Thursday, June 27, 2024

Cinta Bumi (Tapi Masih) Setengah Hati

Simbol ekologi, diperkenalkan oleh Ron Cobb pada tahun 1969. Sumber: Wikipedia

Bulan April lalu, tepatnya tanggal 22, ditetapkan sebagai Hari Bumi, yaitu acara tahunan yang dirayakan di seluruh dunia untuk menunjukkan dukungan bagi perlindungan lingkungan. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang kita tinggali. Sebagai penduduk Bumi, sudah selayaknya kita menunjukkan kepedulian juga kecintaan terhadap Bumi yang sudah memberi begitu banyak kepada kita. Sebaiknya kita pun berterima kasih dengan cara merawatnya sesuai kemampuan.
Boleh nggak sih, ngaku-ngaku cinta Bumi tapi belum sepenuh hati? Harus kuakui, aku masih model orang seperti ini, yang nggak bisa bilang cinta mati lalu mengusahakan segala sesuatu demi Bumi. Well... katakanlah aku masih berproses, tapi aku peduli pada Bumi ini. (Mungkin belum sampai pada tahap cinta mati, tapi sungguhan... aku peduli pada Bumi ini).
Beberapa aksiku untuk menunjukkan rasa cintaku pada bumi, kupaparkan berikut ini. Hal-hal kecil yang bisa kulakukan untuk Bumi, sekiranya tidak terlalu merepotkan, tentu akan kulakukan. FYI, aku bukan orang yang akan sukarela mendaki gunung dan menyeberangi lautan untuk kemudian berkorban habis-habisan untuk orang yang kucinta. Enggaklah. Maaf-maaf, untuk bumi pun aku berlaku seperti itu.
Sebetulnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga bumi tetap lestari. Sebutlah 3 hal mendasar ini dulu deh.

1. Memilah sampah organik dan non-organik
Memilah saja sih mudah, sebetulnya. Panduan pemilahan sampah bisa kita dapatkan dari sumber mana saja dan sungguh sangat mudah mengikuti arahannya. Sampah organik cukup banyak dihasilkan bahkan dari rumah tangga kecil semacam rumah yang kutinggali sendiri. Aku mengolah bahan makanan hampir setiap hari, tapi tentu tidak semuanya bisa dikonsumsi. Kulit buah dan sayur, tulang hingga sisa makanan bisa dipisah dari sampah kertas, plastik, dan bahan non-organik lainnya. Mudahlah itu... tapi apa langkah selanjutnya?
Kumpulan botol plastik untuk donasi.
Sempat aku menjadi nasabah bank sampah di lingkungan tempat tinggal, tapi biarpun jadwal menabung sebulan sekali, terkadang sampahku nggak banyak-banyak amat juga siih sehingga tabungan akhir tahun pun tak seberapa. Nggak masalah, sebetulnya, dan nggak berharap dapat uang banyak dari tabungan sampah, kecuali kalau rajin lagi memilah sesuai kategori dan spesifikasi sampah untuk dibuang/ditabung. Kalau rajin melepas label dari botol air kemasan, memisahkan botol dari tutupnya, harganya bisa lebih tinggi dibanding botol yang masih lengkap dengan tutup dan label merek. Tapi karena aku masih terkendala malas, akhirnya kukumpulkan saja beragam botol dengan labelnya -setelah kucuci bersih dan kukeringkan tentunya- lalu setelah terkumpul satu-dua kantong plastik besar, kubawa saja dalam mobil, berharap ketemu bapak pemulung di perjalanan untuk kudonasikan saja botol-botol beserta kardus atau plastik lainnya pada mereka. Aku senang karena rumah sedikit lega tanpa sampah, sementara mereka pun senang bisa mendapat barang untuk mereka jual tanpa perlu bersusah lelah mengorek timbunan sampah dari rumah ke rumah. Simbiosis mutualis kan...? 

2. Mendaur ulang sampah, baik organik maupun non-organik
Proses mendaur ulang tampak sederhana tapi memang perlu usaha lebih untuk istiqamah menjalani prosesnya. Pernah aku mencoba membuat cairan eco enzyme dari kulit buah, tapi seberapa banyak sih sampah rumah tangga yang dihasilkan oleh seorang Diah? Tidak banyak. Dan itu yang membuatku menjadi goyah. Ketika kemarin semangat, hari ini lemah. Ketika hari ini gagah, besok ternyata lelah. Proses meng-eco enzyme akhirnya berhenti di tengah jalan.
Tak beda jauh dengan itu, proses mengompos pun pernah pula kujalani. Tidak ada pekarangan atau lahan yang luas, kumanfaatkan area di taman belakang yang luasnya ala kadarnya. Aku tak punya komposter khusus untuk mengolah sampah organik, tapi masih punya semangat mengompos (walaupun timbul-tenggelam tak berkobar-kobar). Banyak cara mengenai cara mengompos, tinggal pilih sesuai kemampuan kita.
Aku mencoba menerapkan komposting sederhana dengan menimbun tanah dan sampah secara berlapis dalam kontainer kecil. Dibantu semprotan katalis dan taburan gabah ntuk mempercepat proses pembusukan sampah, dalam rentang waktu 2-3 bulan sampah sudah berubah menjadi kompos. Tapi rupanya ada yang lucu dengan proses kompostingku. Bukan kompos yang tercipta, tapi malah muncul tunas tanaman baru.
niat mengompos,
malah jadi tunas
Seperti nampak dalam foto, di latar belakang ada beberapa wadah dengan tanaman jagung yang sedang berjuang untuk tumbuh, sementara di bagian depan, ah... itu seharusnya jadi wadah berisi kompos. Tapi kenapa malah muncul tanaman-tanaman muda yang bahkan aku lupa tanaman apa itu. Mungkin pohon jeruk, dari sampah jeruk peras beberapa waktu lalu. 
Terkadang tak sempat langsung mengompos karena berbagai keterbatasan, sampah kumasukkan ke dalam wadah bersih lalu kusimpan di freezer selama beberapa waktu. Tapi sampai sekarang ada beberapa yang belum berubah posisi. Niat untuk mengompos masih ada, tapi semangat kurang membara.  

3. Menggunakan wadah yang bisa digunakan berulang kali
Beli bubur ayam di wadah sendiri.
Ketika aku pergi beli sarapan ke tukang bubur, lontong kari atau nasi kuning, kubiasakan membawa wadah sendiri. Lumayan lah sedikit mengurangi sampah plastik. Wadah thinwall yang kadang kudapat dari tetangga atau tenant makanan siap beli, kupakai lagi untuk wadah prep bahan makanan sebelum memasak atau tak jarang untuk menyimpan frozen food di lemari pendingin. Tampilan isi kulkas jadi terlihat rapi, enak dilihat. 
Selain membiasakan diri memakai wadah yang bisa diberulang kali digunakan, kubiasakan juga membawa kantong belanja ke mana-mana untuk mengurangi konsumsi kantong plastik. Kadang-kadang aku masih perlu siih, kantong plastik dari warung atau mini market untuk kupakai sebagai pembungkus sampah agar mudah diangkut oleh petugas kebersihan.

Belum banyak yang kulakukan sebagai wujud cinta untuk Bumi, tapi setidaknya langkah kecil ini akan cukup berarti jika dilakukan konsisten dengan lebih banyak penduduk bumi ikut partisipasi. Yuk bisa yuk... cintai bumi walau masih 'setengah hati'. Daripada nggak cinta sama sekali. Iya nggak...? 

Koleksi Memori