To have a great idea, have a lot of them.
Thomas A. Edison
Tuesday, March 31, 2009
Monday, March 30, 2009
Tragedi Situ Gintung
Allah kembali menunjukkan kuasa-Nya. Bahwa manusia tidak berarti apa-apa. Telah terjadi kerusakan di muka bumi disebabkan tangan-tangan manusia. Masihkan kita bisa berjalan lengang di muka bumi, membuat kerusakan di sana-sini, dan tetap bertanya-tanya, "Kenapa (semua ini terjadi)?"
Sudah selayaknya kita bahu membahu saling menolong. Bukan masanya saling menyalahkan. Selalu ada pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Semoga kita masih selalu termasuk ke dalam golongan kaum yang mau berpikir. Semoga Allah SWT memberi tuntunan. Semoga hati kita dicondongkan untuk mengikuti tuntunan Allah itu. Amiin.
Beberapa kejadian jadi semacam pertanda. Mukzizat, kata orang. Bahwa ada masjid yang kokoh berdiri hanya beberapa ratus meter dari tanggul dam Situ Gintung yang bobol, sementara tempat-tempat yang beberapa kilometer jauhnya tersapu habis oleh air bah dari bendungan yang jebol itu. Bahwa ada mushaf alQuran yang bersih dan kering tak tersapu air, padahal benda-benda di sekelilingnya tak ayal diterjang air di ruangan Sekretariat Faperta UMJ. Subhanallah. Bukankah ini jadi pertanda, bahwa kita harus teguh berpegang kepada firman Allah dalam kitab suci-Nya, Al Quran al Karim? Bukankah ini jadi pertanda agar kita menyatukan hati-hati kita, memakmurkan masjid, memelihara silaturahim dan memelihara ibadah kita? Jika kita masih juga belum menemukan bayangan diri kita di cermin musibah ini, sungguh merugi kiranya kita. Semoga Allah melindungi kita. Amiin.
Tuesday, March 24, 2009
Quote of the Day
There is only one success - to be able to spend your life in your own way.
Christopher Morley
Christopher Morley
Monday, March 23, 2009
Eriko-san, Mamaku di Maebashi
16 Agustus 2005, sebuah gempa berkekuatan lebih dari 6 skala Richter mengguncang Jepang bagian utara, namun getarannya dirasakan sampai Tokyo, demikian berita yang kudapat dari berbagai stasiun TV dan website berita di internet. Aku khawatirkan keadaan teman-teman yang berada di sana, juga Eriko-san, seorang wanita Jepang yang ramah, mamaku di Maebashi.
Kukirim sebuah e-mail untuk menanyakan kabarnya. Ah… kusadari aku tidak cukup sering berkirim kabar padanya, padahal dia adalah salah satu host family-ku di Jepang, selain Deguchi-san di Miyazaki ketika aku menjalani masa homestay selama dua pekan di masa liburan musim semi pertamaku di sana.
Sebuah e-mail balasan datang kemudian, mengabari bahwa dia dan keluarganya baik-baik saja. ‘Tomomi-chan (menantunya) baru saja melahirkan anak keduanya, seorang putri yang lucu. Sepasang cucuku sekarang, dan kami senang sekali bermain bersama mereka. Yuu-chan (panggilan sayang untuk anak sulungnya) akan melangsungkan pernikahan bulan Oktober mendatang’ Tulisnya dalam e-mail balasannya untukku. ‘Calon menantuku adalah juga seorang guru sekolah dasar, seperti dirimu, Bagaimana dengan kabarmu sekarang?’ Hangatnya sapaan perempuan paruh baya yang akrab kupanggil dengan Eriko-san ini.
Teringat saat aku hendak berangkat mengikuti program homestay di masa liburan kuliahku. Beliau membantuku memesankan tiket bus malam yang akan membawaku pulang-pergi dari Maebashi ke Osaka, tempat di mana aku akan melewatkan masa tinggal bersama satu keluarga Jepang selama dua pekan. Saat itu kemampuan berbahasa Jepangku masih sangat minim, sehingga tak berani (dan memang belum bisa) melakukan reservasi tiket. Tapi kok nekat ikutan homestay ya, yang notabene akan menuntutku untuk terus berkomunikasi dalam bahasa Jepang selama 2 minggu-an di rumah keluarga Jepang. Hehe…
Aku dan Eriko-san dipertemukan di malam lebaran tahun 2002. Saat itu aku tak bisa berangkat ke Tokyo untuk mengikuti shalat Ied karena satu dan lain hal, ‘insiden’ di kampus yang membuatku memutuskan untuk tinggal di Maebashi dan tidak bisa mengikuti shalat sunnah Iedul Fitri. Kebetulan, bertepatan dengan itu, telah dirancang acara pertemuan dengan kandidat host family yang diorganisir oleh salah satu biro di balai kota. Saat pertama berkenalan dengannya, aku langsung merasa dekat dengannya. Kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik memudahkan kami berkomunikasi. Minatnya pada kerajinan tangan termasuk proses membatik membuatku makin akrab dengannya. Sungguh suatu kebetulan bahwa akupun mempunyai minat yang besar pada kain-kain tradisional, terutama batik, bahkan salah satu alamat e-mail yang kumiliki bertajuk batikmania. Dengan cepat kami terlibat perbincangan yang akrab.
Saat itu putra keduanya yang sudah menikah sedang menantikan kelahiran anak pertama yang ternyata lahir sehari setelah pertemuanku dengannya. Saat ini dia telah dikaruniai cucu kedua dari anak keduanya, sementara anak pertamanya juga baru saja menikah. Ah… senangnya mendapat kabar baik dari sana. Teringat kembali saat-saat kebersamaan kami.
Darinya aku belajar banyak hal, dengan cara yang menarik pula! Salah satunya adalah dikenalkannya aku pada sebuah tradisi perayaan yang dikhususkan untuk anak perempuan. Perayaan ini diselenggarakan di sekitar musim semi, dan orang Jepang menamainya Hinamatsuri. Dalam kesempatan itu, rumah-rumah di Jepang berhias dengan memajang boneka-boneka cantik berbagai bentuk dan ukuran yang biasanya berpasangan, laki-laki dan perempuan, seperti loro blonyo di Jawa.
Boneka-boneka cantik itu biasanya ditata dalam sebuah display bersusun, yang memang lazim dimiliki setiap keluarga di Jepang, dan digunakan khusus untuk perayaan hinamatsuri ini. Di rumah Eriko-san sendiri, dia memajang beberapa pasang boneka hina di beberapa tempat di rumahnya, baik di genkan*, ruang tamu maupun ruang makan tempat dia menjamuku bersama seorang teman.
Dalam kesempatan makan siang itu mengenalkan tradisi hinamatsuri itu, aku dan karibku Barbara datang ke rumahnya dan menikmati santapan nasi berbalut telur dadar yang dibentuk menyerupai sosok boneka manusia. Lucunya… Kami berbincang banyak, saling bertukar cerita mengenai beberapa tradisi di Negara kami masing-masing. Pertemuan itu menjadi momen berharga untuk saling bertukar informasi, saling memahami satu sama lain. Perbedaan itu ada, bukan untuk dihindari, melainkan untuk diketahui dan saling dimengerti.
Di kesempatan lain, Eriko-san juga pernah mengajakku berkunjung ke lokasi pembuatan benda seni keramik, sebuah wahana seni yang juga disukainya. Sebuah situs kuil Budha yang terawat rapi juga sempat kami kunjungi bersama. Saat ini, berbagai kuil Budha maupun Shinto di Jepang memang telah terbuka untuk kunjungan turis, dan kemudian mengalami perubahan fungsi, walaupun fungsi utamanya sebagai tempat ibadah masih juga belum luntur. Di kuil tersebut, Eriko-san menjelaskan berbagai hal, membuat cakupan pengetahuanku bertambah luas. Alhamdulillah. Dia ajari aku tata cara memulai doa di depan pintu kuil dengan tepukan tertentu. Sebagai seorang muslim, aku tak merasa perlu melakukan ritual tersebut, dan dia memahami prinsip yang kuyakini. Membunyikan lonceng kuno pun ada cara dan aturan tersendiri, yang tentu saja tidak boleh sembarangan. Di kuil yang terdapat di wilayah Gunma tempatku tinggal ini, terdapat pula sebuah roda antik besar yang biasa diputar oleh para biksu jaman dulu. Ada pula tradisi melempar koin ke dalam kolam keberuntungan, dan tak ketinggalan mengambil ‘undian’ omikuji atau kertas ramalan (yang hanya bisa dilakukan di awal tahun). Selain itu, dia juga menceritakan kebiasaan di malam tahun baru untuk bersama-sama membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali yang merupakan perlambang banyaknya dosa manusia yang harus dihilangkan. Setiap dentang lonceng merupakan perlambang gugurnya dosa-dosa manusia satu persatu. Banyaknya…. Tapi mungkin memang dosa kita teramat banyak, yang secara sadar atau tidak sudah kita lakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Awal tahun merupakan momen yang tepat untuk mengingat kembali kesalahan yang telah kita perbuat, dan bermuhasabah untuk memperbaiki diri di tahun berikutnya. Ah... sungguh filosofi yang agung.
Beberapa filosofi tradisional Jepang yang mewarnai kehidupan mereka hingga saat ini memang masih terasa kental dan tak lekang oleh zaman, walaupun kemajuan teknologi telah terserap hingga ke pelosok-pelosok. Sungguh suatu perpaduan yang harmonis antara tradisional dan modern, dua titik ekstrim yang sepertinya bertolak belakang. Melihat pada bangsa sendiri, saat ini rasanya sudah banyak keluarga Indonesia yang meninggalkan nilai-nilai tradisional dan berpaling ke barat yang kemudian dianggap sebagai budaya tinggi untuk kemudian ditiru. Tak bisakah kita seperti orang Jepang, yang berhasil memadukan nilai timur dan barat secara harmonis. Bukan suatu hal yang mustahil, kurasa.
Pada malam sebelum kepulanganku ke Indonesia, Eriko-san berkeras untuk mengajakku menginap di rumahnya yang relatif baru selesai direnovasi. Niatan untuk mengundangku menginap di rumahnya sebetulnya sudah cukup lama dia sampaikan, tapi berhubung rencana renovasi rumahnya yang cukup memakan waktu, niat itu tak kunjung terealisir sampai hari terakhir sebelum pesawat JAL membawaku pulang kembali ke Indonesia.
Hari terakhir itu aku masih sangat sibuk membenahi barang-barangku. Rupanya tidak cukup waktu untuk membenahi semuanya sendirian, di sela-sela kesibukanku menulis perbaikan laporan yang harus kuserahkan kepada sensei, ‘pesta-pesta perpisahan’ dengan teman-teman, menyortir segala barang dalam apartemen dan sebagainya. Ah… Eriko-san dengan segala keramahan dan totalitas khas orang Jepang membantuku menyelesaikan permasalahan packing maupun hal lain. Eriko-san masih menyempatkan diri untuk menemaniku mengakhiri kontrak sewa telepon genggamku di sebuah provider ponsel, juga keluar-masuk pusat perbelanjaan untuk berburu tas pinggang berukuran besar yang kuperlukan. Setelah itu, barulah dia membawaku ke rumahnya yang nyaman untuk menikmati malam terakhir di Jepang.
Aku membantu Eriko-san menyiapkan makan malam, sebuah masakan sederhana yang disajikan dengan cara Jepang yang khas. Sederhana tapi disajikan secara berkelas, cantik. Kami makan bertiga, bersama Eriko-san dan suaminya, Kenjiro-san. Setelah membersihkan diri di ofuro, kamar mandi ala Jepang, aku tidur nyenyak malam itu, malam terakhirku di Jepang, hingga kelak kukunjungi lagi, entah kapan.
Dini hari, kembali Eriko-san membawaku menembus dinginnya udara pagi serta lengangnya lalu lintas kota Maebashi menuju pemberangkatan bus yang akan membawaku ke Bandara Narita, untuk kemudian kulanjutkan perjalananku kembali ke Indonesia. Sambil menunggu datangnya bus, kami sempatkan untuk berbincang-bincang lagi memanfaatkan saat-saat terakhir kebersamaan kami, dengan janji untuk tetap berkirim kabar, saling kontak via e-mail ataupun surat, diucapkan melalui kata-kata tersendat karena keharuan yang menyesak. Terasa betapa singkatnya waktu yang telah kami jalani bersama selama keberadaanku di sana. Mengingat kebaikan Eriko-san, mamaku di Maebashi.
genkan: ruang tempat melepas sepatu setelah pintu masuk di rumah-rumah Jepang.
Kukirim sebuah e-mail untuk menanyakan kabarnya. Ah… kusadari aku tidak cukup sering berkirim kabar padanya, padahal dia adalah salah satu host family-ku di Jepang, selain Deguchi-san di Miyazaki ketika aku menjalani masa homestay selama dua pekan di masa liburan musim semi pertamaku di sana.
Sebuah e-mail balasan datang kemudian, mengabari bahwa dia dan keluarganya baik-baik saja. ‘Tomomi-chan (menantunya) baru saja melahirkan anak keduanya, seorang putri yang lucu. Sepasang cucuku sekarang, dan kami senang sekali bermain bersama mereka. Yuu-chan (panggilan sayang untuk anak sulungnya) akan melangsungkan pernikahan bulan Oktober mendatang’ Tulisnya dalam e-mail balasannya untukku. ‘Calon menantuku adalah juga seorang guru sekolah dasar, seperti dirimu, Bagaimana dengan kabarmu sekarang?’ Hangatnya sapaan perempuan paruh baya yang akrab kupanggil dengan Eriko-san ini.
Teringat saat aku hendak berangkat mengikuti program homestay di masa liburan kuliahku. Beliau membantuku memesankan tiket bus malam yang akan membawaku pulang-pergi dari Maebashi ke Osaka, tempat di mana aku akan melewatkan masa tinggal bersama satu keluarga Jepang selama dua pekan. Saat itu kemampuan berbahasa Jepangku masih sangat minim, sehingga tak berani (dan memang belum bisa) melakukan reservasi tiket. Tapi kok nekat ikutan homestay ya, yang notabene akan menuntutku untuk terus berkomunikasi dalam bahasa Jepang selama 2 minggu-an di rumah keluarga Jepang. Hehe…
Aku dan Eriko-san dipertemukan di malam lebaran tahun 2002. Saat itu aku tak bisa berangkat ke Tokyo untuk mengikuti shalat Ied karena satu dan lain hal, ‘insiden’ di kampus yang membuatku memutuskan untuk tinggal di Maebashi dan tidak bisa mengikuti shalat sunnah Iedul Fitri. Kebetulan, bertepatan dengan itu, telah dirancang acara pertemuan dengan kandidat host family yang diorganisir oleh salah satu biro di balai kota. Saat pertama berkenalan dengannya, aku langsung merasa dekat dengannya. Kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik memudahkan kami berkomunikasi. Minatnya pada kerajinan tangan termasuk proses membatik membuatku makin akrab dengannya. Sungguh suatu kebetulan bahwa akupun mempunyai minat yang besar pada kain-kain tradisional, terutama batik, bahkan salah satu alamat e-mail yang kumiliki bertajuk batikmania. Dengan cepat kami terlibat perbincangan yang akrab.
Saat itu putra keduanya yang sudah menikah sedang menantikan kelahiran anak pertama yang ternyata lahir sehari setelah pertemuanku dengannya. Saat ini dia telah dikaruniai cucu kedua dari anak keduanya, sementara anak pertamanya juga baru saja menikah. Ah… senangnya mendapat kabar baik dari sana. Teringat kembali saat-saat kebersamaan kami.
Darinya aku belajar banyak hal, dengan cara yang menarik pula! Salah satunya adalah dikenalkannya aku pada sebuah tradisi perayaan yang dikhususkan untuk anak perempuan. Perayaan ini diselenggarakan di sekitar musim semi, dan orang Jepang menamainya Hinamatsuri. Dalam kesempatan itu, rumah-rumah di Jepang berhias dengan memajang boneka-boneka cantik berbagai bentuk dan ukuran yang biasanya berpasangan, laki-laki dan perempuan, seperti loro blonyo di Jawa.
Boneka-boneka cantik itu biasanya ditata dalam sebuah display bersusun, yang memang lazim dimiliki setiap keluarga di Jepang, dan digunakan khusus untuk perayaan hinamatsuri ini. Di rumah Eriko-san sendiri, dia memajang beberapa pasang boneka hina di beberapa tempat di rumahnya, baik di genkan*, ruang tamu maupun ruang makan tempat dia menjamuku bersama seorang teman.
Dalam kesempatan makan siang itu mengenalkan tradisi hinamatsuri itu, aku dan karibku Barbara datang ke rumahnya dan menikmati santapan nasi berbalut telur dadar yang dibentuk menyerupai sosok boneka manusia. Lucunya… Kami berbincang banyak, saling bertukar cerita mengenai beberapa tradisi di Negara kami masing-masing. Pertemuan itu menjadi momen berharga untuk saling bertukar informasi, saling memahami satu sama lain. Perbedaan itu ada, bukan untuk dihindari, melainkan untuk diketahui dan saling dimengerti.
Di kesempatan lain, Eriko-san juga pernah mengajakku berkunjung ke lokasi pembuatan benda seni keramik, sebuah wahana seni yang juga disukainya. Sebuah situs kuil Budha yang terawat rapi juga sempat kami kunjungi bersama. Saat ini, berbagai kuil Budha maupun Shinto di Jepang memang telah terbuka untuk kunjungan turis, dan kemudian mengalami perubahan fungsi, walaupun fungsi utamanya sebagai tempat ibadah masih juga belum luntur. Di kuil tersebut, Eriko-san menjelaskan berbagai hal, membuat cakupan pengetahuanku bertambah luas. Alhamdulillah. Dia ajari aku tata cara memulai doa di depan pintu kuil dengan tepukan tertentu. Sebagai seorang muslim, aku tak merasa perlu melakukan ritual tersebut, dan dia memahami prinsip yang kuyakini. Membunyikan lonceng kuno pun ada cara dan aturan tersendiri, yang tentu saja tidak boleh sembarangan. Di kuil yang terdapat di wilayah Gunma tempatku tinggal ini, terdapat pula sebuah roda antik besar yang biasa diputar oleh para biksu jaman dulu. Ada pula tradisi melempar koin ke dalam kolam keberuntungan, dan tak ketinggalan mengambil ‘undian’ omikuji atau kertas ramalan (yang hanya bisa dilakukan di awal tahun). Selain itu, dia juga menceritakan kebiasaan di malam tahun baru untuk bersama-sama membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali yang merupakan perlambang banyaknya dosa manusia yang harus dihilangkan. Setiap dentang lonceng merupakan perlambang gugurnya dosa-dosa manusia satu persatu. Banyaknya…. Tapi mungkin memang dosa kita teramat banyak, yang secara sadar atau tidak sudah kita lakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Awal tahun merupakan momen yang tepat untuk mengingat kembali kesalahan yang telah kita perbuat, dan bermuhasabah untuk memperbaiki diri di tahun berikutnya. Ah... sungguh filosofi yang agung.
Beberapa filosofi tradisional Jepang yang mewarnai kehidupan mereka hingga saat ini memang masih terasa kental dan tak lekang oleh zaman, walaupun kemajuan teknologi telah terserap hingga ke pelosok-pelosok. Sungguh suatu perpaduan yang harmonis antara tradisional dan modern, dua titik ekstrim yang sepertinya bertolak belakang. Melihat pada bangsa sendiri, saat ini rasanya sudah banyak keluarga Indonesia yang meninggalkan nilai-nilai tradisional dan berpaling ke barat yang kemudian dianggap sebagai budaya tinggi untuk kemudian ditiru. Tak bisakah kita seperti orang Jepang, yang berhasil memadukan nilai timur dan barat secara harmonis. Bukan suatu hal yang mustahil, kurasa.
Pada malam sebelum kepulanganku ke Indonesia, Eriko-san berkeras untuk mengajakku menginap di rumahnya yang relatif baru selesai direnovasi. Niatan untuk mengundangku menginap di rumahnya sebetulnya sudah cukup lama dia sampaikan, tapi berhubung rencana renovasi rumahnya yang cukup memakan waktu, niat itu tak kunjung terealisir sampai hari terakhir sebelum pesawat JAL membawaku pulang kembali ke Indonesia.
Hari terakhir itu aku masih sangat sibuk membenahi barang-barangku. Rupanya tidak cukup waktu untuk membenahi semuanya sendirian, di sela-sela kesibukanku menulis perbaikan laporan yang harus kuserahkan kepada sensei, ‘pesta-pesta perpisahan’ dengan teman-teman, menyortir segala barang dalam apartemen dan sebagainya. Ah… Eriko-san dengan segala keramahan dan totalitas khas orang Jepang membantuku menyelesaikan permasalahan packing maupun hal lain. Eriko-san masih menyempatkan diri untuk menemaniku mengakhiri kontrak sewa telepon genggamku di sebuah provider ponsel, juga keluar-masuk pusat perbelanjaan untuk berburu tas pinggang berukuran besar yang kuperlukan. Setelah itu, barulah dia membawaku ke rumahnya yang nyaman untuk menikmati malam terakhir di Jepang.
Aku membantu Eriko-san menyiapkan makan malam, sebuah masakan sederhana yang disajikan dengan cara Jepang yang khas. Sederhana tapi disajikan secara berkelas, cantik. Kami makan bertiga, bersama Eriko-san dan suaminya, Kenjiro-san. Setelah membersihkan diri di ofuro, kamar mandi ala Jepang, aku tidur nyenyak malam itu, malam terakhirku di Jepang, hingga kelak kukunjungi lagi, entah kapan.
Dini hari, kembali Eriko-san membawaku menembus dinginnya udara pagi serta lengangnya lalu lintas kota Maebashi menuju pemberangkatan bus yang akan membawaku ke Bandara Narita, untuk kemudian kulanjutkan perjalananku kembali ke Indonesia. Sambil menunggu datangnya bus, kami sempatkan untuk berbincang-bincang lagi memanfaatkan saat-saat terakhir kebersamaan kami, dengan janji untuk tetap berkirim kabar, saling kontak via e-mail ataupun surat, diucapkan melalui kata-kata tersendat karena keharuan yang menyesak. Terasa betapa singkatnya waktu yang telah kami jalani bersama selama keberadaanku di sana. Mengingat kebaikan Eriko-san, mamaku di Maebashi.
genkan: ruang tempat melepas sepatu setelah pintu masuk di rumah-rumah Jepang.
Eriko-san, Mamaku di Maebashi
Setelah berdebar-debar berhari-hari, diwarnai berbagai perasaan optimis dan sok yakin, menanti pengumuman lomba menulis "Amazing Moms" yang diselenggarakan milis sekolah-kehidupan, akhirnya tanya itu terjawab. Ketika kubaca pengumuman pemenang, namaku memang tidak ada di urutan ke-1 atau ke-2 atau bahkan ke-3. Naskah yang kujagokan, berisi cerita tentang Okaa-san, ibu angkatku di Kyushu ketika homestay dulu, tak sempat diikutsertakan karena terlambat terkirim, sudah lewat deadline, gara-gara kesulitan koneksi internet. Tetap tak bisa diikutsertakan. :( Tapi ternyata, naskah lainnya, "Eriko-san, Mamaku di Maebashi", jadi salah satu dari tiga pemenang harapan. Alhamdulillah.
Mudah-mudahan di kesempatan lain, bisa menempati posisi yang lebih baik, tentu karena karyaku mengalami peningkatan kualitas juga. Saat-saat seperti ini membuatku terpacu untuk berkarya lagi dan lagi dan lagi, memacu potensi diri terbaik. Semoga tulisan-tulisanku tidak sekedar jadi ajang curhat, tapi juga bisa jadi sarana untuk memercik sedikit hikmah kehidupan. Amiin.
Mudah-mudahan di kesempatan lain, bisa menempati posisi yang lebih baik, tentu karena karyaku mengalami peningkatan kualitas juga. Saat-saat seperti ini membuatku terpacu untuk berkarya lagi dan lagi dan lagi, memacu potensi diri terbaik. Semoga tulisan-tulisanku tidak sekedar jadi ajang curhat, tapi juga bisa jadi sarana untuk memercik sedikit hikmah kehidupan. Amiin.
Thursday, March 19, 2009
Wednesday, March 18, 2009
Tuesday, March 17, 2009
Benci karena Disinformasi
By Jalaluddin Rakhmat
Selasa, 16 Desember 2008 pukul 14:39:00
Selasa, 16 Desember 2008 pukul 14:39:00
Kira-kira 40 tahun setelah Rasul Allah SAW wafat salah seorang penduduk Syam pergi ke Madinah al-Munawwarah untuk menziarahi makamnya. Di situ ia berjumpa dengan seorang penunggang kuda yang tampan dan berwibawa. Di sekitarnya berkumpul sahabat-sahabatnya, siap untuk melaksanakan segala perintahnya.
Ketika orang Syam itu diberitahu bahwa orang itu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, bangkitlah amarahnya. Di mimbar-mimbar Jumat di Syam ia sudah sering mendengar para khatib menerangkan kejelekan keluarga Ali. ''Jadi inilah anak Abu Turab yang keluar dari Islam itu?'' kata orang Syam itu sambil menyusulnya dengan memaki Hasan, ayahnya, dan keluarganya.
Mendengar itu sahabat-sahabat Hasan menghunus pedang untuk membunuhnya. Tapi Hasan melarang mereka. Dengan ramah beliau menyapa orang Syam itu, ''Tampaknya Anda orang asing di sini, wahai Saudaraku orang Arab?''
Orang Syam menjawab, ''Benar, aku dari Syam. Aku pengikut Amirul Mukminin dan Pemimpin kaum Muslim, Muawiyyah bin Abi Sofyan.''
Hasan mendesaknya untuk menjadi tamu. Selama beberapa hari dijamunya dan dihormatinya orang Syam itu. Pada hari yang keempat orang Syam itu tampak menyesali perbuatannya. Ia merunduk dan menciumi jari-jemari Hasan. Ia memohon maaf atas apa yang dilakukannya sebelum itu.
Hasan melirik kepada sahabat-sahabatnya. ''Kemarin kalian bermaksud membunuhnya, padahal ia tak bersalah. Ia korban disinformasi. Sekiranya ia mengetahui kebenaran, ia tidak akan memusuhinya. Kebanyakan orang Islam di Syam seperti itu.''
Kemudian Hasan membaca firman Allah: ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.'' (Q. S. 41: 34)
Tidak jarang kita membenci sesama Muslim karena kita mendengar berita yang jelek mengenai dirinya. Jangan-jangan, pertengkaran di antara kita selama ini terjadi karena proses disinformasi. Marilah kita memaklumi orang yang membenci kita karena disinformasi. Balaslah makian mereka -- yang dilakukan karena ketidaktahuan -- dengan lapang dada dan keramahan. Mudah-mudahan Allah mengubah mereka menjadi sababat-sahabat kita yang setia.- ah
Ya Allah... sungguh sulit menjadi orang baik itu. Ketika orang (mungkin) benci kita karena kurangnya informasi tentang kita, ternyata memberikan informasi yang tepat juga tidak mudah, sehingga mereka pun sulit mengubah sikap mereka. Atau ketika kita kurang informasi tentang satu-dua orang, dan kita jadi benci padanya, sungguh sulit pula untuk mencari informasi yang benar tentang mereka. Berilah petunjuk agar selalu dapat menemukan informasi yang benar, dan agar dapat selalu mencinta atau membenci karena-Mu saja.
Ketika orang Syam itu diberitahu bahwa orang itu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, bangkitlah amarahnya. Di mimbar-mimbar Jumat di Syam ia sudah sering mendengar para khatib menerangkan kejelekan keluarga Ali. ''Jadi inilah anak Abu Turab yang keluar dari Islam itu?'' kata orang Syam itu sambil menyusulnya dengan memaki Hasan, ayahnya, dan keluarganya.
Mendengar itu sahabat-sahabat Hasan menghunus pedang untuk membunuhnya. Tapi Hasan melarang mereka. Dengan ramah beliau menyapa orang Syam itu, ''Tampaknya Anda orang asing di sini, wahai Saudaraku orang Arab?''
Orang Syam menjawab, ''Benar, aku dari Syam. Aku pengikut Amirul Mukminin dan Pemimpin kaum Muslim, Muawiyyah bin Abi Sofyan.''
Hasan mendesaknya untuk menjadi tamu. Selama beberapa hari dijamunya dan dihormatinya orang Syam itu. Pada hari yang keempat orang Syam itu tampak menyesali perbuatannya. Ia merunduk dan menciumi jari-jemari Hasan. Ia memohon maaf atas apa yang dilakukannya sebelum itu.
Hasan melirik kepada sahabat-sahabatnya. ''Kemarin kalian bermaksud membunuhnya, padahal ia tak bersalah. Ia korban disinformasi. Sekiranya ia mengetahui kebenaran, ia tidak akan memusuhinya. Kebanyakan orang Islam di Syam seperti itu.''
Kemudian Hasan membaca firman Allah: ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.'' (Q. S. 41: 34)
Tidak jarang kita membenci sesama Muslim karena kita mendengar berita yang jelek mengenai dirinya. Jangan-jangan, pertengkaran di antara kita selama ini terjadi karena proses disinformasi. Marilah kita memaklumi orang yang membenci kita karena disinformasi. Balaslah makian mereka -- yang dilakukan karena ketidaktahuan -- dengan lapang dada dan keramahan. Mudah-mudahan Allah mengubah mereka menjadi sababat-sahabat kita yang setia.- ah
Ya Allah... sungguh sulit menjadi orang baik itu. Ketika orang (mungkin) benci kita karena kurangnya informasi tentang kita, ternyata memberikan informasi yang tepat juga tidak mudah, sehingga mereka pun sulit mengubah sikap mereka. Atau ketika kita kurang informasi tentang satu-dua orang, dan kita jadi benci padanya, sungguh sulit pula untuk mencari informasi yang benar tentang mereka. Berilah petunjuk agar selalu dapat menemukan informasi yang benar, dan agar dapat selalu mencinta atau membenci karena-Mu saja.
Friday, March 13, 2009
Wednesday, March 11, 2009
Olahraga
Setelah sekian lama tidak 'menyentuh lapangan', sore tadi aku olahraga lagi. Kegiatan ini memang dijadwalkan oleh pihak manajemen Kota Baru (atau YPS?). Setiap Rabu sore jadi ajang bonding untuk karyawan YPS di Kota Baru yang ingin bugar. Dipersilahken untuk menjajal beberapa sarana olahraga di lokasi Mason Pine Hotel, KBPa.
Aku sudah ngecengin lapangan bulutangkis nih. Pilih-pilih olahraga yang relatif ringan. Hehe... Tapi di kesempatan pertama, tapi ternyata... lapangan bulutangkis penuh, banyak peminat. Sayang. Akhirnya aku bersama tiga orang teman lain menjajal lapangan basket yang masih sedikit basah tersiram gerimis kecil. Biasanya, basket selalu kuhindari karena peluang full body contact-nya. Kalo mau full body contact, sekalian karate aja deh. ;)
Di kesempatan kedua, aku sengaja mempersenjatai diri dengan bat pingpong, mencari partner untuk bermain pingpong. Pak Gunawan bersedia jadi partner sparring (biarpun ditodong ketika baru nyampe arena olahraga, masih bersandal jepit), tapi ternyata dia berhasil mengalahkan aku, 21-14. Kuakui kekalahan. Sportif-lah. ;) Lain kali, semangat lagi!!!
Di kesempatan kedua, aku sengaja mempersenjatai diri dengan bat pingpong, mencari partner untuk bermain pingpong. Pak Gunawan bersedia jadi partner sparring (biarpun ditodong ketika baru nyampe arena olahraga, masih bersandal jepit), tapi ternyata dia berhasil mengalahkan aku, 21-14. Kuakui kekalahan. Sportif-lah. ;) Lain kali, semangat lagi!!!
Friday, March 06, 2009
Thursday, March 05, 2009
Pengujian
Ambil dari Republika online
By Danarto
Selasa, 13 Januari 2009 pukul 14:00:00
Iman dan rasa takut itu bersanding sehingga keduanya saling memandang. Barangkali ada tenggang rasa. Memang, rasa takut yang dikaruniakan kepada setiap makhluk itu merupakan kendala terbesar dalam menempuh lautan iman. Bagaimana iman yang besar yang didampingi keberanian yang besar pula, dapat kita miliki dalam beribadah, itulah soalnya.
Sebenarnya, apa pun nasib kita, kita layak bersyukur karena nasib itu Allah sendiri yang memberikannya. Tidak hanya berwujud musibah, pengujian itu juga berwajah keuntungan. Alhamdulillah. Hadis riwayat At-Thabrani yang dikutip di atas selalu mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui atas seluruh aktivitas makhluknya. Bahkan ketika kita dikaruniai kekuasaan -- sebagai presdir maupun ketua RT -- kita justru sedang masuk ke laboratorium pengujian Allah itu. Kita menjadi pemimpin yang baik atau sebaliknya. Iman dan ketakutan, pengujian dan keputusasaan, seperti jalin-menjalin.
Begitu besar sesungguhnya tanggung jawab dan pengujian yang dibebankan seorang pemimpin, sampai-sampai kita ingat Abu Bakar Al-Shiddiq yang pernah berpidato: ''Mereka yang paling sengsara di dunia dan di akhirat adalah para raja! Apabila seorang raja memiliki sesuatu, maka Allah akan menjadikannya selalu tak puas. Muak akan apa yang dimilikinya, tapi rakus terhadap apa yang digenggam orang lain.''
''Ia memperpendek masa hidupnya dan mengisi hatinya dengan kecemasan. Karena raja tidak puas bila mendapat sedikit, namun sakit hati kalau mendapat banyak. Ia bosan akan hidup enak dan keindahan tak lagi menarik baginya. Tak ubahnya seperti uang palsu atau fatamorgana, ia tampak ceria tapi gundah-gulana batinnya. Dan bila ia meninggal dunia, akan ditimpa hisab yang keras, dengan sedikit pengampunan. Sesungguhnya raja adalah orang yang patut dikasihani!'' - ah
By Danarto
Selasa, 13 Januari 2009 pukul 14:00:00
Allah menguji hamba-Nya dengan musibah, sebagaimana seseorang menguji kemurnian emas dengan api. Jika yang terlihat emas murni, itulah orang yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Jika mutunya kurang dari itu, pertanda ia orang yang bimbang dan ragu. Dan jika yang terlihat seperti emas hitam, itulah orang yang benar- benar ditimpa fitnah dan musibah - Nabi Muhammad SAW
Tidak dengan sendirinya jika seorang hamba menyatakan dirinya beriman, ia bebas dari pengujian. Tidak dengan sendirinya jika seorang hamba menyatakan dirinya siap diuji, lalu ia bebas dari rasa takut dari pengujian itu. Memahami pengujian iman adalah memahami kekuasaan Allah. Kesadaran yang paling puncak ketika kita memahami Alquran adalah kepasrahan kepada Tuhan.Iman dan rasa takut itu bersanding sehingga keduanya saling memandang. Barangkali ada tenggang rasa. Memang, rasa takut yang dikaruniakan kepada setiap makhluk itu merupakan kendala terbesar dalam menempuh lautan iman. Bagaimana iman yang besar yang didampingi keberanian yang besar pula, dapat kita miliki dalam beribadah, itulah soalnya.
Sebenarnya, apa pun nasib kita, kita layak bersyukur karena nasib itu Allah sendiri yang memberikannya. Tidak hanya berwujud musibah, pengujian itu juga berwajah keuntungan. Alhamdulillah. Hadis riwayat At-Thabrani yang dikutip di atas selalu mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui atas seluruh aktivitas makhluknya. Bahkan ketika kita dikaruniai kekuasaan -- sebagai presdir maupun ketua RT -- kita justru sedang masuk ke laboratorium pengujian Allah itu. Kita menjadi pemimpin yang baik atau sebaliknya. Iman dan ketakutan, pengujian dan keputusasaan, seperti jalin-menjalin.
Begitu besar sesungguhnya tanggung jawab dan pengujian yang dibebankan seorang pemimpin, sampai-sampai kita ingat Abu Bakar Al-Shiddiq yang pernah berpidato: ''Mereka yang paling sengsara di dunia dan di akhirat adalah para raja! Apabila seorang raja memiliki sesuatu, maka Allah akan menjadikannya selalu tak puas. Muak akan apa yang dimilikinya, tapi rakus terhadap apa yang digenggam orang lain.''
''Ia memperpendek masa hidupnya dan mengisi hatinya dengan kecemasan. Karena raja tidak puas bila mendapat sedikit, namun sakit hati kalau mendapat banyak. Ia bosan akan hidup enak dan keindahan tak lagi menarik baginya. Tak ubahnya seperti uang palsu atau fatamorgana, ia tampak ceria tapi gundah-gulana batinnya. Dan bila ia meninggal dunia, akan ditimpa hisab yang keras, dengan sedikit pengampunan. Sesungguhnya raja adalah orang yang patut dikasihani!'' - ah
Monday, March 02, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Hari Minggu pagi, pukul 3 dini hari, telefon berdering. Kupikir, pasti bukan kabar yang terlalu baik. Emergency, pasti. Pada intinya, kesimp...
-
Suatu siang di Kota Baru Parahyangan. Aku berada di kawasan niaga di tatar Ratnasasih. Kuparkir mobilku menghadap jalanan supaya memu...
-
Berawal dari keingintahunan tentang kisah dan cerita di balik benda koleksi orang-orang, kuusung tema koleksi ini untuk menjadi salah satu t...