Friday, May 08, 2009

Jalan Berliku Menjadi Guru

Curhat-anku tentang profesi yang kujalani saat ini. Majalah Chic berkenan mempublikasikannya di edisi 6-20 Mei 2009 (setelah diedit sedikit). Kubagi juga di sini.
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar saya sudah bercita-cita menjadi guru. Cita-cita itu tidak direstui ibu saya. Beliau tidak mengizinkan anak-anaknya mengikuti jejak beliau sebagai pendidik. Aneh memang, padahal beliau pun seorang guru yang mengajar di sekolah menengah. Alasannya, karena profesi guru tidak menjanjikan imbalan yang sepadan dengan usaha yang dilakukan. Sejak saat itu saya berusaha mengalihkan cita-cita saya ke bidang lain walaupun masih dibayangi keraguan.
Lulus SMA, saya bingung menentukan pilihan kelanjutan studi. Akhirnya saya ‘terdampar’ di jurusan desain yang sebetulnya juga saya sukai. Walaupun demikian, saya masih agak ogah-ogahan kuliah dan menyelesaikan studi di kampus Ganesha (nggak mau rugi, mumpung masih berstatus mahasiswa ITB, terdengar sangat kredibel bukan? Sementara setelah lulus, tentu saya harus segera lebur ke dalam dunia pekerjaan yang tak akan melihat dari mana latar belakang kita). Ketika sebuah sekolah swasta membuka peluang sebagai staf pengajar di sana, tanpa ragu saya pun mengirimkan surat lamaran, menjalani proses rekrutmen panjang, dan sukses bergabung dalam komunitas pendidikan itu. Menjadi guru, seperti cita-cita saya dahulu.
Bulan-bulan pertama tentu saja merupakan masa adaptasi yang tidak terlalu mudah. Selain latar belakang pendidikan saya bukan dari kependidikan, juga dipengaruhi oleh sistem sekolah itu yang sangat moderat,tidak seperti sekolah (negeri) pada umumnya. Ditambah lagi dengan sistem full day school yang diterapkannya, menuntut kreativitas tinggi untuk dapat ‘survive’ di sana.
Pahit-getir, susah-senang, tentu saya jalani bersama rekan-rekan yang datang dan pergi silih berganti. Saya berusaha bertahan, semakin mengerti jalannya sistem, dan semakin adaptif untuk mengikutinya. Mengajar berbagai mata pelajaran, justru saya sangat jarang diberi kesempatan mengajar Kesenian yang menjadi latar belakang pendidikan saya. Aneh, tapi saya melihatnya sebagai suatu berkah.
Ketika datang kesempatan untuk mendaparkan beasiswa penataran guru ke luar negeri, di tahun ke-5 masa kerja saya sebagai guru, alhamdulillah, saya memenuhi kriteria untuk itu. Lomba guru pun berhasil saya jalani dan mendapatkan hasil yang tidak terlalu mengecewakan. Intinya, tidak memalukan sekolah yang telah memberikan kepercayaan kepada saya sebagai wakil yang ditunjuk.
Saat ini, saya mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri di sekolah lain, sekolah yang baru berdiri. Tantangan di tempat baru ini, tentu berbeda dibandingkan dengan tempat pertama yang saya rasa telah sangat berjasa ‘membesarkan’ dan mendewasakan saya sebagai guru. Sulit memang, tapi saya pernah survive berkali-kali di tempat sebelumnya. Saya yakin, kali ini saya pun akan survive lagi, memperjuangkan cita-cita saya, sebagai guru yang mumpuni, untuk ikut serta berpartisipasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

2 comments:

Anonymous said...

mbak diah, tahu gak, dulu cita-cita masa SMUku adalah menjadi guru TK. Kesampaiannya waktu ngajar anak-anak di sebuah Panti Asuhan di Bandung sewaktu kerja di sana. Setamat kuliah, pengennya jadi dosen, walaupun teman-teman kuliah sangat berminat kerja di Pertamina. Tapi, empat kali tes dosen semuanya gak lolos, dan akhirnya terdamparlah aku ditempat sekarang. Jadi guru adalah cita-cita hebat, mbak:)

Diah Utami said...

Yang penting prosesnya. Selama kita sungguh-sungguh menjalani, diiringi niatan yang benar, insya Allah akan dituntun ke jalan yang benar juga oleh Allah SWT. Insya Allah. Semoga sukses selalu ya, mbak Fety :)

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka