Wednesday, April 20, 2022

Hobi? Hummm.... Apa Ya?

Terus terang saja, membuat tulisan tentang aktivitas favorit yang biasa disebut hobi, sesuai dengan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini, membuat aku jadi agak merenung. Apa ya hobiku sekarang ini? Rebahan, palingan. Hahaa...
Ketika kecil dulu, di masa buku kenangan bergiliran diisi oleh teman-teman, aku biasanya menulis aktivitas menggambar dan menyanyi di kolom hobi, Bertambah dengan kegemaran mengoleksi perangko yang beriringan dengan korespondensi. Di masa itu, saling berkirim surat dengan sahabat pena masih sangat lazim dan aku sungguh-sungguh menyenangi pengalaman itu. Saling berkirim surat sedikit banyak membantuku mengasah keterampilan menulis dan merangkai kata dalam bahasa yang baik dan terstruktur. Belajar sabar juga untuk menerima surat balasan yang kutunggu-tunggu di rentang waktu beberapa hari hingga hitungan minggu. Sangat berbeda dengan aktivitas berkirim pesan yang terjadi sekarang ini, di mana pesan instan tak perlu waktu lama untuk terkirim dan berbalas.

Dari aktivitas korespondensi itu, selain manfaat berupa kematangan psikologis dan kekuatan mental (menulis surat panjang dengan tulisan yang konsisten rapi perlu perjuangan lho), pastinya ada dong manfaat yang didapat secara fisik yang bisa jadi artefak sejarah. Selain mendapat beragam cerita seru tentang aktivitas teman-teman sebaya di tempat lain, beberapa kali juga aku menerima souvenir dari mereka. Saling bertukar lah kita. Souvenir yang khas dari daerah kita, tapi berukuran cukup kecil untuk bisa masuk amplop? Mikir lho itu untuk mencari benda yang pas. Bisa gantungan kunci, batas buku, sapu tangan, atau foto diri kita juga bisa. Ragam perangko yang tertempel di amplop juga jadi benda koleksi yang tak kalah menarik. Aku pun mengaku-aku sebagai philatelis. 🖃

Sampul Hari Pertama Jamnas 86.
Kubeli ketika mengikuti Jamnas di Cibubur.
Sebagai philatelis, aku merawat perangko-perangko yang kudapat dari teman-teman sahabat penaku. Kadang aku beli juga perangko bekas untuk menambah koleksiku, tapi rasanya kok tidak original ya. Ingin beli koleksi khusus semacam sampul hari pertama peringatan hari istimewa atau koleksi khusus PT Pos, kok rasanya sayang ya, buang uang untuk perangko. Mau dipakai untuk berkirim surat, sayang karena perangkonya edisi terbatas. Kalau dikirim ke orang lain, perangko edisi khusus itu tak akan kumiliki lagi dong, malah jadi milik orang lain. Tapi mau disimpan dan disayang-sayang juga kok ya terlihat ‘tak berguna’ dan buang uang ya. Ahahaa... akhirnya hobi koleksi perangko tinggal memori saja. Album perangko milikku juga sudah hilang. Sayang? Nggak sayang-sayang amat siih, toh koleksi yang kumiliki juga biasa-biasa aja, nggak istimewa. Jadi ya shifting saja ke kegiatan menyenangkan lain. Mariii...!

Sudah kubilang kan bahwa aku suka menyanyi? Dulu itu suka sekali menyanyi segala macam lagu. Ketika acara ‘Ayo Menyanyi’ atau 'Lagu Pilihanku’ ada di tv, aku biasa mengikuti acara tersebut sampai tuntas dan dari sana tak jarang aku belajar lagu baru untuk kunyanyikan dengan gembira di depan kelas ketika guru meminta muridnya untuk bergiliran menyanyi satu persatu dalam pelajaran kesenian. Biasanya teman-teman jadi anteng menyimak, menunggu-nunggu, aku akan menyanyi lagu apa kali ini? Sementara teman yang lain setia dengan lagu Pelangi, Lihat Kebunku atau Mendaki Gunung, aku biasanya membawakan lagu yang baru pertama kali mereka dengar, lengkap dengan gerak dan ekspresi. Sok artis banget ya? 😜 Aku pun mulai menggubah lagu padahal tidak punya keterampilan memainkan alat musik apapun di masa itu. Beberapa laguku yang lain sempat kuunggah di kanal Youtube, dengan iringan gitar dan suara ala kadarnya. Silakan diapresiasi.

Sekarang ini, aku sudah jarang menyanyi. Hobi menggambar pun luntur justru ketika aku mulai kuliah di FSRD ITB. Ketika SD, SMP hingga SMA aku merasa skill menggambarku cukup mumpuni, pas masuk kuliah auto minder ketika melihat goresan tangan teman-teman kok luar biasa sekali. Rata-rata mereka menggambar dengan santai, goresan cepat srat sret, tahu-tahu jadi aja gambar yang bagus. Sementara aku perlu usaha ekstra keras untuk membuat gambar yang bahkan hanya dibilang lumayan ‘benar’. Kuliah di DKV yang katanya salah satu jurusan favorit ternyata tidak membuatku bahagia. Aku sempat ingin pindah jurusan ke studio tekstil. Menggambar sosok dengan gaya fashion adalah salah satu hal yang membuatku bahagia, terlebih lagi ketika kukirimkan sketsa desain itu ke salah satu majalah, tayang, dan dapat uang. Bahagia nggak siih...? Aku sempat jadi kontributor rubrik Sketsa di majalah Ummi selama setahun lebih, sampai diundang jadi juri bersama Mbak Anne Rufaidah ketika majalah tersebut menggelar lomba sketsa busana muslim.
Beberapa sketsa busana yang sempat tayang di majalah Ummi.
Urusan kesenangan menggambar sketsa fashion ini ada irisannya dengan kesenangan pada dunia jahit menjahit. Ibu yang dulu adalah guru di sekolah keterampilan putri jadi inspirasiku. Selain membawa karya murid-muridnya ke rumah (untuk dinilai), ibu juga seringkali menjahit sendiri baju-baju untuk keempat putrinya, terutama saat Idul Fitri. Dulu ibu punya mesin jahit yang diengkol pakai tangan, lalu dilengkapi dengan dinamo dan digerakkan listrik. Sesekali, aku coba menjahit dan ternyata suka. Ibu lalu membeli mesin jahit baru yang memiliki fitur pola jahitan yang variatif. Menjahit dengan mesin jahit baru itu, tentu jauh lebih menyenangkan. Aku pun terkadang menjahit baju sendiri, termasuk seragam SMA yang kelimannya kujahit dengan pola jahitan yang tersedia di mesinnya. Selain praktis karena tak perlu mengelim dengan tangan, pola jahitan cantik juga jadi penghias seragam SMAku.

Celemek batik bolak-balik. Upcycle dari baju lama.
Kesukaan jahit menjahit, seiring dengan kecintaanku pada kain-kain tradisional. Inginnya sih seiring juga dengan kesenangan untuk mengoleksinya, terutama pada kain batik yang variannya luas sekali. Mengenali dan mengoleksi serba sedikit kain batik, sudah membuatku mengaku-aku sebagai batikmania. Makanya blog ini kunamai demikian. Tapi seperti koleksi perangko, koleksi batik ini sayang-sayang uang juga ya. Kalau hanya dikoleksi saja, untuk apa juga? Toh lama-lama lapuk digerus masa. Kalau digunting dan dijadikan baju, sayang... motif batiknya harus ‘berkorban’, sesuai dengan model baju yang diinginkan. Selain itu, sudah rahasia umum juga bahwa batik yang asli biasanya menggunakan pewarna alami yang mudah pudar setelah dicuci beberapa kali. Tapi aku tetap senang sih mengoleksi batik, biarpun tidak mau (atau tepatnya tidak mampu) merogoh kocek terlalu dalam untuk memperjuangkan sehelai kain batik bagus untuk dikoleksi. Saat ini kain-kain batikku masih banyak yang teronggok, menunggu untuk dimanfaatkan. Iya siaap. Tunggu nanti kalau aku dapat hidayah. Toh mesin jahit juga setia menanti. Apakah akan cukup waktu untuk membuat baju lebaranku sendiri? Kita lihat saja nanti ya.

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka