Thursday, July 07, 2022

Hari Cokelat Sedunia

Baru aku tahu di tahun ini, bahwa ada hari cokelat sedunia, yang jatuh di hari ini. Tapi sebetulnya, ada beberapa hari cokelat internasional lainnya yang juga dirayakan atau setidaknya diingat oleh warga dunia dengan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Salah satunya di tanggal 7 Juli ini. Untuk itu, mari kita sedikit rayakan hari istimewa ini dengan mengunggah satu resep pungkasan yang kudapat di sesi workshop baking tempo hari bersama Tulip Cokelat.
Ini adalah resep dari rangkaian resep untuk membuat Memory Cake, sebuah cake berlapis dengan cokelat yang dominan di hampir semua lapisannya. Di lapisan terbawah ada chocolate biscuit (sebetulnya ini semacam sponge cake) sebagai base, dilapisi chocolate cream sebelum ditumpuk dengan pannacotta cream yang ditumpuk kembali dengan selapis chocolate biscuit sebelum ditutup dengan chocolate cream. Diamkan dulu semalaman dalam freezer agar seluruh lapisannya set dan punya bentuk yang kokoh sebelum dark chocolate glaze dikucurkan di atasnya sebagai pelapis akhir. Sebagai sentuhan akhir, boleh ditambahkan dekorasi berupa potongan coklat putih dengan aksen taburan bubuk coklat. Manisnya maksimal. Tampilan cake cantik (asal pinter motongnya 😅), sesuai dengan sensasi unik saat menyantapnya. Lapisan pannacotta dan chocolate glaze jadi paduan sempurna di setiap gigitannya.
Kali ini, aku hanya akan share resep glaze yang membuatku terpesona. Rahasia lapisan glazing berkilau sebagai selimut cake ini ternyata begini toh... Yuk kita siapkan bahan-bahannya.

Dark Chocolate Glaze
Bahan-bahan:
90 g air
90 g gula pasir
225 g glucosa
15 g gelatin kering ---> 90 g gelatin basah

Cara Membuat
Step 1
Masak air, gula dan glukosa dengan api kecil. Jangan tunggu sampai mendidih, cukup sampai seluruh gula pasir larut dan glucosa tercampur rata. Biarkan meletup kecil di tepian panci. Aduk perlahan.
Step 2
Tambahkan bubuk coklat yang sudah diayak dan cooking cream (whip cream yang tidak perlu dikocok). Panaskan dengan api kecil sampai sedikit menggelembung. Aduk dengan spatula, hindari munculnya gelembung udara. Biarkan meletup-letup di tepian panci selama lebih-kurang 5 menit, setelah itu matikan api dan angkat panci. Dinginkan sejenak.
Step 3
Tambahkan gelatin yang sudah direndam dalam air es hingga mengembang 9 kali lipat. Gunakan timbangan untuk akurasi ukuran. Jika gelatin ternyata lebih dari 90 gram, peras sedikit hingga beratnya berkurang. Sebaliknya, jika beratnya kurang dari 90 gram, tambahkan sedikit air untuk menggenapkan hingga 90 gram. Perbedaan berat ini nanti bisa berpengaruh ke kondisi glaze yang kita buat.
Aduk perlahan hingga semua bahan tercampur rata. Tunggu hingga glaze bersuhu lebih-kurang 35-40 derajat celcius sebelum dituang ke atas mue yang sudah dikeluarkan dari freezer. Ratakan dengan offset spatula, sat-set kalau perlu satu kali sapuan saja supaya permukaannya mulus. Sementara itu biarkan kelebihan glazingnya meleleh ke tepian cake hingga menutupi seluruh permukaan cake. Setelah itu bisa dihias dengan kepingan cokelat putih yang sudah diberi taburan cokelat bubuk sebelumnya. Sesuai selera saja sih sebetulnya, suka-suka kita. 
Seusai workshop baking, beberapa bahan masih tersisa yang tentu saja tak bisa dibiarkan terlalu lama -di dalam kulkas sekalipun- maka aku manfaatkan lagi untuk membuat Memory Cake batch selanjutnya. Kali ini kubuat dalam ukuran mini untuk hantaran kepada seorang teman dan satu lagi versi tiny untuk lucu-lucuan sebagai snack untuk kumakan sendiri. Lapisan glazing-nya tidak menutup sempurna. Masih ada satu-dua gelembung kecil di sana-sini. Tepiannya yang tidak rata bisa ditutupi dengan potongan cokelat putih yang jadi dekorasi tak berkonsep (yang penting bocel-bocel glazing yang tidak rata bisa tertutupi/tersamarkan lah... :p). Dan mari kita nikmati Tiny Memory Cake ini dalam rangka untuk ikut memperingati hari cokelat sedunia. 🍫

Kacapi Yang Ingin Kupelajari

Di Masa Itu

Bersama mama angkat di kebun tomat.

Bertahun lalu, ketika aku dapat kesempatan tinggal di Jepang selama 1,5 tahun, kusempatkan mengisi 2 pekan di dalamnya dengan ikut berpartisipasi dalam program homestay ke Pulau Kyushu, bersama Yayasan Karaimo yang sudah rutin menggelar program itu selama bertahun-tahun. Berkumpul bersama mahasiswa asing lainnya dari berbagai tempat di Jepang, lalu disebar ke rumah-rumah keluarga Jepang untuk beraktivitas rutin di sana selama 2 pekan, jadi pengalaman yang sungguh berharga. Aku sendiri ditempatkan di Takanabe, bersama 3 orang mahasiswa asing lainnya dan secara spesifik aku tinggal bersama keluarga petani yang ramah.


Di akhir masa 2  pekan, setiap perwakilan area diminta untuk unjuk kebolehan, baik bersama keluarga angkat maupun secara individual. Saat itu kami menyanyikan lagu 'It's A Small World' dalam 3 bahasa yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Latihannya dilakukan dalam bus yang melaju menuju lokasi. Mudah eksekusinya, apalagi mamak-mamak angkat kita bersuara merdu dan sangat paham nada. Paduan suara yang kami tampilkan terasa sangat padu dan harmonis, megah juga saat seluruh audiens dipersilakan ikut bernyanyi dalam bahasa mereka masing-masing. Lagu ini juga sangat universal, tersedia dalam berbagai bahasa, hingga semua orang di dalam aula saat itu bisa ikut menyanyi dalam bahasanya masing-masing. Meriah. 

Dalam sesi performance itu, tentu saja banyak tampilan lain yang unik dan menarik. Ada yang menampilkan tarian Jepang, namun ada pula yang menampilkan tarian tradisional negara tempat peserta homestay berasal. Ada yang tampil solo bermain biola, namun ada juga yang peserta negara asing yang dengan percaya diri tampil solo memainkan alat musik Jepang. Di saat itu, aku terpikir betapa inginnya aku menampilkan salah satu kekayaan budaya Indonesia di kancah internasional semacam itu.

Alat musik kecapi. Sumber: wikipedia.
Coba kita list satu persatu. Untuk tampilan degung komplit tentu tak mungkin ditampilkan secara solo, mengingat alat yang dimainkan sangat beragam, punya dimensi dan berat yang tak main-main. Selain itu, biasanya setiap nayaga bertanggung jawab dan mempunyai peran masing-masing atas instrumennya. Angklung tentu akan jadi tampilan yang unik dan punya nilai budaya khas Jawa Barat. Satu set angklung bisa saja dimainkan secara solo, tapi instrumen bambu itu juga perlu penanganan khusus yang tidak sederhana saat dibawa bepergian. Terpikir olehku untuk menguasai salah satu instrumen musik Sunda, apakah suling, rebab atau kecapi. Nnahh... tampak unik bukan, kecapi? Sangat bisa dimainkan sendiri dan bisa jadi pengiring lagu dalam beragam kesempatan.

Di Masa Kini

Sepulang dari Jepang aku baru mulai mencari kesempatan untuk belajar memainkan kecapi. Terus terang saja, instrumennya pun belum aku miliki. Gitar sih aku punya, dan bisa memainkannya secara otodidak dengan chord dasar. Kupikir, memainkan kecapi tak akan jauh dari itu lah. Tapi engkau salah duga, Marbela...!  

Beberapa waktu (tepatnya beberapa tahun) kemudian, kutemukan seorang guru yang bisa mengajarkan cara memainkan kecapi. Guru privat, datang ke rumah, dengan imbalan fee yang masih murah meriah. Saat itu bersama dengan salah satu keponakanku, kami bergantian belajar kecapi di rumah. Suatu kebetulan bahwa keluarga kakak iparku punya sebuah kecapi yang bisa kita pakai. Niatnya siiih, buat latihan di rumah, memperlancar keterampilan bermain kecapi. Tapi niat tinggallah niat.

Ternyata memainkan kecapi tak semudah yang kukira. Perlu koordinasi jari kanan dan kiri yang padu. Jari kanan memainkannya dengan cara dipetik ke arah depan, sedangkan jari yang kiri justru memetik senar ke arah yang berlawanan. Dan itu harus dilakukan bersamaan. Dalam beberapa pertemuan saja, aku sudah ketinggalan dari keponakan yang belajar lebih cepat (hadeuww... ini tantenya yang sudah mulai 'karatan' nih. Belajar keterampilan baru tak lagi secepat dulu). Selain itu, kuku juga harus dipelihara cukup panjang supaya bisa memetik senar kecapi dengan nada yang jernih. Sementara aku malah nggak betahan dengan kuku panjang, selain gampang rusak pula, makanya perlu suplemen.  

Setelah lanjut berpikir, motivasi pun mulai goyah. Niat awal untuk menguasai alat musik kecapi adalah agar bisa perform solo sambil mengenalkan budaya Indonesia di kalangan internasional. Sementara sekarang, kesempatan itu cenderung menyempit. Budget bulanan juga agak diirit-irit, jadilah aku ngibrit. Nggak jadi deh pengen mastering kecapi. Shifting aja ke keterampilan yang lain. Apa dong...? Ada yang mau kasih ide? Mengingat ini adalah Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini yang mengusung tema tentang hal-hal yang ingin dipelajari. Hmm... untuk saat ini tampaknya aku harus fokus dulu ke keterampilan memanage waktu dengan baik. Nah, setelah ini mudah-mudahan bisa upgrade skill baru ya, biarpun nggak akan bisa dipakai untuk perform solo di panggung, tapi manfaatnya terasa buat diri sendiri yaa.

Friday, July 01, 2022

#Day1, Disaster

Beberapa waktu lalu, karena cukup berani (malu) untuk posting foto dan cerita kegagalan saat baking, aku terpilih menjadi salah satu pemenang yang mendapat paket hadiah dari #TulipChocolate berupa kursus baking yang dipandu oleh dua orang Chef yang sudah tahunan malang-melintang di dunia percoklatan. Selain kursus baking berkelas internasional (yang kalau berbayar tentulah tak murah), kami 5 orang pemenang dari Indonesia beserta 5 orang lainnya dari Filipina pun dibekali dengan peralatan baking yang kualitasnya juga standar internasional dong. Mindset-ku langsung di-set untuk siap upgrade baking skill dari amatir menjadi... apa ya? Ya pokoknya harus naik kelas lah. Siap? Bismillah... bisa yuk bisa...
Paket hadiah dari Tulip Chocolate. 
Untuk keperluan kursus baking ini, selama beberapa hari aku menginap di rumah kakak untuk meminjam dapur dengan akses ke segala peralatannya. Yeay! Selain memang rumah yang aku tempati sebelumnya (punya kakak juga) memang dijadwalkan untuk renovasi besar. Jadilah aku angkut perlengkapan standar menginap beberapa hari. 
Niat awalnya, kakak maulah jadi asistenku sekalian curi dengar ilmu baking. Checklist segala kelengkapan alat dan bahan, termasuk belanja sendiri bahan-bahan premium, sudah dilakukan (rasanya) sebelum hari-H. Maka sok 'siap tempur', di Senin pagi pukul 9 kurang aku sudah duduk manis di depan laptop di dalam kamar dengan catatan di tangan, siap menyimak penjelasan Chef Jean-Marc Bernelin melalui aplikasi zoom.
Chef Jean-Marc in action.
Mungkin aku yang terlalu santai, atau kurang menyimak di saat briefing, dan yang jelas sih tidak mengecek kembali guide book yang sudah disampaikan panitia, aku salah jadwal lah di hari pertama ini. Yang kupahami... Chef akan mendemonstrasikan resep di sesi pagi untuk kami praktikkan di siang harinya. Kupikir aku akan punya cukup waktu untuk mempersiapkan alat dan bahan pada saat istirahat siang untuk kemudian praktik di siang jelang sore harinya. Eh ternyata tidak dong. Setelah Chef Jean-Marc demo memasak 1 resep, kami harus langsung mempraktikkannya segera setelah itu. O-ow... Aku gagap gempita dong. Tidak siap. Segeralah aku bersicepat menyiapkan beragam alat dan bahan. Owh... aku bingung sendiri di dapur yang tidak terlalu familiar buatku ini. Di mana spatula? Di mana whisk? Mana wadah-wadah untuk putih telur, wadah untuk menyiapkan gula, tepung, atau bahan lainnya untuk diolah? Bagaimana pula mengoperasikan oven listrik? Aku merasa tersesat di dapur ini. Kakak dan anak-anaknya sedang sibuk dengan berbagai aktivitas lain, jadi aku dipersilakan 'menjarah-rayah' dapurnya sendiri saja. Tapi aku tidak cukup mengenali medan dan alat dapur canggih yang membuatku gamang untuk menggunakannya. Ah... sudah salah langkah sejak sesi pertama nih. 😳😳😳
Lanjut resep kedua, kita perlu plastic wrap, yang ternyata tak tersedia di rumah kakak. Di saat bristirahat sholat dan makan, aku sibuk survey market place termurah dan terdekat untuk membeli cling wrap supaya bisa segera dikirim ke lokasiku berada saat ini untuk dipakai hari ini juga! Selepas makan siang, pesanan datang. Ternyata kakakku pun menyempatkan untuk mampir ke supermarket dan belanja cling wrap serupa. Hahayy... salah pengertian, kita. Tak apalah punya stok lebihan. Daripada kurang kan ya...?
Kompilasi hari pertama
Maka resep 2-ku kupending untuk digarap setelah sesi kursus berakhir. Aku lanjut dulu menyimak dan praktik resep ke-3 dan ke-4. Bagaimana nasib resep 2? Siap-siap begadang jangan begadang deh untuk proses eksekusinya. Sementara resep 1 yang adalah Choco Biscuit (semacam sponge cake), akhirnya berhasil juga kupanggang dengan loyang seadanya. Oven yang cenderung kecil membuatku harus membagi adonan menjadi dua kali naik panggangan. Sebelum menuangkannya ke dalam loyang, kakakku sempat bertanya, "Ini ada gula putih (dalam wadah terbuka), apa mau dipakai juga?" Astaghfirullah... aku lupa menambahkan sisa gula ke dalam adonan kocokan putih telur. Seharusnya gula ditambahkan sedikit demi sedikit pada saat membuat meringue. Jadi bagaimana ini? Maksa, aku tambahkan saja sisa gula putih itu ke dalam adonan. Nggak tahu deh hasilnya bakal bagaimana. Masih #GagalBaking dong kalau begini caranya. Betul-betul Day1 Disaster nih. Bismillah... semoga di hari ke-2 besok bisa lebih baik.
Ke-hectic-an hari pertama kursus baking bersama Tulip Chocolate ini kurangkum untuk setoran Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yang bertema Rutinitas harian mamah. Ah... tentu saja aktivitas kursus baking ini bukan rutinitas harianku. Aku hanya ingin bercerita, satu hari hectic dalam hidupku sebagai baker amatir. Hari ke-2 hingga ke-4 akan lanjut di postingan mendatang yaa. InsyaaAllah. 

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka