Narasi 'curhat' yang sebagiannya dipublikasikan di buku Mata Rantai Ganesha, database buku alumni ITB 90. Ide awalnya sama banget dengan Koko, dan ini kumodifikasi. Niatnya mau diluncurkan di buku MaRaGa itu, tapi ternyata gagal terkirim ke panitia pusat, jadilah kusimpan saja. Tapi terasa sayang, jadi kupublikasikan di sini saja ya. ;)
Tahun sembilanpuluh…
|
fotoku 20 tahun lalu, nongol di situ |
Kami tidak masuk ITB lewat jalur UMPTN.
Tapi kami juga masuk lewat pintu sempit yang berdesakan, melalui seleksi persaingan yang tidak kalah ketat. Kartu seleksi UMFSRD yang kami bawa tidak membuat kami diperlakukan berbeda, karena kami warga ITB juga.
Kami tidak ikut OSKM.
Tapi kami juga kena dikerjain senior di dalam fakultas. Betul-betul orientasi studi yang sangat berguna. Bertemu dan berinteraksi dengan senior yang tidak pelit bagi-bagi ilmu, dan swasta(h) yang tidak pelit bagi-bagi hukuman. :p
Kami tidak kenal Kalkulus dan Logaritma. Tapi kami kenal si Kokom dan Arpan yang suka jadi model buat kita berlatih menggambar. Menjelajahi segenap kampus Ganesha untuk mencari objek gambar, mulai daun hingga kuda, hydrant hingga gedung perpustakaan. Menggambar di mana saja, mulai dari ruang studio hingga Taman Ganesha, dikomentari, ditontoni, dan disambangi mahasiswa sampai orang gila. Semuanya bermakna.
Imajinasi, kreativitas, logika dipadu tenaga. Beda suasana dengan masa SMA, kami sungguh-sungguh merasa jadi mahasiswa. Di ITB pula, bangga rasanya. Walaupun orang masih banyak salah-salah duga, lantas bertanya dengan ramahnya, “Sudah bikin lukisan apa saja?” Wuah… cappe deh… Padahal komunitas Seni Rupa, kan isinya bukan pelukis semata.
Tanah liat hingga batu, bisa jadi media rupa. Cat dan lilin malam, bisa jadi sarana berkarya. Cutter dan pahat, sudah jadi mainan saja rasanya. Begadang sudah tak terhitung seringnya, untuk menyelesaikan tenggat tugas yang tak kunjung henti. Jika kantuk menyerang, cutter dan pahat pun bisa berbalik menyerang. Betadine, kapas dan perban sudah jadi kawan, bahkan UGD Borromeus pun akhirnya jadi tempat ‘kuliah’. Kampus kita, hm… luas sekali ya? ;)
Pasar Balubur menjadi mall terindah, kebun binatang dan penghuninya ikut menjadi saksi.
Tak ada laboratorium bagi kami, tapi kami punya studio untuk berkarya. Walau materi praktikum tak tersedia, kami happy-happy saja (walau kadang sedikit merana), ketika harus membeli crayon dan cat, penggaris ‘ajaib’ hingga cutter, atau ‘sekedar’ kuas yang harganya bisa bikin geleng-geleng kepala. Solusinya: pinjam pada teman saja –minta, tepatnya. Toh kami sama-sama warga Ganesha. :p
Kami sempat merasa minoritas di antara warna-warni jaket himpunan mahasiswa. Tapi kami malah bisa pakai jaket jeans belel. Bintang Merah dengan simbol Gajah cukup memberikan identitas, dan kami bangga karenanya, jadi bagian dari kampus Ganesha.
Sempat juga kami merasa bukan ITB.
Tapi merasa jadi bagian dari ITB lagi ketika daftar ulang bersama di Rektorat Taman Sari. Atau ketika menumpang kuliah di gedung tambang, saat kampus Seni Rupa sedang direnovasi. Atau pula ketika bergabung dalam unit kegiatan kampus, menonton bersama di LFM, berdiskusi seru di student center dan kantinnya, atau berbaur dalam shaf tertata di masjid Salman. Karena kami ITB juga.
Merasa ITB karena sejarah, Seni Rupa ada karena ITB ada.
Lapangan Aula Timur seakan mau bercerita banyak.
Lapangan tengah pun tak kalah ingin bicara, tempat kita biasa berpuisi sore di sana. Lapangan basket jadi saksi, saat pertandingan Ganesha cup diramaikan oleh teriakan mendukung Seni Rupa, dengan para supporter yang tak kalah gila, berdandan dengan pakaian norak warna-warni dan pom-pom boys yang gagah jelita, hingga dukun jadi-jadian yang berlagak menjampi-jampi. Tapi semua adalah teman kami, warga kampus ini.
Tak terasa, sudah 20 tahun serba-serbi kampus kami tinggalkan.
Yang dulu berambut lebat dan panjang, sekarang sudah menipis dan seadanya.
Kenangan seorang teman yang desersi dari opspek gara-gara rambut gondrongnya terancam dibuat botak untuk menunjukkan kekompakan angkatan, membuat kami teringat lagi padanya. Apa kabar kiranya teman-teman semua? Ayo ketemuan, di reuni 90-an.
|
Jaket Seblu, nggak bisa dikancingin lagi. Hihi... |
Jaket kebanggaan masa lalu, apakah sudah pantas diwariskan kepada ponakan? Bukan karena out of date, tapi mungkin karena sudah tak muat gara-gara lingkar pingang yang semakin membesar. Tapi semangat kami masih sama, bermain dan bergembira, tetap berjiwa muda. Dan kenangan indah kuliah di kampus Ganesha, akan kami kenang selamanya, sampai kami tua nanti, sampai mati.
Untuk terus tersenyum sambil mengingat jiwa-jiwa eksentrik kawan-kawan FSRD’90.
Kebersamaan yang telah lewat dua puluh tahun membuat kami rindu saat pertama bertemu di tahun sembilan puluh.
Kami ada untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang lain, menambah keindahan dan menyelipkan bahasa rupa, bahasa yang paling universal yang dapat diterima semua pihak; pintar, bodoh, miskin dan kaya.
Belum banyak rasanya, karya yang kami persembahkan untuk negeri tercinta, walaupun ada beberapa karya seni, hingga karya berteknologi tinggi yang terlahir dari tangan kami yang terasah di kampus kebanggaan ini. Ada pula beberapa pemikiran yang kami kontribusikan, dedikasikan untuk generasi mendatang, semoga berguna. Dua puluh tahun telah berlalu sejak sembilan puluh kami bertemu, waktu sungguh cepat berlalu. Tapi kami masih ada, dan masih mampu berkarya tanpa pamrih, tidak peduli orang lain peduli.
Cinta kami pada ITB tak akan pernah pupus, dan kami akan terus ada untuk ITB. Sekarang dan esok hari, tulus murni tanpa basa basi. Untuk ITB, untuk sembilanpuluh, untuk bangsa dan negara, bahkan untuk dunia.
Bukan mimpi rasanya. Karena jejak kami ada di mana-mana, mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi ternama, di pelosok Indonesia hingga manca negara, tapi semuanya masih tetap satu nama, Indonesia. Dari Ganesha, untuk dunia!
Kami akan terus ada hingga akhir hayat. God with us all!