Terinspirasi dari bagian akhir dalam tulisan bang Zuki di blog-nya yang diberi judul "Travels Light". Aku jadi ingin sharing juga. Sebuah naskah yang sudah kusimpan lama, berharap suatu saat akan dipublikasikan. Kalau penerbit belum ada yang mau (sudah terkumpul 18 tulisan nih tentang suka-duka 'memungut' ceceran hikmah di negeri sakura), ya paling tidak salah satunya kupublikasikan dulu saja di blog ini ya?
Menjelang akhir masa tinggalku di Jepang, tentu saja banyak persiapan yang harus dilakukan. Di masa itulah baru kusadari mengenai pentingnya persiapan untuk melakukan perjalanan pulang. Yang paling merepotkan adalah persiapan barang-barang untuk dibawa pulang.
Sebetulnya, urusan angkut-angkut barang dari tempat kos untuk pulang ke rumah lagi, bukan masalah asing buatku. Sudah beberapa kali aku jadi anak kos, dan selain memindahkan berbagai perabot dan pernak-pernik dari rumah, tentu saja hal yang sama juga kulakukan dalam proses sebaliknya. Tapi tentu saja ada perbedaan yang sangat besar dalam hal ini. Ketika bolak-balik jadi anak kos, aku hanya perlu transportasi sekitar satu-dua jam untuk sampai ke tempat kos, dan aku selalu bisa kembali kapan saja untuk menjemput barang yang tidak bisa kubawa sekaligus. Kendaraan untuk transportasi, tanpa banyak kesulitan bisa kudapat dengan minta bantuan kakak ipar yang masih tinggal di kawasan Bandung, dan tim ‘bala bantuan’ untuk pengangkut barang pun bisa dikatakan selalu tersedia. Pendeknya, no problem.
Tapi ‘masa kos’ kali ini lain, soalnya aku tinggal selama 1,5 tahun di Jepang, dan selama itu sudah cukup untuk membuatku menambah berbagai barang untuk membuat kehidupan di negeri orang ini berjalan dengan lancar. Pendeknya, kamar kos atau apartemen tempat tinggal terakhirku itu fully furnished and comfortable to live in. Tapi masalahnya sekarang, adalah hal yang tidak mungkin untuk membawa semua barang pulang ke Indonesia karena benturan beberapa masalah. Ada barang yang memang tidak akan bisa kupakai di Indonesia, misalnya barang-barang elektronik yang memiliki perbedaan daya listrik. Tape-recorder ataupun rice cooker yang jadi peralatan standar di sana tentu saja harus ditinggal di Jepang, selain karena memang di Indonesia barang serupa sudah tersedia di rumah.
Selain itu, Jepang-Indonesia bukan suatu jarak yang dekat untuk ditempuh. Segala hal harus dipersiapkan dengan matang, jangan sampai ada yang terlupa atau tertinggal. Rasanya ingin membawa pulang semua barang, karena nilai kenangannya, tapi tentu saja hal ini pun tidak mungkin. Terlalu memberatkan! Terutama bila semuanya harus kubawa sendiri, karena jasa kuli angkut tidak tersedia di Jepang! Wah! Hal ini membuatku berpikir berkali-kali untuk meringkaskan barang bawaan.
Sebagian barang kuhibahkan pada teman yang mau menampung. Maklum, barang-barang second hand biasanya tidak diminati. Rice cooker dan vacuum cleaner kutitipkan pada seorang teman, dengan pesan agar bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Futon (kasur gulung) dan karpet listrik kukirim pada seorang teman di Tokyo yang juga baru pindahan. Sebagian barang yang tidak penting tentu saja harus dikategorikan sebagai sampah yang harus dibuang. Sebagian lain kukirim dalam paket terpisah, terutama untuk barang yang ‘tidak terlalu berharga’. Bagiku, tentu semua barang sangat berharga karena nilai sejarahnya. Bagi orang lain mungkin tidak sedemikian besar nilainya. Barang lain yang betul-betul penting tentu saja kuupayakan untuk dibawa sendiri, untuk menghindari resiko rusak atau hilang dalam perjalanan. Persiapan pulang kali ini harus lebih rapi karena aku tidak akan kembali lagi ke Jepang. Pulang kali ini bukan untuk berlibur, jadi apartemen harus kutinggalkan dalam keadaan bersih, jangan sampai ada barang yang terlupa atau tertinggal, karena aku tidak akan mungkin untuk datang lagi hanya untuk menjemput seperai atau apapun yang terlupa untuk dibawa.
Di titik inilah aku baru memikirkan pentingnya persiapan untuk pulang yang sesungguhnya, pulang ke tempat ruh berasal. Selama ini aku hanya berpikir bahwa ajal itu pasti, dan suatu saat aku pun akan dijemputnya. Tapi persiapan lahir-batin belum kulakukan dengan sungguh-sungguh. Bila persiapan untuk pulang ke negara asal saja sedemikian ‘rapinya’, mengapa persiapan untuk pulang ke akhirat nanti tidak (atau mungkin belum) kupersiapkan dengan rapi juga? Padahal justru itulah yang lebih penting.
Apa yang harus ‘kubuang’? Dosa-dosa yang kulakukan. Hal-hal yang jelek, sikap dan tingkah laku yang tidak benar harus dibuang untuk tidak dilakukan lagi. Apa yang bisa ‘kukirim’ sedikit demi sedikit? Amal-amal harian yang relatif ringan untuk dilakukan tentu harus jadi kebiasaan. ‘Benda’ apa yang betul-betul penting untuk kubawa, sebagai ‘oleh-oleh’ untuk Sang Pencipta. Amal terbaik saja, yang disertai kesungguhan melakukannya.
Pengalaman tinggal di negeri orang membawaku pada pemikiran yang mendalam mengenai arti pulang yang sebenarnya. Semoga aku bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk kepulanganku ke negeri yang abadi kelak. Amiin.
Tapi ‘masa kos’ kali ini lain, soalnya aku tinggal selama 1,5 tahun di Jepang, dan selama itu sudah cukup untuk membuatku menambah berbagai barang untuk membuat kehidupan di negeri orang ini berjalan dengan lancar. Pendeknya, kamar kos atau apartemen tempat tinggal terakhirku itu fully furnished and comfortable to live in. Tapi masalahnya sekarang, adalah hal yang tidak mungkin untuk membawa semua barang pulang ke Indonesia karena benturan beberapa masalah. Ada barang yang memang tidak akan bisa kupakai di Indonesia, misalnya barang-barang elektronik yang memiliki perbedaan daya listrik. Tape-recorder ataupun rice cooker yang jadi peralatan standar di sana tentu saja harus ditinggal di Jepang, selain karena memang di Indonesia barang serupa sudah tersedia di rumah.
Selain itu, Jepang-Indonesia bukan suatu jarak yang dekat untuk ditempuh. Segala hal harus dipersiapkan dengan matang, jangan sampai ada yang terlupa atau tertinggal. Rasanya ingin membawa pulang semua barang, karena nilai kenangannya, tapi tentu saja hal ini pun tidak mungkin. Terlalu memberatkan! Terutama bila semuanya harus kubawa sendiri, karena jasa kuli angkut tidak tersedia di Jepang! Wah! Hal ini membuatku berpikir berkali-kali untuk meringkaskan barang bawaan.
Sebagian barang kuhibahkan pada teman yang mau menampung. Maklum, barang-barang second hand biasanya tidak diminati. Rice cooker dan vacuum cleaner kutitipkan pada seorang teman, dengan pesan agar bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Futon (kasur gulung) dan karpet listrik kukirim pada seorang teman di Tokyo yang juga baru pindahan. Sebagian barang yang tidak penting tentu saja harus dikategorikan sebagai sampah yang harus dibuang. Sebagian lain kukirim dalam paket terpisah, terutama untuk barang yang ‘tidak terlalu berharga’. Bagiku, tentu semua barang sangat berharga karena nilai sejarahnya. Bagi orang lain mungkin tidak sedemikian besar nilainya. Barang lain yang betul-betul penting tentu saja kuupayakan untuk dibawa sendiri, untuk menghindari resiko rusak atau hilang dalam perjalanan. Persiapan pulang kali ini harus lebih rapi karena aku tidak akan kembali lagi ke Jepang. Pulang kali ini bukan untuk berlibur, jadi apartemen harus kutinggalkan dalam keadaan bersih, jangan sampai ada barang yang terlupa atau tertinggal, karena aku tidak akan mungkin untuk datang lagi hanya untuk menjemput seperai atau apapun yang terlupa untuk dibawa.
Di titik inilah aku baru memikirkan pentingnya persiapan untuk pulang yang sesungguhnya, pulang ke tempat ruh berasal. Selama ini aku hanya berpikir bahwa ajal itu pasti, dan suatu saat aku pun akan dijemputnya. Tapi persiapan lahir-batin belum kulakukan dengan sungguh-sungguh. Bila persiapan untuk pulang ke negara asal saja sedemikian ‘rapinya’, mengapa persiapan untuk pulang ke akhirat nanti tidak (atau mungkin belum) kupersiapkan dengan rapi juga? Padahal justru itulah yang lebih penting.
Apa yang harus ‘kubuang’? Dosa-dosa yang kulakukan. Hal-hal yang jelek, sikap dan tingkah laku yang tidak benar harus dibuang untuk tidak dilakukan lagi. Apa yang bisa ‘kukirim’ sedikit demi sedikit? Amal-amal harian yang relatif ringan untuk dilakukan tentu harus jadi kebiasaan. ‘Benda’ apa yang betul-betul penting untuk kubawa, sebagai ‘oleh-oleh’ untuk Sang Pencipta. Amal terbaik saja, yang disertai kesungguhan melakukannya.
Pengalaman tinggal di negeri orang membawaku pada pemikiran yang mendalam mengenai arti pulang yang sebenarnya. Semoga aku bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk kepulanganku ke negeri yang abadi kelak. Amiin.
2 comments:
renungan yang dalam ... terima untuk berbagi ...
hmmm...benar - benar "kena" deh renungannya. kadang2 lupa kalau "berpulang" yg sesungguhnya di depan mata, bisa kapan saja...tp kenapa belum bisa "menyiapkan" diri lebih baik? :(
Post a Comment