Sunday, November 20, 2022

Kisah di Luar Nalar dari Baitullah

NGERIII, Kabah menghilang tak ingin dilihat jamaah,

karena melakukan ini,

Ini salah satu judul dari episode di channel Cerita Untungs yang membahas tentang kisah salah seorang tour guide pembimbing haji/umrah, Ustadz Muksit Haetami. Beliau membuka kisah mengenai salah satu jamaah bimbingannya saat pergi berumrah. Judulnya bombastis. Membuat ngeri atau malah jadi inspirasi untuk pergi ke Tanah Suci? Selain kisah terhijabnya pandangan dari ka'bah, tentu ada pula kisah-kisah lainnya. Simak yuk...!
Spoiler cerita tentang pengalaman Ustadz Muksit ini muncul di linimasa instagramku. Hmm... kupikir menarik juga nih. Ini merupakan salah satu opsi tema yang ditawarkan oleh Komunitas Mamah Gajah Ngeblog di Bulan November ini, yaitu pengalaman di luar nalar. Aku sendiri rasanya tak punya pengalaman khusus tentang itu, mengingat aku adalah orang yang biasa-biasa aja, tak ada pengalaman yang terlalu istimewa apalagi kalau sampai dibilang di luar nalar. Tapi kisah-kisah dari pengalaman jemaah haji atau umrah ini selalu menarik, karena banyak hal yang dirasa ajaib, nggak masuk nalar manusia. Dalam segmen Aku Penasaran, beberapa kisah di luar nalar bisa disimak untuk diambil pelajaran hikmahnya. 
Tidak hanya pengalaman traumatis serupa tertutupnya pandangan mata dari melihat ka'bah, Ustadz Muksit pun mengisahkan kisah tentang seorang jemaah lain yang mual muntah di sepanjang perjalanan hingga nyaris tak bisa menjalani rangkaian ibadah umrah, yang dilanjutkan dengan badan yang serasa panas terbakar. Ini tentu saja di luar logika dan perhitungan manusia. Selain pengalaman seperti itu, tentu saja tak sedikit pula pengalaman jamaah yang mendapat banyak kemudahan saat menjalani ibadah di tanah suci. Ustadz Muksit sendiri mengalami sengndiri kisah di luar nalar ini berupa dibukakannya kesempatan yang tak disangka-sangka untuk pergi berumrah bahkan menjadi pembimbing/mutawwif, ah... ini sih pengalaman pribadi Ustadz Muksit, ketika beliau baru setahun mengabdikan diri sebagai marbot di salah satu masjid di Jakarta. Karunia Allah... jadi momen perdana baginya untuk membimbing jemaah umrah hingga menjadi tour leader di salah satu biro travel haji/umrah yang telah dijalaninya selama 10 tahun ini.
Sebagai seorang muslim, tentu saja ada keinginan dalam hati untuk suatu saat nanti bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci untuk berumrah atau berhaji. Tidak hanya menjejakkan kaki tentunya, tapi untuk menjalani rangkaian ibadah sesuai tuntunan Rasulullah, melihat dan merasai sendiri ka'bah dan beribadah sepenuh hati di dekatnya. Membaca kisah-kisah dari tanah suci selayaknya bisa untuk memicu motivasi untuk menabung -baik biaya untuk perjalanan maupun amalan- agar pantas untuk menjadi tamu Allah. Menyimak penggalan kisah dari Ustadz Muksit juga host-nya sendiri Arie Untung yang mengalami sendiri pengalaman ajaib ini, aku jadi berkaca diri. Untuk menjejak kaki dan beribadah di Tanah Suci, memang harus bersih diri bersih hati. Sudah siapkah diri ini?
Sementara aku masih bertanya-tanya dan berkaca diri, kusetor dulu saja tulisan ini, menjawab tantangan ngeblog dari MGN bulan ini. Ini adalah opsi yang ditawarkan oleh Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Istimewa karena kita bisa memilih salah satu di antara 3 tema, yaitu Tokoh Pahlawan Inspiratif, Review Tontonan/Bacaan, atau Pengalaman di Luar Nalar. Nggak ada ide sebetulnya, untuk ketiga tema di atas, tapi kebetulan saja topik ini muncul di linimasa, jadi sebaiknya kusambar saja kesempatan ini. 

 

Monday, October 31, 2022

Menyusur Jejak Kenangan di Kantin Salman

Dua tahun pandemi, membuat banyak tempat tak bisa didatangi. Tidak hanya karena alasan kesehatan sehingga tidak bisa menerima pengunjung, tapi tak sedikit venue yang berubah fungsi karena pandemi. Salah satunya adalah Kantin Salman, kantin kesayangan mahasiswa Kampus Ganesha. Ketika pandemi Kantin Salman ditutup dan difungsikan sebagai kantor merangkap gudang untuk riset pengembangan ventilator Vent-I (ketika covid varian delta sedang ganas-ganasnya). Saat ini, kantin kembali dibuka setelah diremajakan.

Janjian dengan seorang teman untuk makan siang di sana, aku sekalian shalat dzuhur di Masjid Salman, yang juga masjid kebanggaan dan kesayangan muslim-muslimah Ganesha. Bersamaan dengan momen wisudaan di kampus, area parkir jadi penuh sekali. Aku sampai harus berputar 2 kali sebelum akhirnya dapat tempat parkir di dekat bank Muamalat (belakang masjid). Petugas parkirnya sangat kooperatif dan terampil mengarahkan sehingga Ayla silverku bisa muat di spot parkir kecil yang baru saja ditinggalkan oleh mobil sebelumnya. Nuhun nya, A...

Berjalan di bawah gerimis kecil, aku masuk area masjid yang juga sudah lebih segar, termasuk tempat wudhu-nya yang sekarang banyak keran untuk wudhu sehingga antrean jamaah tak terlalu panjang. Lebh nyaman. Masuk area masjid, lantainya pun sudah diremajakan, diganti dengan lantai kayu yang serupa dengan yang sebelumnya. Kali ini lantai berkilat ditempa pendaran lampu temaram dari langit-langit masjid yang lapang tanpa pilar di tengahnya. MasyaAllah... Alhamdulillah. Merasai kembali bersujud di lantai kayu yang ademnya pas. Nggak dingin di saat cuaca dingin, juga tak panas di saat cuaca cerah. Nyaman. Kangennya suasana ini (suasana saat jadi mahasiswa siih, sebetulnya... yang pergi ke masjid untuk pelarian dari penat dan pepatnya ruang kuliah/studio).

Selepas shalat, langkah kaki membawaku ke area kantin yang ternyata tak seramai yang kuperkirakan mengingat di hari tersebut juga berlangsung hajatan wisuda di kampus Ganesha. Aku memutuskan untuk menunggu teman yang sudah janjian akan datang sebelum duduk di area kantin. Pasca pandemi, kantin mengalami peremajaan. Meja-meja panjang berubah menjadi meja persegi dengan kapasitas 4 kursi saja. Dinding pun dibongkar untuk agar sirkulasi udara dapat berputar lebih bebas di area kantin terbuka. Ketika temanku datang, kami pun segera melipir ke konter makanan untuk mengambil menu makan siang kami.

Tak nampak perbedaan pada menu yang ditawarkan. Harga pun masih tetap murah meriah. Piring berisi nasi beserta lauknya yang kubawa ke depan kasir, setelah dihitung ternyata aku tak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Aku hanya perlu membayar totalan harga sejumlah Rp 21.000 saja. Rasa masakan pun nyaris tak berubah. Itu menurut temanku. Aku sendiri tak terlalu mmerasakan perbedaan itu. Aku asyik menikmati perbincangan (lebih cocok sesi curhatku) bersama teman lama ini. Dia adik kelas semasa kuliah walaupun beda jurusan, junior juga sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah swasta di area Bandung Utara sebelum dia memutuskan untuk resign dan menjadi ASN.

Nah... kumpul-kumpul, biarpun berdua saja, bisa tetap seru kan... mengingat selama pandemi bertemu muka secara langsung apalagi di tempat umum hampir tidak memungkinkan. Nah, bertemu lagi setelah sekian lama, tentu banyak cerita untuk disampaikan. Bertemu berdua saja membuat kami bebas saling cerita (maafkan aku yang terlalu mendominasi pembicaraan.) Lain kali, ayo kita ulangi dengan teman-teman lama yang membawa energi bahagia. Bertemu lagi di momen silaturahmi, sesuai janji Allah, memperpanjang usaia dan meluaskan rejeki. Kalau begitu, yuk kita ulangi. 

Walaupun sedikit maksa nih, menulis jejak kenangan ini sekalian dijadikan setoran untuk Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yaa.

Friday, October 21, 2022

Kisah Kopi

Kupandangi secangkir kopi hangat di depanku dengan sedikit perasaan bersalah. Sudah lama aku tak minum kopi apalagi yang instan begini. Dan sekarang aku kangen... kupikir, ini untuk mengobati rasa kangen saja. Rasa kangen pada kopi yang bukan kopi sebetulnya. Aku hanya mencari sensasi pada aroma kopi yang menguar dari secangkir kopi dengan sedikit krimer dan gula itu. Sensasi dari sebuah kenangan. Kubiarkan dia mendingin sedikit sambli aku merintang waktu menyisir berbagai aplikasi di ponselku. Biasanya ketika panasnya sudah cukup, kopi begini akan kurirup sekali duduk, tak akan menunggu waktu berlama-lama untuk menghabiskan minuman beraroma sedap itu.

Kopi tubruk klasik. Gambar diambil dari sini.

Perkenalanku dengan kopi dimulai ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, entah kelas berapa tepatnya. Saat itu ada seorang tetangga belakang rumah yang biasa mengasuh kami yang masih kecil-kecil ketika ibu dan bapak berangkat kerja. Mbah, begitu beliau biasa kami sapa. Dia seorang perempuan yang setia dengan jarit dan kebaya dalam kesehariannya, setia juga dengan kopi yang selalu menemani setiap pagi dan sore. Kopi hitam dengan gula. Aromanya yang menguar sungguh membuatku tergoda. Kucicip... dan (mungkin karena manis), aku pun suka. Sejak itu, sesekali aku pun menyeduh kopi sendiri. Kopi tubruk yang entah merek apa, pokoknya apa yang ada di rumah saja. Ibu & bapak menyediakan kopj hanya untuk persediaan sekiranya ada tamu yang berkunjung. Ibu tidak minum kopi, bapak pun hanya sesekali saja. Sepanjang ingatanku, bahkan bapak nyaris tak pernah minum kopi. Aku pun jadinya yaa... sesekali saja.

Masa SMP dan SMA pun kesukaanku pada kopi ya biasa-biasa saja. Masih merasa mendadak bahagia saat menghirup aroma kopi yang wangi, tapi merasa tak perlu mencari-cari saat aroma dan rasa itu tiada. Sesekali aku masih minum kopi, yang sesekali pula beralih ke kopi instan yang lebih praktis tak menyisakan ampas yang mengganggu.

Nescafe Klasik, teman begadang yang asik. Gambar diambil dari sini

Saat kuliah, kopi instan jadi konsumsi sehari-hari, setidaknya 4 kali sepekan. Bukan karena suka luar biasa, tapi karena tuntutan keadaan yang membuatku merasa memerlukan keberadaannya. Untuk teman begadang mengerjakan tugas studio yang berkejaran di hari Sening hingga Kamis. Hari Jumat dan akhir pekan bisa libur ngopi dulu karena kuliah rata-rata 'hanya' kuliah MKDU yang seringkali tak ada tugas yang rutin disetorkan. Dan Minggu malam memulai kembali ritual minum kopi untuk teman begadang. Kali ini yang jadi pilihan adalah nescafe klasik tanpa krimer. Menghirup aromanya saja sudah separuh membuat mata terbuka. Menyesapnya secangkir saja, cukup untuk membuatku terjaga hingga lepas tengah malam. Jelang subuh aku tidur sebentar sebelum kembali beraktivitas seharian.
Kembali ke masa kini, kuteguk kopi hangat dalam cangkir yang sejatinya tak terlalu kunikmati... karena ada perasaan bersalah itulah... Kopi instan begini, kabarnya kandungan kopinya bahkan tidak ada separuhnya. Komposisinya kebanyakan bahan-bahan kimia yang disesuaikan cita rasanya dengan selera pasar. Ketika dokter menyarankan untuk tak terlalu banyak (bahkan sebaiknya menyetop saja) mengonsumsi produk makanan atau minuman instan yang kandungan pengawetnya banyak, ah... maafkan aku, dok. Sesekali sih bolehlah yaa... Buat obat kangen aja kok.
"Bu Diah...?" suara Kang Hary, Service Advisor di AstraBiz menyapa ramah. "Mobilnya sudah siap." ujarnya lagi. Dia menyempatkan duduk sebentar di kursi seberangku untuk menjelaskan beberapa hal terkait Ayla-ku yang menjalani service rutin. "Sekiranya ada keluhan, dalam waktu 15 hari masih bisa komplain dan ada garansi. Tapi jika tidak ada komplain... ya alhamdulillah." lanjutnya menutup pembicaraan sambil wajahnya tak lepas dari senyum ramah di balik masker yang dikenakannya. 
"Siaap, Kang Hary." balasku sambil berpikir... 'garansi 15 hari? minimal 15 hari ke depan aku tak boleh mengonsumsi kopi intan yang sarat pengawet, perasa dan pewarna itu. Oke, Dee? Kita coba disiplin lagi ya. Nggak minum kopi itu jadi sebuah tantangan buatku. Seperti blog posting ini yang dibuat untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Setorr... (Ditulis jelang deadline seperti biasamya dan nggak pakai dopping kopi. Masih amaaan. 👌)

Saturday, October 01, 2022

Skin Care... Should I Care?

Baru-baru ini aku kembali ke rumah yang sempat kutinggalkan sekitar 3 tahun-an. Aku masih berkunjung sesekali ke rumah itu, tapi tak terlalu intens mengamati & mengurusi segala isinya. Sampai di akhir bulan September ini, setelah renovasi kecil selama 3 mingguan, aku siap kembali ke rumah ini. Hampir semua barang tidak berada di tempatnya semula, mengingat isi lemari harus dikeluarkan dulu sebelum digeser dan dipindah tata letaknya. Debu dari proses bongkar rumah menumpuk di sana-sini menyelimuti permukaan barang-barang, buku, pakaian hingga segala pernak-pernik. Kutemukan beberapa kemasan skin care yang pernah kuakrabi beberapa waktu lalu, baik yang separuh jalan dipakai maupun yang masih utuh dalam kemasan. Bisa dipastikan sudah kadaluarsa lah... sayang sekali ya.
Sebagian koleksi produk Oriflame
Ada masanya aku sangat care dengan penggunaan skin care ini. Beberapa tahun lalu, aku tertarik untuk ikut berbisnis ceritanya... skin care dan kosmetik yang dijual dengan sistem multi level marketing, menjanjikan benefit jutaan per bulan, dengan syarat: bisnisnya dijalankan tentunya. Bagaimana cara menjalankan bisnisnya? Produknya dipakai dan jadi testimoni bukti nyata, jualan juga dan tentunya membangun jaringan yang solid.
Aku cocok dengan produknya. Tidak instan yang malah bikin waswas, tapi untuk pemakaian jangka panjang, hasilnya terlihat cukup signifikan. Kantor pusat produsennya berada di Sweden, sedangkan pabriknya tersebar di beberapa negara. Kualitas produknya, aku sih cocok... tapi kualitas kemasannya, ah... ada beberapa yang membuatku kecewa. Kemasan plastiknya mudah patah atau retak yang membuat isinya tak lagi terlindungi secara optimal. Mengingat harganya yang lumayan pricey, aku boleh dong kecewa dengan kualitas kemasannya. Selain itu, ada pertentangan batin juga sih untuk membeli produk luar begini, kok kayak nggak cinta tanah air ya.   
Sesekali dandan pakai eyeliner
Beberapa tahun aku 'menjalankan bisnisnya'. Beli produknya yang rutin kupakai, sesekali dijual juga ke pelanggan yang nggak banyak-banyak amat, juga merekrut dan membina downline. Aku mungkin kurang sabar dan kurang gencar juga menjalani keseluruhan prosesnya. Setelah bertahun-tahun aku kok nggak maju-maju ya. Akhirnya aku memutuskan berhenti dan beralih ke produk lain yang lebih ekonomis dan berbau serta berasa Indonesia. Nggak pakai perang batin pakai produk-produk Wardah karena selain memang cocok di kulit, juga cocok di hati deh... Pengusaha Wardah kan mamah Gajah juga. ;) Ayo kita dukung produk-pproduk Mamah Gajah Ganesha.
Koleksi skin care & kosmetik Wardah
Produk yang kupakai sekarang adalah produk asli dalam negeri, diproduksi di dalam negeri, dan buat aku sih cocok banget, ini. Alhamdulillah, kulitku nggak ada masalah menyesuaikan diri dengan produk baru. Mulai dari foundation kemudian shifting menjadi dd cream yang setia menemani keseharianku, membuat tampilan kulit wajah tampak halus tapi masih terasa ringan. Lipstick dan lip cream-nya favorit banget. Kukoleksi beberapa warna dengan nuansa natural, dalam tone warna orange hingga cokelat. Keseharianku sebenarnya cukup dengan ini saja. Tapi hey... tidak cukup hanya make up standar, sebetulnya perlu juga sih perawatan harian yang rutin. Asal jangan yang ribet, aku sih oke.
Kulengkapi koleksi perawatan kulitku dengan sunscreen (yang masih belum rutin) di pagi hari dan serum di malam hari. Sebelum tidur kusempatkan mencuci wajah dengan facial foam dari rangkaian produk di seri yang sama. Kabarnya sih sebetulnya produk ini kurang cocok untuk kulit wajah separuh abad seperti aku ini. Beauty consultant-nya menyarankan aku pakai yang lebih mahal produk yang lebih tepat buatku dengan kandungan anti-aging. Ah... whatever deh. Saat ini aku pakai skin care yang lebih sesuai dengan budget belanja bulananku saja. Alhamdulillah, kulit wajah nggak manja, mau aja pakai produk apapun. Pakai Wardah nih sekaligus menunjang idealismeku sebagai Warga Negara Indonesia yang mendukung produk-produk Indonesia.   
Nggak mimpi bahwa tampilan kulitku akan seperti Dewi Sandra yang notabene adalah brand ambassador Wardah, tapi minimalnya aku merawat kulitku dengan (cukup) baik. Merawat wajah dan kulit yang dianugerahkan Tuhan ini sudah selayaknya dilakukan. Bukan dengan tujuan untuk mempercantik diri apalagi tabarruj, tapi dengan niat merawat karunia yang sudah diberikan Allah kepada kita. Alhamdulillah dikasih kulit normal yang nggak rewel, cuma perlu perawatan minimal. Jadi, merawat diri ini sudah selayaknya jadi kebiasaan baik. Sewajarnya saja tak perlu berlebihan, cukup untuk menunjukkan bahwa kita peduli dan memberi perhatian pada tubuh kita. So... katakan I care pada skin care.
Buat Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog akhir bulan September ini, yuk lah kita bahas soal skin care. Lain kali kita bahas care yang lain yaa. InsyaAllah.


Tuesday, September 20, 2022

Gaya Belanja Yang Mana?

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman di dunia maya menulis di halaman media sosialnya, 

"Dua tahun pandemi, akhirnya lihat pameran lagi…
Tapi…
Selera belanja udah nggak kayak dulu…"

Maksudnya bagaimanakah...? Pernyataannya kuterjemahkan sebagai berkurangnya minat dia untuk berbelanja di pasar real. Dia tak lagi (terlalu) tertarik untuk melihat-lihat barang, memegang atau mencium aroma sesuatu yang menarik minatnya untuk dimasukkan ke dalam keranjang belanja. Apakah beralih ke moda belanja daring? Mungkin begitu. Aku sih iya. :)

Ketika pandemi melanda dan gerak penduduk dunia sangat dibatasi, tak lagi bebas ke mana-mana, kualihkan moda belanja ke moda belanja daring. Belanja segala, bisa banget dilakukan dari depan monitor PC atau ponsel kita, baik menggunakan aplikasi, situs web resmi toko yang bersangkutan, ataupun meminta layanan pesan antar melalui pesan pendek saja. Sungguh sepraktis itu lah.  Setelah beberapa waktu, ternyata aku menikmatinya. Mulai belanja buku, sepatu, pakaian, hingga segala printilan besar maupun kecil, juga belanja kebutuhan sehari-hari, (hampir) semua bisa didapat secara daring.

Dipikir-pikir, banyak juga lho benefit dari sistem belanja daring ini.

  • Aku yang biasa ke mana-mana menyetir sendiri, ternyata sangat bisa menikmati rasanya bersantai di rumah saja, belanja sambil rebahan. Tidak perlu berjibaku menyusuri jalanan dalam kondisi cuaca apapun, tidak perlu repot mencari spot parkir yang kadang sangat tak mudah dan tak praktis. Dengan demikian, aku bisa menghemat biaya transport juga recehan untuk parkir dan mamang gopek-man yang biasa ada di setiap persimpangan. Hemaat... hemaat...

Filter pencarian favorit

  • Aku yang biasa berlama-lama di toko, melipir setiap gang dan kios, membanding-bandingkan harga untuk mencari yang paling ekonomis, dengan belanja daring seluruh proses itu bisa dilakukan dengan lebih efisien. Cukup ketik kata kunci yang diinginkan, maka berderetlah jenis barang yang kuincar. Beragam toko daring siap membentu kita berbelanja. Lokasi bolelh dipilih sesuka kita. Silakan mencari toko daring di sekitar rumah kita jika perlu pengiriman instan, tapi dipersilakan juga mencari produk yang jauh dari tempat tinggal kita jika memang perlu. Aku sendiri biasa mengurutkan dengan filter tertentu, Filter yang kupakai biasanya adalah mengurutkan barang dari harga terendah untuk mendapatkan harga paling ekonomis. Setelah itu filter lokasi pun kuaktifkan untuk mencari lokasi terdekat agar jejak karbon tak terlalu panjang. Aku juga mengaktifkan filter bebas ongkir agar hanya toko-toko yang menerapkan kebijakan bebas ongkir yang muncul di hasil pencarian. Lumayan kaan, bebas ongkir saat jumlah pembelajaan mencapai nilai tertentu. ribuan hingga belasan ribu bisa dihemat untuk belanja online lainnya.     
  • Selain benefit receh-receh begitu, ada juga benefit receh lainnya berupa voucher toko yang memberikan potongan harga. Tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. 

Akumulasi cashback dari Shopback

  • Masih belum cukup hemat, aku juga melipir dulu ke Shopback, sebuah aplikasi perantara yang berani memberi cashback setiap kali kita belanja online setelah melipir ke shopback. Aku yang belanjanya recehan, tentu saja dapat benefit cashback-nya juga recehan. Tapi kalau dikumpul-kumpul diakumulasikan, bisa sampai ratusan ribu juga yang sudah beberapa kalu kutukar dengan pulsa atau kuminta untuk ditransfer ke rekening tabunganku. Recehan juga lumayan kan, ada harganya... ;) Mau ikut dapat benefit cashback dari shopback? Hayu ikut daftar di sini.

Tulisan ini dibuat untuk menjawab tantangan belanja ehh.... Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September. Yuk, belanjaaa...!




Wednesday, August 31, 2022

Yuk, Libatkan Anak Dalam Tugas Rumah Harian

Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan ini bertema bebas merdeka sesuai dengan bulannya, Agustus bulan kemerdekaan. Aku ingin menulis tentang sebuah hal yang masih menggelitik pikiran, mengenai keterlibatan setiap anggota keluarga termasuk anak-anak dalam tugas rumah harian.

Teringat sebuah momen saat berkesempatan mengisi sebuah sesi privat dengan salah seorang muridku. Saat itu masih pagi di masa pandemi. Anak bersekolah online melalui fasilitas zoom atau recorded lesson. Ketika aku datang, kami duduk di area ruang tamu yang katanya punya koneksi sinyal internet cukup bagus di situ. Kerabat si anak melintas untuk menyapu. Aku baru saja hendak meminta maaf karena 'mengganggu' di area yang hendak dibersihkan ketika si anak menggeram gusar saat kakinya tak sengaja tersentuh sapu yang dipegang budenya. 

"Iiih!" Ujarnya dengan geram. "Bude ke sana dong...!" Lanjutnya. Keningku auto berkerut. Heyy... harusnya dia yang minta maaf karena menghalangi area yang hendak dibersihkan. Lagipula itu adalah rumah orangtuanya, bukan rumah budenya. Bukankah seharusnya dia yang ikut berperan membersihkan rumah? Anak 9 tahun itu melanjutkan aktivitasnya mengeset laptop untuk pembelajaran hari itu, tanpa merasa bersalah dan tak juga meminta maaf. Betapa tak berempatinya anak ini... 

Kupikir, ini adalah salah satu dampak dari tak dilibatkannya anak dalam aktivitas keseharian menyelesaikan tugas-tugas di rumah. Orangtua memilih untuk tidak melibatkan anak  dalam aktivitas ini dengan beragam alasan. Kurang bersih lah kalau dikerjakan anak, dibiarkan agar bisa fokus bersekolah dan belajar lah, atau dengan alasan agar asisten rumah tangga ada kerjaan dan tak 'makan gaji buta'. Padahal sejatinya, banyak sekali manfaat melibatkan anak dalam pekerjaan kerumahtanggaan ini. Yuk kita cermati beberapa di antaranya.

Libatkan anak dalam tugas harian di rumah.

1. Melatih kebiasaan baik

Sebuah hadits mengatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Tanamkan ke anak-anak kita (tentu saja dimulai dari diri kita sendiri) bahwa ketika kita menjaga lingkungan sekitar agar tetap bersih, sejatinya itu menunjukkan bahwa kita pun menjaga keimanan kita. Jika kebersihan merupakan sebagian dari keimanan, maka boleh dong dianalogikan bahwa yang betah berkotor-kotor itu... ya yang begitulah. Ya masa cuma ART saja yang beriman dan kita tidak?

2. Mempertajam kepekaan

Ketika kita melakukan aktivitas bersih-bersih, tentu lama kelamaan akan terasa perbedaannya. Mana permukaan lantai yang kesat bebas debu atau lantai yang masih terasa 'berpasir' karena kurang bersih menyapu. Makin lama kita akan makin tahu bagaimana cara untuk menyapu lantai yang paling efektif dan efisien. Saat mengepel, akan terasa mana lantai yang terlalu basah (karena kurang kering memeras lap pel), atau justru tidak rata menyisir seluruh permukaan lantai karena lap pel terlalu kering.

3. Mengasah empati

Saat anggota keluarga berbagi beban pekerjaan, rasa empati akan terasah. Bahwa bebersih dan bebenah itu melelahkan, tentu bisa dirasakan oleh seluruh anggota keluarga sehingga masing-masing lebih menghargai apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain. Ketika tahu lelahnya mengepel, tentu kita pun tak akan seenaknya menginjak lantai yang masih basah. Ketika tahu capeknya belanja dan memasak, tentu akan lebih mudah mensyukuri makanan yang terhidang. Dan seterusnya dan sebagainya.

4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab

Ketika beban pekerjaan rumah dibagi bersama, seringkali ada pula jangka waktu yang disepakati bersama, sepaket dengan konsekuensi yang diterima. Misalnya membuka jendela setiap pagi. Ketika lupa membuka jendela di pagi hari, udara segar sudah lewat sehingga tinggal masuklah udara yang sudah tercemar polusi lalu lintas pagi. Kegiatan menyapu biasanya dilanjutkan dengan aktivitas mengepel. Ketika menyapu belum atau tidak tuntas, kegiatan mengepel pun jadi terganggu bahkan terhambat. Merapikan belanjaan ke dalam lemari sesuai peruntukannya, misalnya telur di raknya, daging di freezer, atau bahan makanan lain yang disimpan di area lain kulkas atau dapur. Salah menempatkan terkadang bisa fatal akibatnya. Hal-hal yang tampaknya sepele begini sejatinya adalah sebuah latihan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab.

5. Memupuk kemandirian

Ketika anak sudah terbiasa melakukan aktivitas bersih-bersih di rumah, saat dia dewasa tak akan sulit baginya untuk beradaptasi dengan situasi yang menuntutnya untuk mandiri dan mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Dia bahkan mungkin  bisa membantu mencarikan solusi atas beragam permasalahan yang dihadapi baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Saat dia harus mandiri ketika kuliah di luar kota bahkan luar negeri, maka anak yang terbiasa mandiri akan sangat mudah menyesuaikan diri. Sedangkan anak yang tak terbiasa akan mengalami masa sulit saat dia dewasa. Heyy... bukankah kita ingin membuat hidup mereka mudah? Ya justru itu perlu dilatihkan sejak dini, bukan dengan memanjakan mereka dengan menyediakan ART yang siap membantu kapan saja. 

Ayo, mulai libatkan putra-putri kita dengan aktivitas tugas rumah tangga. Mulai saja dari yang sederhana semacam menyapu dan mengepel lantai kamarnya sendiri. Siapkan alat bantu yang mudah dan menyenangkan, supaya mereka makin semangat membantu ayah bundanya di rumah. Bolde Super Mop punya paket ember dan mop yang tidak hanya fungsional tapi juga enak dilihat. Aku sendiri suka lihatnya, ember super mop dengan tema superman begini. Warna biru-merah khas Superman dengan ember peras berwarna kuning terang yang bisa dilepas, memudahkan kita saat membersihkan ember hingga keseluruhan dinding bagian dalamnya. Dengan tampilan gaya superman begini, siapa tahu mengepel jadi super kilat dan super bersih. Mungkin berpengaruh juga untuk memperkuat pandangan infra merah sehingga bisa melihat spot mana yang belum kena sapuan mop super ini. Seru kaaan...? Oya, yang lebih suka gaya Batman Super Mop yang lebih gelap tapi elegan juga ada... 

Thursday, July 07, 2022

Hari Cokelat Sedunia

Baru aku tahu di tahun ini, bahwa ada hari cokelat sedunia, yang jatuh di hari ini. Tapi sebetulnya, ada beberapa hari cokelat internasional lainnya yang juga dirayakan atau setidaknya diingat oleh warga dunia dengan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Salah satunya di tanggal 7 Juli ini. Untuk itu, mari kita sedikit rayakan hari istimewa ini dengan mengunggah satu resep pungkasan yang kudapat di sesi workshop baking tempo hari bersama Tulip Cokelat.
Ini adalah resep dari rangkaian resep untuk membuat Memory Cake, sebuah cake berlapis dengan cokelat yang dominan di hampir semua lapisannya. Di lapisan terbawah ada chocolate biscuit (sebetulnya ini semacam sponge cake) sebagai base, dilapisi chocolate cream sebelum ditumpuk dengan pannacotta cream yang ditumpuk kembali dengan selapis chocolate biscuit sebelum ditutup dengan chocolate cream. Diamkan dulu semalaman dalam freezer agar seluruh lapisannya set dan punya bentuk yang kokoh sebelum dark chocolate glaze dikucurkan di atasnya sebagai pelapis akhir. Sebagai sentuhan akhir, boleh ditambahkan dekorasi berupa potongan coklat putih dengan aksen taburan bubuk coklat. Manisnya maksimal. Tampilan cake cantik (asal pinter motongnya 😅), sesuai dengan sensasi unik saat menyantapnya. Lapisan pannacotta dan chocolate glaze jadi paduan sempurna di setiap gigitannya.
Kali ini, aku hanya akan share resep glaze yang membuatku terpesona. Rahasia lapisan glazing berkilau sebagai selimut cake ini ternyata begini toh... Yuk kita siapkan bahan-bahannya.

Dark Chocolate Glaze
Bahan-bahan:
90 g air
90 g gula pasir
225 g glucosa
15 g gelatin kering ---> 90 g gelatin basah

Cara Membuat
Step 1
Masak air, gula dan glukosa dengan api kecil. Jangan tunggu sampai mendidih, cukup sampai seluruh gula pasir larut dan glucosa tercampur rata. Biarkan meletup kecil di tepian panci. Aduk perlahan.
Step 2
Tambahkan bubuk coklat yang sudah diayak dan cooking cream (whip cream yang tidak perlu dikocok). Panaskan dengan api kecil sampai sedikit menggelembung. Aduk dengan spatula, hindari munculnya gelembung udara. Biarkan meletup-letup di tepian panci selama lebih-kurang 5 menit, setelah itu matikan api dan angkat panci. Dinginkan sejenak.
Step 3
Tambahkan gelatin yang sudah direndam dalam air es hingga mengembang 9 kali lipat. Gunakan timbangan untuk akurasi ukuran. Jika gelatin ternyata lebih dari 90 gram, peras sedikit hingga beratnya berkurang. Sebaliknya, jika beratnya kurang dari 90 gram, tambahkan sedikit air untuk menggenapkan hingga 90 gram. Perbedaan berat ini nanti bisa berpengaruh ke kondisi glaze yang kita buat.
Aduk perlahan hingga semua bahan tercampur rata. Tunggu hingga glaze bersuhu lebih-kurang 35-40 derajat celcius sebelum dituang ke atas mue yang sudah dikeluarkan dari freezer. Ratakan dengan offset spatula, sat-set kalau perlu satu kali sapuan saja supaya permukaannya mulus. Sementara itu biarkan kelebihan glazingnya meleleh ke tepian cake hingga menutupi seluruh permukaan cake. Setelah itu bisa dihias dengan kepingan cokelat putih yang sudah diberi taburan cokelat bubuk sebelumnya. Sesuai selera saja sih sebetulnya, suka-suka kita. 
Seusai workshop baking, beberapa bahan masih tersisa yang tentu saja tak bisa dibiarkan terlalu lama -di dalam kulkas sekalipun- maka aku manfaatkan lagi untuk membuat Memory Cake batch selanjutnya. Kali ini kubuat dalam ukuran mini untuk hantaran kepada seorang teman dan satu lagi versi tiny untuk lucu-lucuan sebagai snack untuk kumakan sendiri. Lapisan glazing-nya tidak menutup sempurna. Masih ada satu-dua gelembung kecil di sana-sini. Tepiannya yang tidak rata bisa ditutupi dengan potongan cokelat putih yang jadi dekorasi tak berkonsep (yang penting bocel-bocel glazing yang tidak rata bisa tertutupi/tersamarkan lah... :p). Dan mari kita nikmati Tiny Memory Cake ini dalam rangka untuk ikut memperingati hari cokelat sedunia. 🍫