini juga gara-gara aku suka berkomentar pada kendaraan yang 'berkedip nggak genit' begini :p), tapi kemudian yang kiri kompakan ikut mati. Daripada gelap-gelapan, kalau pulang malam, terpaksa aku nyalakan lampu besar. Bikin silau orang lain. Maaf ya... m(_ _)m
Masih urusan mobil, aku sudah kena 'karma' sebelumnya. Sebelum ganti dengan katana yang sekarang, aku suka misuh-misuh juga (seneng banget sih? Mudah-mudahan abis ini, kapok!), terutama pada pengendara mobil yang nggak bisa mulus berputar di U-turn. Jalanan Bandung punya banyak jalur terpisah dan tentu saja di beberapa tempat tersedia U-turn untuk kendaraan yang berminat untuk berbalik arah. Nah, ketika satu kendaraan di depanku tak bisa mulus berputar, seringkali aku tak kuasa menahan komentar. Aku yang bawa Kijang, bisa lho ber-U-turn mulus dengan sekali memutar kemudi. (Astaghfirullaah al'adziim. Ampuni kesombonganku, ya Robbi...) Tapi setelah berganti Katana yang notabene lebih kecil, kok malah nggak bisa ya. Putaran kemudinya ternyata lebih pendek. Giliran aku deh yang harus ekstra hati-hati atau malah melambung dulu ketika perlu berbalik arah di U-turn tertentu. Karma.
Satu karma lagi... (Mungkin sebetulnya, kata "karma" kurang tepat, tapi kata inilah yang paling dekat penggambarannya.) Di akhir Ramadhan ini, 4 hari menjelang hari-H, aku belum terima THR. :( Mungkin karena aku sering telat datang ke sekolah kali ya, makanya THR-ku juga datangnya telat.
'Pembalasan' ini, biarlah jadi pelajaran untuk diri ini. Supaya jadi bahan renungan, agar tak lagi sembarangan berpikir, berucap dan bersikap. Semoga apa yang terjadi saat ini jadi 'balasan' kontan atas sikapku, yang hanya terjadi di dunia, nggak perlu dibayar lagi di akhirat. Tak akan tertahankan...

Suatu Momen Fitri, Sebuah Memori

Idul fitri sudah dekat. Teringat lagi momen idul fitri di penghujung November 2003, ketika aku melewatkan salah satu Idul fitri paling berkesan di negeri seberang, Jepang.
Jadi satu pengalaman mengharukan ketika aku berkesempatan untuk mengikuti shalat Ied di kedutaan besar Indonesia. Di malam takbiran, aku numpang menginap di asrama seorang kawan. Kurang syahdu rasanya tanpa adanya gema takbir sepanjang malam. Paginya, setelah berjuang di kepadatan lalu lintas Tokyo, disambung dengan jalan kaki yang cukup melelahkan (apalagi karena dilakukan dengan bergegas), sampailah aku dan beberapa kawan di halaman Balai Indonesia. Pagi itu gerimis, tapi tentu saja ‘the show must go on’ alias shalat Ied harus tetap dilangsungkan. Aku sebetulnya sudah ketinggalan shalat, tapi … masa mesti masbuk sih? Tapi ternyata ada shalat Ied gelombang kedua, dan bahkan ketiga!
Seusai shalat, aku berbaur dengan jamaah lain di dalam gedung untuk menikmati sajian makanan khas Indonesia ataupun sekedar kue-kue camilan sambil berbincang-bincang dengan kawan sesama muslim lain, yang notabene baru kutemui pada saat itu. Tapi kami betul-betul serasa saudara. Tidak pernah kenal sebelumnya, tapi saling menyapa ramah. Kalau saja muslim di Indonesia bisa juga seperti ini ya? Indahnya…
Aku ketemu dengan Daichi dan kedua orangtuanya. Daichi ini pernah jadi muridku di kelas satu ketika aku mengajar di sekolah terdahulu. Nggak lama, hanya beberapa bulan, sebelum aku harus berangkat ke Jepang. Tahun berikutnya, giliran dia dan keluarganya yang kembali ke Jepang. Ibunya adalah warga negara Jepang. Saat itu, bicara dengan Daichi sudah harus pakai bahasa Jepang. Dia mulai lupa bahasa Indonesia. 私も日本語もうだんだん忘れちゃうんだ...。Sayang... Nggak lama berbincang dengan mereka, aku pulang ke Gunma, tempat tinggalku selama di Jepang.
Siang itu aku langsung pulang ke Maebashi dengan kereta api. Di stasiun, hilir-mudik wajah-wajah melayu, sedangkan kereta pun nyaris penuh dengan orang Indonesia. Kalau kita memejamkan mata, serasa mudik deh, karena rata-rata mereka berbicara dengan bahasa daerah masing-masing. Lucu juga. Ada Padang, Medan, Sunda, Jawa, hm... apa lagi ya? Pokoknya terasa kental-lah nuansa Indonesia-nya. Sepanjang memejamkan mata, serasa ada di Indonesia. Tapi... aku kangen untuk kembali ke sana.

Sunday, September 13, 2009

Foto-foto Masa Silam

Menemukan beberapa foto lama, membawaku kembali ke masa silam.
Berawal dari beberapa kawan yang meng-unggah foto-foto jadul di facebook. Sempat malu juga sih, ketika foto-fotoku muncul di album foto teman-teman dan di-share ke banyak orang. Masalahnya... aku baru beristiqamah mengenakan kerudung ketika kuliah semester 2 (waduh... telat banget ya? Jadi nyesel juga, nggak ngikutin saran tiga orang teman (cowok!!!) SMA-ku yang sudah baik banget mengingatkan untuk menutup aurat dengan sempurna) Tapi untungnya, masa-masa sebelum itu aku nggak pernah berfoto yang terlalu 'nganeh-anehi' gitu. Jadi kalaupun beberapa fotoku muncul, walaupun tanpa kerudung, ya... masih pose wajar deh, nggak akan sampe bikin malu berat (biarpun tetap aja sih... malu juga...)
Foto-foto jaman TK sampai kuliah, merupakan rentang waktu exploring (Dora... kali). Beberapa prestasi yang kuraih mengingatkan kembali tentang potensi diri yang sudah Allah anugerahkan. Kalau dulu bisa berprestasi, kenapa sekarang (agak) mandek sih...? Ayo ah, bikin prestasi lagi! Semangat yok, semangat...!

Wednesday, September 09, 2009

Berharap Pada Manusia

Ketika kita kecewa gara-gara berharap pada manusia, ya... salah sendiri. Kualami lagi. Seperti keledai bodoh yang jatuh ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya, dan akhirnya menyesali diri, menyalahkan diri sendiri.
Berharap akan dapat rezeki dari orang tertentu. Halah... ngarep amat sih, kenapa harus dari dia? Kalau Allah sudah menetapkan, rezeki sebesar apapun, kalau memang jatahnya kita, tak akan terhalang oleh apapun. Mau dari dia, mau dari sini atau sana, terserah Allah saja. Bahkan jumlahnya bisa lebih besar dari yang kuharapkan. Insya Allah...
Berharap seseorang akan melakukan perbuatan tertentu untuk kita. Ah, salah sendiri kalau akhirnya aku kecewa karena orang tersebut tak kunjung melakukan apa yang kita harapkan akan dilakukannya. Ingin diramahi orang lain? Ya baiknya dimulai dari kita sendiri-lah... Yuk, ramah sama orang lain. Di sini kok kayaknya susah ya? Biar susah, bukan berarti nggak bisa kan...? よっし、がんばるぞ!
Ternyata, yang kejadian malah aku dimarah-marahin. Sayangnya, sampai merusak hubungan silaturahmi. Sayang sekali. Iya... iya... aku ikut andil kesalahan, tapi memang niat baik tak selalu dapat diterima dan disikapi dengan baik. Harapan tak sesuai dengan kenyataan. Salahku sendiri, ngapain juga ngarep-ngarep dibaikin. Dan ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan, kalaupun kecewa, ya salah sendiri. Kenapa juga berharap pada manusia. Kecewa? Rasain aja sendiri. Kasiaan deh gue :p

Thursday, September 03, 2009

Gempa di Jawa, Allaahu Akbar!

Rabu siang menjelang sore, 2 September 2009. Anak-anak TK sudah pulang sejak sebelum tengah hari, sementara anak-anak SD baru saja dibubarkan dan bersiap pulang. Beberapa anak sudah dijemput oleh orang tua atau sopir jemputannya masing-masing, pulang ke rumah. Beberapa anak lainnya masih asyik di sekolah, bermain sambil menunggu saat pulang ke rumah. Anak-anak SMP beristirahat sejenak usai melanjutkan tadarus alQuran. Jam tiga nanti mereka akan berlatih angklung untuk tampilan perdana di depan petinggi yayasan dan Kota Baru, dalam event peresmian pemasangan tiang pancang pertama pembangunan mesjid raya Kota Baru. Aku, sebagai pelatih angklung amatiran, beristirahat sejenak usai mengajar di kelas 6.
Hari itu hari yang melelahkan. Aku hanya mengajar di tiga kelas, sebetulnya, tapi ketiganya berada di lantai yang berbeda, maka bolak-baliklah aku ke atas dan ke bawah dengan membawa segala perlengkapan seni, "senjataku" untuk mengajar. Capek... niatnya sih mau istirahat dulu sebentar deh sebelum naik lagi ke ujung lantai tiga, untuk melatih angklung di ruang musik sekolah kami. Baru beberapa saat di depan komputer, mengecek mailbox-ku, kurasakan guncangan kecil yang berangsur semakin kuat. 'Apakah gempa?' pikirku. Menunggu... akankah dia berhenti? Oh, ternyata tidak. Guncangan semakin kuat dan semua yang masih ada di sekolah berhamburan ke luar ruangan, mencari tempat lapang.
Berlarian menuruni tangga, kepanikan melanda. Sebagian semen dari sambungan dua buah gedung, berguguran dalam serpihan kecil-kecil. Takbir dan tasbih diucap tak putus, berharap kemurahan Allah. Satu-dua menit, guncangan gempa akhirnya reda. Tangis beberapa anak terdengar di sana-sini. Mulai dari yang takut, panik, atau justru karena takut dimarahi sang ibu karena kehilangan sebelah sepatu saat berlari ke ruang terbuka. Ah... ada-ada saja.
Tak berapa lama kemudian, kami 'diusir' dari pelataran dalam sekolah, untuk menuju ke ruang terbuka lainnya di halaman depan sekolah, mengantisipasi kemungkinan adanya gempa susulan.`Bergegaslah kami ke depan. Segera seusai itu, kami sibuk bertelepon ke sana-sini. Hampir semua orang terlihat memakai telegon genggamnya. Tapi tampaknya line telefon juga teramat sibuk, atau memang putus. Setelah berkali-kali mencoba, aku berhasil mengontak dua kakakku, yang juga merasakan gempa serupa.
Gempa rupanya berpusat di Tasikmalaya, dengan kekuatan 7,3 skala Richter. Kuat. Sungguh. Sementara di daerah Cianjur, daerah yang mengalamai kerusakan terparah, para relawan berupaya menjangkau daerah mereka. Daerah lain yang mengalami kerusakan juga adalah Bandung selatan, seperti Banjaran dan Pangalengan. Masya Allah... itu kan tidak seberapa jauh dari rumah kami. Rumah kami pun mengalami retak-retak sedikit. Bukan kerusakan berarti sih dibandingkan robohnya rumah saudata-saudara kami di tempat lain. Sungguh, peringatan Allah ini... terasa begitu nyata di bulan puasa ini. Bahwa usia manusia bisa berakhir kapan saja, di mana saja, dan bagaimana pun caranya. Gimana Allah saja. Allaahu akbar!

Tuesday, September 01, 2009

Logo

Senin kemarin, akhir Agustus, sebuah pengumuman lomba logo yang kuikuti sudah kutunggu-tunggu. Tentu saja sangat berharap untuk bisa memenangkannya. 10 juta, euy... siapa yng nggak mau? ;) Lagi perlu, pula. Hehe...
Terinspirasi dari bentuk ambigram koleksi "Angels and Demons" karya Dan Brown, diperkaya oleh banyak koleksi ambigram dari blog tetangga, nagfa.blogspot.com, kurancang-lah beberapa alternatif logo yang kukirim ke panitia penyelenggara.
Berdebar-debar menanti pengumumannya, sudah ge-er pula serasa jadi pemenang, eh ternyata panitia memutuskan... tidak ada juaranya. Hhh...
Karena tidak menang, boleh dong kupublikasikan sendiri di sini...
Salah satunya, logo putar ini.

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka