Sudah lama aku dengar tentang novel “Laskar Pelangi”, bagian pertama dari Tetralogi karangan Andrea Hirata. Resensi tentang novel itu juga sudah kubaca di mana-mana, semua bilang novel itu bagus. Tulisan dan hasil wawancara dengan Andrea Hirata juga sudah kubaca dari beberapa sumber, rasanya tidak ada yang negatif. Semua memuji-muji dia dan hasil karyanya. Jadi penasaran juga nih... Sempat mau pinjam novel itu dari seorang teman, tapi akhirnya memutuskan beli ketika ada book-fair beberapa waktu lalu. Biasa kan, kalau di ajang pameran buku seperti itu, biasanya dapat diskon dong... ;) (Ya beli-lah.. untuk menghargai karya intelektual yang orisinil. Beli yang asli, jangan yang bajakan. Ingat copyright...)
Setelah kumiliki, buku itu sempat ‘kutelantarkan’ beberapa saat, tak terbaca. Ketika akhirnya kumulai membaca, aku tak mau memulainya dari beberapa komentar orang terkenal yang sudah membaca buku itu. Aku tak mau ‘terlenakan’ oleh pendapat mereka, dan takut kecewa bila ternyata buku itu tak sebaik yang kusangka. Maka aku mulai membaca dengan ‘pikiran kosong’, hanya tahu bahwa orang-orang bilang itu buku bagus. Tapi seberapa bagus? Itu yang aku ingin tahu.
Belum lagi separuh jalan kubaca, baru sampai bab 14 dari keseluruhan 34 bab, atau tepatnya sampai halaman 159 dari total 494 halaman (ditambah dengan uraian penjelasan yang cukup mendetail alias glosarium dari berbagai istilah ilmiah yang dipakai dalam buku itu), wow... aku setuju dengan pendapat orang-orang. Ini buku bagus. Pilihan kata-katanya tepat, berpadu serasi bahkan dengan istilah-istilah asing yang terasa ‘meninggi’ (tapi kemudian dijelaskan dalam glosarium di akhir buku ini). Konflik di dalamnya sangat alami dan membumi, walaupun kita tahu bahwa itu terjadi di ‘dunia lain’, tapi nyata terjadi, bukan fiksi yang dikarang asal-asalan tanpa logika yang masuk akal.
Sebagai orang yang juga suka menulis, aku merasa bahwa kualitas tulisan-tulisanku (bahkan yang sudah dipublikasikan sekalipun) masih terasa sangat dangkal jika dibandingkan dengan isi buku itu. Tulisan-tulisanku masih berupa curahan hati yang mungkin tak berguna untuk orang lain, hanya sebagai sarana menumpahkan unek-unek buah pikiranku, agar tidak mumet sendiri. Tulisan-tulisan yang ‘kusisipi muatan pesan’ masih belum bisa menembus seleksi redaksi media cetak. Mungkin caraku mengemasnya yang masih terlalu biasa. Tentu saja... aku masih harus banyak belajar. Salah satunya, dengan banyak membaca, tentu saja (dan menulis juga. Jangan putus asa...!)
Lebih jauh lagi, aku makin kagum ketika kuketahui bahwa sebagian besar kisah yang diceritakan dalam buku ini merupakan kisah nyata perjuangan mendapatkan pendidikan yang berharga, dan perjuangan menghargai pendidikan, dari orang-orang kampong di belahan Belitong sana. Subhanallah... Membuatku merasa kecil sebagai ‘orang kota’ yang mungkin agak terlenakan oleh sarana pendidikan yang relatif serba ada. Perjuangan mereka mengobarkan kembali semangatku untuk juga ikut berjuang menorehkan sejarah pendidikan di Indonesia ini. Mungkin hanya sedikit yang kuberikan, tapi semoga kontribusi kecil ini dicatat sebagai amal shalih oleh Allah SWT. Amiin.
Setelah kumiliki, buku itu sempat ‘kutelantarkan’ beberapa saat, tak terbaca. Ketika akhirnya kumulai membaca, aku tak mau memulainya dari beberapa komentar orang terkenal yang sudah membaca buku itu. Aku tak mau ‘terlenakan’ oleh pendapat mereka, dan takut kecewa bila ternyata buku itu tak sebaik yang kusangka. Maka aku mulai membaca dengan ‘pikiran kosong’, hanya tahu bahwa orang-orang bilang itu buku bagus. Tapi seberapa bagus? Itu yang aku ingin tahu.
Belum lagi separuh jalan kubaca, baru sampai bab 14 dari keseluruhan 34 bab, atau tepatnya sampai halaman 159 dari total 494 halaman (ditambah dengan uraian penjelasan yang cukup mendetail alias glosarium dari berbagai istilah ilmiah yang dipakai dalam buku itu), wow... aku setuju dengan pendapat orang-orang. Ini buku bagus. Pilihan kata-katanya tepat, berpadu serasi bahkan dengan istilah-istilah asing yang terasa ‘meninggi’ (tapi kemudian dijelaskan dalam glosarium di akhir buku ini). Konflik di dalamnya sangat alami dan membumi, walaupun kita tahu bahwa itu terjadi di ‘dunia lain’, tapi nyata terjadi, bukan fiksi yang dikarang asal-asalan tanpa logika yang masuk akal.
Sebagai orang yang juga suka menulis, aku merasa bahwa kualitas tulisan-tulisanku (bahkan yang sudah dipublikasikan sekalipun) masih terasa sangat dangkal jika dibandingkan dengan isi buku itu. Tulisan-tulisanku masih berupa curahan hati yang mungkin tak berguna untuk orang lain, hanya sebagai sarana menumpahkan unek-unek buah pikiranku, agar tidak mumet sendiri. Tulisan-tulisan yang ‘kusisipi muatan pesan’ masih belum bisa menembus seleksi redaksi media cetak. Mungkin caraku mengemasnya yang masih terlalu biasa. Tentu saja... aku masih harus banyak belajar. Salah satunya, dengan banyak membaca, tentu saja (dan menulis juga. Jangan putus asa...!)
Lebih jauh lagi, aku makin kagum ketika kuketahui bahwa sebagian besar kisah yang diceritakan dalam buku ini merupakan kisah nyata perjuangan mendapatkan pendidikan yang berharga, dan perjuangan menghargai pendidikan, dari orang-orang kampong di belahan Belitong sana. Subhanallah... Membuatku merasa kecil sebagai ‘orang kota’ yang mungkin agak terlenakan oleh sarana pendidikan yang relatif serba ada. Perjuangan mereka mengobarkan kembali semangatku untuk juga ikut berjuang menorehkan sejarah pendidikan di Indonesia ini. Mungkin hanya sedikit yang kuberikan, tapi semoga kontribusi kecil ini dicatat sebagai amal shalih oleh Allah SWT. Amiin.
3 comments:
Iya, betul Mbak, ini buku yang sangat inspiratif, buat kita, buat anak-anak kita. hehe, jadi inget masih ngutang cerita ke anak-anakku, aku juga baru baca setengahnya :)Yuk balapan, nanti kita bahas sama2...
Wah, balapan? hm... sudah 'ngeper' duluan nih. apalagi pake tajuk 'dibahas sama-sama'. Haha...! Saya coba deh ya nyicil baca, sambil meresapi kelincahan kata-demi kata merangkai kisah di buku itu.
Awal tahun 2008, selesai baca "Laskar Pelangi". Siap 'melahap' buku berikutnya. ;)
Post a Comment