Terinspirasi dari tulisan di blog-nya mbak Diana (berkas-cahaya), aku ingin juga mempublikasikan tulisan lamaku di sini. Temanya tentang nama pasaran... (Ternyata, yang punya nama Diah bahkan Diah Utami atau Diah Lestari, wah... banyak sekali!)
Sejak kecil, aku bercita-cita jadi guru, dan alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga. Setelah menjalani serangkaian tes dan wawancara, aku mulai mengajar di sebuah sekolah swasta di kawasan Bandung Utara.
Dari delapan orang rekan seangkatan, ada satu teman lain yang juga bernama Diah. Kompromi punya kompromi, harus ada salah satu yang rela mengubah nama panggilan. Okelah... aku ngalah... toh kadang temen-teman kuliah juga memanggilku "Di" atau "Di... Didi...!" Jadilah aku 'terkenal' sebagai "Bu Didi".
Aku dan Diah jadi akrab sejak awal. Ke mana-mana kami biasa barengan. Pada intinya sih supaya gampang ngasih petunjuk... yang mana Diah, yang mana Diah eh... Didi. Sementara aku mulai populer dengan nama Bu Didi, Diah yang satu lagi punya nama panggilan lain yang hanya beredar di kalangan guru tertentu. Kebetulan dia masih termasuk kalangan ningrat Sunda dengan gelar Nyi Raden di depan namanya. Maka dari itu, seorang guru senior kadang iseng memanggilnya "Bu Nyi" ;)
Setelah 5 tahun-an mengajar, nama bu Didi atau b'Deedee sudah melekat dan jadi trade mark-ku. Tapi rasanya, kadang-kadang be-te juga. Peluang untuk salah sangka jadi cukup besar juga sih... Dalam beberapa kesempatan berbincang dengan orang tua murid, kadang pembicaraan menyangkut ke hal-hal pribadi. Aku ngerti, mereka hanya bermaksud mengakrabkan diri, dan setelah ngobrol ke sana ke mari, dengan percaya diri, ada juga yang bertanya, "Pak Didi-nya kerja di mana ya bu?" Hmm... mereka pikir aku pakai nama suami, padahal suami saja belum punya. Kalau pembicaraan sudah sampai ke sana, maka bla...bla...bla... berbusa lagi deh mulut ini menceritakan sejarah munculnya nama bu Didi. Bosan juga kalau harus terus menceritakan kisah yang sama berulang kali. Tapi rupanya kisah ini beredar juga di kalangan orang tua murid. Lama-lama pertanyaan tentang 'Pak Didi' tidak muncul lagi. Mereka sudah mahfum bahwa 'Pak Didi'nya masih 'ghaib'. Hehe...
Beberapa waktu berselang, Bu 'Nyi' Diah mengundurkan diri dari sekolah tempatku mengajar, maka aku bertekad untuk 'mengembalikan kejayaan' nama Diah Utami. Hehe... Kuperkenalkan diriku sebagai 'Bu Diah' di depan murid-murid kelas 1, sekalian untuk menghindari kesalahpahaman panggil memanggil dengan Didi asli yang jadi muridku (Sebetulnya, namanya Zuhudi. Didi tuh cuma nama panggilan juga). Lucu aja kali ya kalau "Bu Didi berkata kepada Didi..." Haha... Sementara itu, kolega masih harus menyesuaikan diri dengan panggilan baru buatku. Ah, itu cuma masalah pembiasaan kok.
Baru 2 bulan-an mengajar di kelas 1, di bulan Oktober 2002 aku harus pergi meninggalkan sekolah tempatku mengajar dan baru kembali lagi di bulan Juni 2004.
Ketika bertemu dengan anak-anak yang sempat kuajar sebelumnya, dengan bersemangat mereka menyapaku, "Bu Diah, bu Diah, mengajar di sini lagi?" Duh.. bikin terenyuh hati. Iya nak... bu Diah akan kembali mengajar kalian. Sementara kakak kelas mereka masih teteup... memanggilku dengan sapaan Bu Didi. Rupanya, nama bu Didi sudah terlanjur lekat di benak mereka. Sudah terlanjur ngetop. Ya udah deh... pasrah aja. Teman-teman di tempatku ngajar sekarang ini,ada juga yang menyapaku dengan sebutan 'Mbak Didi'. Sok-lah, suka-suka aja. Siap-siap lagi nih menjelaskan tentang pak Didi yang 'masih ghaib' hingga hari ini. Hihi...
No comments:
Post a Comment