Suatu kali, ketika menghadiri suatu pertemuan, saya diinapkan selama beberapa malam berdua dengan Pak Fulan, seorang tokoh masyarakat. Orangnya tenang, usianya lima puluhan. Selama sekian hari bersama dia, saya mendapat pengalaman yang menarik. Bukan dalam kaitan dengan pertemuan itu, melainkan dalam hal penggunaan kamar mandi.
Saya perhatikan, Pak Fulan selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan amat rapi, seperti belum dipakai. Lantai kering seperti habis dipel dan peralatan mandi tertata rapi. Bahkan, kaca sudah bersih dari uap air panas yang mengembun. Jelas, Pak Fulan telah mengelap kaca cermin itu. Karena beberapa kali menemukan hal seperti ini, saya bertanya kepada Pak Fulan.
''Bapak selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan prima. Bukankah itu urusan room boy? Lalu, kenapa Bapak mau repot?''
Pertanyaan itu hanya ditanggapi dengan senyum dan baru dijawab setelah saya mengulangnya dua kali.
''Tidak apa-apa. Saya hanya ingin menghormati pemakai di belakang saya.''
''Tapi, tidak selayaknya Bapak menghormati saya, kan?''
''Ah, siapa bilang? Kita hidup bersama, jadi harus saling hormat. Lagi pula, kita hidup dalam tatanan yang berkelanjutan. Maka, hak-hak mereka yang berada di belakang kita harus kita hargai pula.''
Saya mengangguk-angguk. Dan, pembicaraan putus sampai di situ. Namun, kata-kata Pak Fulan terus terngiang dalam telinga saya, bahkan sampai jauh hari setelah pertemuan itu usai. ''Kita hidup bersama dan berkelanjutan. Maka, hargai hak-hak mereka yang datang sesudah kita.''
Ucapan Pak Fulan ini amat mengesankan. Ini ucapan seorang yang selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan prima karena dia mau memberi kemudahan dan mengenakkan mereka yang datang sesudahnya. Menurut kata-katanya sendiri, Pak Fulan bermaksud menghormati hak-hak mereka.
Saya membayangkan, jika menggunakan fasilitas umum, Pak Fulan akan bersikap sama; penuh tanggung jawab dan bila sudah selesai akan meninggalkannya dalam keadaan seperti semula atau malah lebih baik lagi. Bila dia seorang pegawai negeri, bila pensiun akan meninggalkan kantor dalam keadaan dan suasana yang kondusif sehingga penggantinya akan bekerja dengan enak. Dan, bila Pak Fulan seorang kepala desa, ketika masa tugasnya habis, dia akan lengser dengan anggun. Ditinggalkan jabatan dan desanya aman-tertib, siap jadi lahan berkembangnya geneasi berikut.
Bila Pak Fulan kelak meninggal? Saya percaya Pak Fulan akan meninggalkan kehidupan yang nyaman bagi perkembangan anak-cucunya. Juga, nilai-nilai dan tatanan yang mendukung kesadaran bahwa hidup adalah hadir bersama-sama dan berkelanjutan. Dan, dengan kesadaran seperti itu, Pak Fulan akan meninggalkan rumah-pekarangan yang terjaga, lingkungan yang diperhatikan kelestariannya.
Sayangnya, dalam kehidupan nyata, amat sedikit orang yang punya falsafah seperti Pak Fulan, yang amat sadar bahwa hidup adalah kehadiran bersama dan berkelanjutan. Kesadaran ini menuntut setiap orang tidak boleh terlalu egoistis. Juga tidak boleh serakah dengan ruang dan waktu serta sumber daya alam yang menjadi jatah generasi mendatang. Kehadiran bersama dan berkelanjutan juga membutuhkan tatanan hidup dan nilai-nilai yang terus-menerus dibangun dan ditaati. Tapi, dalam hal ini pun kita masih amat kedodoran.
Alangkah sering kita mendengar oknum pemimpin, baik sipil, polisi, maupun militer, yang menjual hutan, laut, atau gunung emas secara ilegal sehingga amat merugikan masyarakat dan generasi mendatang. Dalam skala pribadi, alangkah banyak orang yang begitu kemaruk menikmati kehidupan dengan mengabaikan etika dan moral. Bahkan, melupakan kepentingan anak-cucu mereka sendiri. Maka, jadilah kita masyarakat yang mungkin akan gagal membangun hidup sebagai sebuah kehadiran bersama dan berkelanjutan. Menyedihkan, memang.
Ah, ini sudah waktunya mandi pagi. Saya akan meniru Pak Fulan. Bila selesai, saya akan tinggalkan kamar mandi dalam keadaan prima. Dengan demikian, istri atau anak saya yang akan masuk kemudian bisa menikmati kemudahan dan hak-haknya sebagai orang yang datang kemudian terjamin sepenuhnya.
Saya perhatikan, Pak Fulan selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan amat rapi, seperti belum dipakai. Lantai kering seperti habis dipel dan peralatan mandi tertata rapi. Bahkan, kaca sudah bersih dari uap air panas yang mengembun. Jelas, Pak Fulan telah mengelap kaca cermin itu. Karena beberapa kali menemukan hal seperti ini, saya bertanya kepada Pak Fulan.
''Bapak selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan prima. Bukankah itu urusan room boy? Lalu, kenapa Bapak mau repot?''
Pertanyaan itu hanya ditanggapi dengan senyum dan baru dijawab setelah saya mengulangnya dua kali.
''Tidak apa-apa. Saya hanya ingin menghormati pemakai di belakang saya.''
''Tapi, tidak selayaknya Bapak menghormati saya, kan?''
''Ah, siapa bilang? Kita hidup bersama, jadi harus saling hormat. Lagi pula, kita hidup dalam tatanan yang berkelanjutan. Maka, hak-hak mereka yang berada di belakang kita harus kita hargai pula.''
Saya mengangguk-angguk. Dan, pembicaraan putus sampai di situ. Namun, kata-kata Pak Fulan terus terngiang dalam telinga saya, bahkan sampai jauh hari setelah pertemuan itu usai. ''Kita hidup bersama dan berkelanjutan. Maka, hargai hak-hak mereka yang datang sesudah kita.''
Ucapan Pak Fulan ini amat mengesankan. Ini ucapan seorang yang selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan prima karena dia mau memberi kemudahan dan mengenakkan mereka yang datang sesudahnya. Menurut kata-katanya sendiri, Pak Fulan bermaksud menghormati hak-hak mereka.
Saya membayangkan, jika menggunakan fasilitas umum, Pak Fulan akan bersikap sama; penuh tanggung jawab dan bila sudah selesai akan meninggalkannya dalam keadaan seperti semula atau malah lebih baik lagi. Bila dia seorang pegawai negeri, bila pensiun akan meninggalkan kantor dalam keadaan dan suasana yang kondusif sehingga penggantinya akan bekerja dengan enak. Dan, bila Pak Fulan seorang kepala desa, ketika masa tugasnya habis, dia akan lengser dengan anggun. Ditinggalkan jabatan dan desanya aman-tertib, siap jadi lahan berkembangnya geneasi berikut.
Bila Pak Fulan kelak meninggal? Saya percaya Pak Fulan akan meninggalkan kehidupan yang nyaman bagi perkembangan anak-cucunya. Juga, nilai-nilai dan tatanan yang mendukung kesadaran bahwa hidup adalah hadir bersama-sama dan berkelanjutan. Dan, dengan kesadaran seperti itu, Pak Fulan akan meninggalkan rumah-pekarangan yang terjaga, lingkungan yang diperhatikan kelestariannya.
Sayangnya, dalam kehidupan nyata, amat sedikit orang yang punya falsafah seperti Pak Fulan, yang amat sadar bahwa hidup adalah kehadiran bersama dan berkelanjutan. Kesadaran ini menuntut setiap orang tidak boleh terlalu egoistis. Juga tidak boleh serakah dengan ruang dan waktu serta sumber daya alam yang menjadi jatah generasi mendatang. Kehadiran bersama dan berkelanjutan juga membutuhkan tatanan hidup dan nilai-nilai yang terus-menerus dibangun dan ditaati. Tapi, dalam hal ini pun kita masih amat kedodoran.
Alangkah sering kita mendengar oknum pemimpin, baik sipil, polisi, maupun militer, yang menjual hutan, laut, atau gunung emas secara ilegal sehingga amat merugikan masyarakat dan generasi mendatang. Dalam skala pribadi, alangkah banyak orang yang begitu kemaruk menikmati kehidupan dengan mengabaikan etika dan moral. Bahkan, melupakan kepentingan anak-cucu mereka sendiri. Maka, jadilah kita masyarakat yang mungkin akan gagal membangun hidup sebagai sebuah kehadiran bersama dan berkelanjutan. Menyedihkan, memang.
Ah, ini sudah waktunya mandi pagi. Saya akan meniru Pak Fulan. Bila selesai, saya akan tinggalkan kamar mandi dalam keadaan prima. Dengan demikian, istri atau anak saya yang akan masuk kemudian bisa menikmati kemudahan dan hak-haknya sebagai orang yang datang kemudian terjamin sepenuhnya.
No comments:
Post a Comment