Monday, March 23, 2009

Eriko-san, Mamaku di Maebashi

16 Agustus 2005, sebuah gempa berkekuatan lebih dari 6 skala Richter mengguncang Jepang bagian utara, namun getarannya dirasakan sampai Tokyo, demikian berita yang kudapat dari berbagai stasiun TV dan website berita di internet. Aku khawatirkan keadaan teman-teman yang berada di sana, juga Eriko-san, seorang wanita Jepang yang ramah, mamaku di Maebashi.
Kukirim sebuah e-mail untuk menanyakan kabarnya. Ah… kusadari aku tidak cukup sering berkirim kabar padanya, padahal dia adalah salah satu host family-ku di Jepang, selain Deguchi-san di Miyazaki ketika aku menjalani masa homestay selama dua pekan di masa liburan musim semi pertamaku di sana.
Sebuah e-mail balasan datang kemudian, mengabari bahwa dia dan keluarganya baik-baik saja. ‘Tomomi-chan (menantunya) baru saja melahirkan anak keduanya, seorang putri yang lucu. Sepasang cucuku sekarang, dan kami senang sekali bermain bersama mereka. Yuu-chan (panggilan sayang untuk anak sulungnya) akan melangsungkan pernikahan bulan Oktober mendatang’ Tulisnya dalam e-mail balasannya untukku. ‘Calon menantuku adalah juga seorang guru sekolah dasar, seperti dirimu, Bagaimana dengan kabarmu sekarang?’ Hangatnya sapaan perempuan paruh baya yang akrab kupanggil dengan Eriko-san ini.
Teringat saat aku hendak berangkat mengikuti program homestay di masa liburan kuliahku. Beliau membantuku memesankan tiket bus malam yang akan membawaku pulang-pergi dari Maebashi ke Osaka, tempat di mana aku akan melewatkan masa tinggal bersama satu keluarga Jepang selama dua pekan. Saat itu kemampuan berbahasa Jepangku masih sangat minim, sehingga tak berani (dan memang belum bisa) melakukan reservasi tiket. Tapi kok nekat ikutan homestay ya, yang notabene akan menuntutku untuk terus berkomunikasi dalam bahasa Jepang selama 2 minggu-an di rumah keluarga Jepang. Hehe…
Aku dan Eriko-san dipertemukan di malam lebaran tahun 2002. Saat itu aku tak bisa berangkat ke Tokyo untuk mengikuti shalat Ied karena satu dan lain hal, ‘insiden’ di kampus yang membuatku memutuskan untuk tinggal di Maebashi dan tidak bisa mengikuti shalat sunnah Iedul Fitri. Kebetulan, bertepatan dengan itu, telah dirancang acara pertemuan dengan kandidat host family yang diorganisir oleh salah satu biro di balai kota. Saat pertama berkenalan dengannya, aku langsung merasa dekat dengannya. Kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik memudahkan kami berkomunikasi. Minatnya pada kerajinan tangan termasuk proses membatik membuatku makin akrab dengannya. Sungguh suatu kebetulan bahwa akupun mempunyai minat yang besar pada kain-kain tradisional, terutama batik, bahkan salah satu alamat e-mail yang kumiliki bertajuk batikmania. Dengan cepat kami terlibat perbincangan yang akrab.
Saat itu putra keduanya yang sudah menikah sedang menantikan kelahiran anak pertama yang ternyata lahir sehari setelah pertemuanku dengannya. Saat ini dia telah dikaruniai cucu kedua dari anak keduanya, sementara anak pertamanya juga baru saja menikah. Ah… senangnya mendapat kabar baik dari sana. Teringat kembali saat-saat kebersamaan kami.
Darinya aku belajar banyak hal, dengan cara yang menarik pula! Salah satunya adalah dikenalkannya aku pada sebuah tradisi perayaan yang dikhususkan untuk anak perempuan. Perayaan ini diselenggarakan di sekitar musim semi, dan orang Jepang menamainya Hinamatsuri. Dalam kesempatan itu, rumah-rumah di Jepang berhias dengan memajang boneka-boneka cantik berbagai bentuk dan ukuran yang biasanya berpasangan, laki-laki dan perempuan, seperti loro blonyo di Jawa.
Boneka-boneka cantik itu biasanya ditata dalam sebuah display bersusun, yang memang lazim dimiliki setiap keluarga di Jepang, dan digunakan khusus untuk perayaan hinamatsuri ini. Di rumah Eriko-san sendiri, dia memajang beberapa pasang boneka hina di beberapa tempat di rumahnya, baik di genkan*, ruang tamu maupun ruang makan tempat dia menjamuku bersama seorang teman.
Dalam kesempatan makan siang itu mengenalkan tradisi hinamatsuri itu, aku dan karibku Barbara datang ke rumahnya dan menikmati santapan nasi berbalut telur dadar yang dibentuk menyerupai sosok boneka manusia. Lucunya… Kami berbincang banyak, saling bertukar cerita mengenai beberapa tradisi di Negara kami masing-masing. Pertemuan itu menjadi momen berharga untuk saling bertukar informasi, saling memahami satu sama lain. Perbedaan itu ada, bukan untuk dihindari, melainkan untuk diketahui dan saling dimengerti.
Di kesempatan lain, Eriko-san juga pernah mengajakku berkunjung ke lokasi pembuatan benda seni keramik, sebuah wahana seni yang juga disukainya. Sebuah situs kuil Budha yang terawat rapi juga sempat kami kunjungi bersama. Saat ini, berbagai kuil Budha maupun Shinto di Jepang memang telah terbuka untuk kunjungan turis, dan kemudian mengalami perubahan fungsi, walaupun fungsi utamanya sebagai tempat ibadah masih juga belum luntur. Di kuil tersebut, Eriko-san menjelaskan berbagai hal, membuat cakupan pengetahuanku bertambah luas. Alhamdulillah. Dia ajari aku tata cara memulai doa di depan pintu kuil dengan tepukan tertentu. Sebagai seorang muslim, aku tak merasa perlu melakukan ritual tersebut, dan dia memahami prinsip yang kuyakini. Membunyikan lonceng kuno pun ada cara dan aturan tersendiri, yang tentu saja tidak boleh sembarangan. Di kuil yang terdapat di wilayah Gunma tempatku tinggal ini, terdapat pula sebuah roda antik besar yang biasa diputar oleh para biksu jaman dulu. Ada pula tradisi melempar koin ke dalam kolam keberuntungan, dan tak ketinggalan mengambil ‘undian’ omikuji atau kertas ramalan (yang hanya bisa dilakukan di awal tahun). Selain itu, dia juga menceritakan kebiasaan di malam tahun baru untuk bersama-sama membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali yang merupakan perlambang banyaknya dosa manusia yang harus dihilangkan. Setiap dentang lonceng merupakan perlambang gugurnya dosa-dosa manusia satu persatu. Banyaknya…. Tapi mungkin memang dosa kita teramat banyak, yang secara sadar atau tidak sudah kita lakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Awal tahun merupakan momen yang tepat untuk mengingat kembali kesalahan yang telah kita perbuat, dan bermuhasabah untuk memperbaiki diri di tahun berikutnya. Ah... sungguh filosofi yang agung.
Beberapa filosofi tradisional Jepang yang mewarnai kehidupan mereka hingga saat ini memang masih terasa kental dan tak lekang oleh zaman, walaupun kemajuan teknologi telah terserap hingga ke pelosok-pelosok. Sungguh suatu perpaduan yang harmonis antara tradisional dan modern, dua titik ekstrim yang sepertinya bertolak belakang. Melihat pada bangsa sendiri, saat ini rasanya sudah banyak keluarga Indonesia yang meninggalkan nilai-nilai tradisional dan berpaling ke barat yang kemudian dianggap sebagai budaya tinggi untuk kemudian ditiru. Tak bisakah kita seperti orang Jepang, yang berhasil memadukan nilai timur dan barat secara harmonis. Bukan suatu hal yang mustahil, kurasa.
Pada malam sebelum kepulanganku ke Indonesia, Eriko-san berkeras untuk mengajakku menginap di rumahnya yang relatif baru selesai direnovasi. Niatan untuk mengundangku menginap di rumahnya sebetulnya sudah cukup lama dia sampaikan, tapi berhubung rencana renovasi rumahnya yang cukup memakan waktu, niat itu tak kunjung terealisir sampai hari terakhir sebelum pesawat JAL membawaku pulang kembali ke Indonesia.
Hari terakhir itu aku masih sangat sibuk membenahi barang-barangku. Rupanya tidak cukup waktu untuk membenahi semuanya sendirian, di sela-sela kesibukanku menulis perbaikan laporan yang harus kuserahkan kepada sensei, ‘pesta-pesta perpisahan’ dengan teman-teman, menyortir segala barang dalam apartemen dan sebagainya. Ah… Eriko-san dengan segala keramahan dan totalitas khas orang Jepang membantuku menyelesaikan permasalahan packing maupun hal lain. Eriko-san masih menyempatkan diri untuk menemaniku mengakhiri kontrak sewa telepon genggamku di sebuah provider ponsel, juga keluar-masuk pusat perbelanjaan untuk berburu tas pinggang berukuran besar yang kuperlukan. Setelah itu, barulah dia membawaku ke rumahnya yang nyaman untuk menikmati malam terakhir di Jepang.
Aku membantu Eriko-san menyiapkan makan malam, sebuah masakan sederhana yang disajikan dengan cara Jepang yang khas. Sederhana tapi disajikan secara berkelas, cantik. Kami makan bertiga, bersama Eriko-san dan suaminya, Kenjiro-san. Setelah membersihkan diri di ofuro, kamar mandi ala Jepang, aku tidur nyenyak malam itu, malam terakhirku di Jepang, hingga kelak kukunjungi lagi, entah kapan.
Dini hari, kembali Eriko-san membawaku menembus dinginnya udara pagi serta lengangnya lalu lintas kota Maebashi menuju pemberangkatan bus yang akan membawaku ke Bandara Narita, untuk kemudian kulanjutkan perjalananku kembali ke Indonesia. Sambil menunggu datangnya bus, kami sempatkan untuk berbincang-bincang lagi memanfaatkan saat-saat terakhir kebersamaan kami, dengan janji untuk tetap berkirim kabar, saling kontak via e-mail ataupun surat, diucapkan melalui kata-kata tersendat karena keharuan yang menyesak. Terasa betapa singkatnya waktu yang telah kami jalani bersama selama keberadaanku di sana. Mengingat kebaikan Eriko-san, mamaku di Maebashi.
genkan: ruang tempat melepas sepatu setelah pintu masuk di rumah-rumah Jepang.

3 comments:

Diana said...

subhanallah, barakallah ya mbak, seneeeeng deh... Memang kisahnya bagus kok, menyentuh, inspiring :) Aku kok ngga tau ya ada lomba begini? Hm, sekarang giliranku nunggu, naskahku untuk acara "She Can" Tupperware, doain yaa...

Diah Utami said...

Alhamdulillah. Semoga giliran berikutnya, naskah mbak Diana jadi jawara. Insya Allah. Saya tunggu kabarnya ya mbak. ;)

Anonymous said...

akhirnya bisa membaca salah satu tulisan pemenang Lomba Amazing Mom's:) diposting dimilis mbak tulisan-tulisannya yang lain..

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka