Tuesday, September 02, 2008

Hafalan Shalat Delisa

'Kedahsyatan' buku ini sudah kudengar lama. Cuma aku kok belum tergerak untuk membacanya, bahkan samapai aku 'memaksakan diri' membeli buku ini di pameran buku bandung beberapa waktu yang lalu (biasa... kalo di pameran buku kan dapat diskon lumayan besar. ;)) Kurasa aneh saja. Kok hafalan shalat ya? Sementara selama 10 tahun lebih aku mengajar di sekolah Islam, aku biasa mengetes hafalan surat (surat pendek di dalam juz amma) anak-anak. Lha ini, kok hafalan shalat? Tentu saja pertanyaan itu terjawab tak lama setelah aku mulai membaca lembar demi lembar buku novel yang ditulis berdasarkan peristiwa besar di bumi Nangroe Aceh Darussalaam itu 4 tahun berselang. Gempa besar yang disusul dengan tsunami raksasa, yang memporakporandakan wilayah paling barat Indonesia itu, juga beberapa wilayah lain di sekitarnya.
Kupikir, ini adalah buku yang bagus. Bukan karena berkali-kali aku menyusut air mata saat membaca lark-larik kalimat dalam buku ini (lagian, itu mah karena aku emang cengeng aja... :p) Sebetulnya, jalan ceritanya sudah bisa ditebak, yang diwarnai dengan 'kebetulan' di sana-sini, tapi penuturan alias gaya berkisah pengarangnya ikut membawaku hanyut menyusuri kisah Delisa kecil. Ditambah lagi dengan beberapa 'catatan kaki' yang merupakan bisikan hati sang pengarang sendiri, mengomentari berbagai kejadian yang menimpa Delisa. Di beberapa tempat, terasa menusuk hatiku sendiri, tajam, telak. Mengingatkan diri akan arti hidup, untuk memaknai semua langkah dan ucap, untuk lebih memahami arti bacaan dan gerakan shalat yang kulakukan selama ini, unduk lebih sadar menyiapkan diri sebagai bekal menghadapi kematian nanti. Kematian yang niscaya adanya. Belajar untuk lebih ikhlas, menjalani dan menerima semua takdir yang disiapkan-Nya untuk kita. Belajar lagi untuk lebih mensyukuri segala nikmat, dan lebih bersabar saat kita belum bisa mendapatkan apa yang kita inginkan (toh belum tentu apa yang kita inginkan itu baik untuk kita). Allah telah menyiapkan skenario terbaik untuk kita 'perankan'. Maka berperan all out saja, tak perlu mengharap piala citra atau apapun. Tapi yakini bahwa Allah telah menyiapkan skenario berikutnya, yang lebih baik untuk kita, yang lebih menantang, tentunya, untuk menguji 'kemampuan akting' kita (mohon dibaca bahwa frase itu sasengaja kuletakkan dalam tanda petik, karena sejatinya hidup ini bukan sekedar akting). Kelak, Allah juga menyediakan piala terindah, hikmah besar di balik semua kejadian yang kita alami. Insya Allah. Takdir Allah tak pernah salah, karena Dia sebaik-baik Pembuat Rencana.

5 comments:

Diana said...

subhanallah, kata-katamu mbak, bernas bermakna menghujam hingga ke lubuk terdalam... Merenung,sudahkah aku all-out dengan apapun skenario Allah buatku? Biarpun aku tafakur dlm i'tikafku... Ah, jadi ingat airmata-airmata yang menderas itu,bergetar jiwa-raga...

Diah Utami said...

Sebetulnya saya tulis sebagai pengingat untuk diri sendiri, apakah saya juga sudah menjadi 'aktor' yang baik dalam kehidupan ini, memerankan skenario Allah secara all out? Saya sendiri masih terus berusaha, mbak Diana.

www.goresanpena.blogspot.com said...

lho "Hafalan Sholat Delisa" kok cavernya beda gini....... yang biasa beredar (yang pernah saya baca) cavernya gambar wajah delisa dengan seuntai kalung berliontin D. bagrondnya hitam.... kok ini merah dan gambar delisa dengan satu kaki. keluaran baru ya?

Diah Utami said...

@goresanpena: Wah... saya kurang mengikuti 'perkembangan zaman' perbukuan nih kayaknya. Nggak tahu versi original hafalan Delisa. Tahunya ya... yang nuansa coklat itu. Salam kenal ya.

vita said...

Terus terang saya belum pernah membaca bukunya, tetapi sudah pernah mendengar dari cerita teman. Subhanallah membuat saya merinding. Tetapi kata teman saya akhir ceritanya sedikit ngambang ya mbak. Kisah Delisa ini berdasarkan kisah nyata ya ?

Tak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka