Friday, June 16, 2023

Banjir Kenangan Tak Terlupakan

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni ini bertema mengenai pengalaman masa kecil. Beuh... pikiran langsung flashback ke masa bertahun lalu, untuk kemudian memilih dan memilah kisah mana yang akan kuceritakan. Berikut ini salah dua di antara kenangan masa kecil yang enggan lepas dari ingatan.

Ketika kecil, aku tinggal di Dayeuhkolot. Familiar dengan nama itu? Ya... Dayeuhkolot kerap muncul di berita daerah maupun nasional sebagai area yang terdampak banjir  ketika musim hujan (dan banjir) tiba. Bittersweet memory kalau aku ingat masa itu. 

Di depan tembok sekolah masa kecilku.
Beberapa waktu lalu aku berkesempatan mengunjungi almamaterku, SDN Dayeuhkolot 7, yang terletak sekitar 100-200 meteran dari tepian Sungai Citarum. Berlokasi begitu dekat dengan salah satu sungai terbesar di Jabar ini tentu resiko kebanjiran mengintai di setiap waktu, terutama di musim hujan. Ketika hujan mengguyur Bandung dalam 2 atau 3 hari berturut-turut, tunggu saja... kami kemudian akan datang ke sekolah hanya untuk membaca pengumuman bahwa sekolah diliburkan karena banjir.  Biasanya aku dan teman-teman akan balik badan untuk pulang ke rumah masing-masing, berganti baju dengan baju lusuh, lalu kembali ke sekolah untuk bermain air. Kukucuprekan, istilahnya pada waktu itu.

Kami bermain air selama 1 hingga 2 jam  sesuka kami saja, toh biasanya orangtua kami tak ada di rumah karena pergi bekerja. Kami baru pulang ke rumah ketika lapar mulai melanda karena kelamaan bermain (atau berkubang?) dalam air yang sewarna bajigur. Tapi rasanya tentu saja tak ada bajigur-bajigurnya. Bagaimana aku bisa tahu? Ya, aku pernah merasakan sendiri ketika terpeleset dan bersalto 2 putaran di dalam air setinggi dada (di area yang landai sedikit lebih dekat ke tepi sungai). Dalam kepanikan nyaris tenggelam begitu, tak ayal air sungai terminum juga. Kupikir-pikir sekarang ini, jijik banget ya maenanku di masa itu, mengingat aliran Sungai Citarum yang berwarna coklat keruh itu tentulah membawa material lumpur dan... euwwhh... sudahlah, tak perlu dibayangkan lagi. 🥴😵‍💫

Bermain air begitu seringkali berlangsung beberapa hari. Dan setelah air surut, kami pun kembali ke sekolah untuk kerja bakti membersihkan kelas yang kotor berlumpur. Sebagai anak kecil, kami sih happy-happy aja, justru senang karena lepas dari kewajiban belajar di kelas. Sementara ketika aku dewasa dan menjalani profesi sebagai guru, rasanya libur sekolah 1-2 hari saja sudah cukup membuatku merasa kehilangan yang teramat sangat. Cemas mengingat target materi yang harus diajarkan. Akankah terkejar di sisa waktu semester berjalan? Dijejalkan atau justru dipangkas? Hahaa... Happy vs worry, what a bittersweet memory.

Flashback lebih jauh lagi yuk ke masa ketika aku bersekolah di TK. Ada pengalaman (tampak) lucu tapi bikin malu. Tapi biarlah kuceritakan padamu, karena toh saat itu aku masih lugu.

Tim tari Suwe Ora Jamu. Ki-ka: Panty, Yuli, Mbak Yayang, Nunung, Yani, aku.

Saat itu adalah hari perpisahan sekolah. Aku dan beberapa teman sudah berlatih untuk tampil menari di atas panggung. Aku ingat sekali, pagi itu aku diantar kakak sulungku, Mbak Yayu,  yang bersiap membantuku memakaikan kostum untuk tarian pertamaku, tari Suwe Ora Jamu, sesuai lagu yang mengiringi tarian itu. Dari 6 orang yang menari Suwe Ora Jamu, aku dan Nunung didapuk untuk membawakan dua tarian. Tarian kedua ini aku lupa judulnya, tapi kostumnya berupa baju senam hitam yang dilengkapi dengan kaos kaki kitam panjang (harusnya stocking kali ya) dengan rok berumbai dari kertas minyak, dan pelengkap mahkota bunga yang terbuat dari kertas krep juga kalung dan korsace. Untuk sesi ganti kostum yang rada ribet ini, aku ingat Mbak Yayu masih ada dan membantuku membuka lilitan selendang serta kain batik untuk kemudian menggantinya dengan kostum yang kusebut di atas tadi. 

Tari Hawai-kah ini?
Dengan kostum baju senam legendaris.
Rangkaian acara pun berlangsung satu demi satu. Ada teman lain yang bernyanyi, membaca sajak, atau unjuk kebolehan lainnya. Pengumuman-pengumuman pun disampaikan, termasuk pembagian hadiah. Aku juga dapat hadiah lah... standar saja, berupa buku tulis pada waktu itu. Kami naik ke atas meja panggung untuk menerima hadiah sementara aku masih memakai kostum tariku yang terakhir. 

Pendek kata, rangkaian kegiatan pun usai dan saatnya kami pulang ke rumah masing-masing. Kulihat berkeliling, tak kulihat sosok Mbak Yayu di mana pun. Tak pula ada orangtuaku karena keduanya bekerja. Tampaknya hari itu Mbak Yayu bersekolah siang dan dia pergi meminggalkanku di sekolah tanpa kabar apapun (ya mungkin karena aku sedang sibuk menari di panggung). Mbak Yayu kemudian pulang sambil membawa seluruh kelengkapan kostum tarian Suwe Ora Jamu. Intinya sih semua, tak bersisa. Tinggallah aku yang harus meninggalkan rok berjumbai dan mahkota bunga karena itu adalah properti sekolah. Kaos kaki hitam pun kutanggalkan karena tampaknya aku hanya dipinjami salah seorang teman. Ya, rasanya aku tak pernah punya kaos kaki hitam panjang. Aku tak ingat apakah Mbak Yayu meninggalkan alas kaki untukku atau juga dibawanya pulang. Yang jelas, yang kuingat dengan terang adalah aku pulang berjalan kaki ke rumah dengan mengenakan baju senam saja. Malunya luar biasa ketika siang hari itu aku memaksakan diri berjalan melewati barak tentara di kompleks Yon Zipur III alias barak tentara Kujang 330, melewati perumahan keluarga mereka yang sedang menjalani istirahat siang. Aku  sok cuek aja menebalkan muka dan telinga, mengabaikan segala komentar dan apapun kata atau tanya mereka. Perjalanan 500 meteran yang kutempuh dari sekolah ke rumah itu rasanya jadi perjalanan terlama. Lega rasanya bisa kembali ke rumah dan segera berganti baju dengan baju main yang normal, lalu kembali lagi ke komplek tentara di belakang rumah untuk manjat pohon kersen. Mudah-mudahan mereka nggak ingat mukaku, si anak yang barusan lewat pakai baju senam seksi tadi. Hihiii... 🤭🫣

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka