Monday, June 23, 2008

Sang Pemimpi

Baru kuselesaikan membaca buku itu (Sang Pemimpi). Isinya seolah terjemahan bebas dari The Secret-Rhonda Byrne, Mestakung-nya pak Yohanes Surya, atau apapun namanya. Ikal alias Andrea Hirata sudah mempraktikkannya ‘tanpa sadar’. Di SMA, salah seorang guru favoritnya, pak Balia, sering mengiming-imingi murid di kelasnya dengan gambaran tentang bersekolah di Perancis, menjelajah hingga Afrika, dsb dst. Gambaran itu masuk dalam benaknya dan Arai. Mereka berupaya mewujudkan mimpi itu, dan ‘semesta’ mendengar pinta hati mereka untuk kemudian memberi dukungan hingga terwujudnya mimpi itu. Mereka (Sungguh, tidak ada kebetulan. Semua sudah ada dalam rencana Allah Maha Sempurna) pun berhasil pergi dan belajar ke Universite de Paris di Sorbonne, Perancis, dengan sokongan beasiswa dari Uni Eropa.
Jika aku sempat ’mengambil jeda’ dari membaca “Sang Pemimpi” di pertiga buku itu, aku lalu menuntaskan sepenggal demi sepenggal dalam berbagai kesempatan hingga menyelesaikan pertiga akhir dari buku itu menjelang tengah malam. Keesokan harinya aku segera berlanjut membaca buku ketiga dalam tetralogi Laskar Pelangi itu, “Edensor”, dengan kegairahan yang juga kental. Seolah berlari sprint, seperti ingin membayar utang atas waktu membaca yang lama tak terbayar. Kulahap setiap kata dalam buku itu dalam waktu sehari saja. Aku ingin segera tahu akhir dari bagian ketiga pengalaman Andrea Hirata. Pencariannya akan cinta pertamanya hingga ke tengah benua Afrika, dan diakhiri dengan deja vu tentang desa Edensor yang indah, yang telah teramat sering dibacanya dari novel pemberian sang kekasih bertahun berselang. A Ling yang dicarinya tak kunjung ditemui. Jangan khawatir, aku yakin sesunggunya dia tak jauh. Dia mungkin juga telah membaca novelmu berulang kali, tersenyum dan menangis ‘bersamamu’, hingga menunggumu untuk menemukannya lagi. Mungkin dia ada di Jakarta, tak berpindah sejak pertama kali meninggalkan Belitong, atau bahkan ada di Bandung, dan akan segera menemui. Anytime.
Edensor. Gaya bahasanya tetap asyik untuk diikuti, dengan pengalaman backpacking seru yang dialami Arai dan Ikal, yang rasanya agak mengada-ada, tapi diyakini kebenarannya. Tetralogi Laskar Pelangi itu sungguh-sungguh based on true story. Itu kisah asli backpacker Indonesia, yang berhasil menyerukan “Indonesia Raya” di tengah pertarungan sengit sesama backpackers yang juga adalah classmates di universitas tempat mereka belajar. Aduh… jadi ngiler, pengen bertualang seperti itu juga. Teman-teman perempuan Ikal, si Stansfield the Brit dengan modal trombone dan Townsend the Yankee dengan bekal akordeon saling bersaing untuk uji nyali berkeliling Eropa (walaupun akhirnya berubah haluan). Bahkan Ninoch, si kecil yang melengkapi diri dengan papan catur saja, bermodalkan kecerdasan catur di atas rata-rata, ternyata juga punya nyali Grand Master untuk menaklukkan belahan dunia utara itu. Semua perempuan itu berani backpacking (bahkan sendirian!!!). Aku cuma berani kalau ada teman. Hehe… Ada yang mau backpacking barengan? Menjelajah Asia, ayo. Ke Eropa juga seru kayaknya. Tapi pasti lebih asyik kalau ada penyandang dana. Hehe… Ada yang mau jadi penyandang dana, atau partner jalan merambah dunia? Nggak dapat sponsor, kayaknya berani juga-lah nyambi jadi seniman jalanan. ;) Sudah lama juga sempat punya keinginan jadi pengamen. Eh... Beneran! Jiwa petualangku sedang berkobar-kobar nih...!

3 comments:

Diana said...

Waaaah, ketinggalan jauh sm mbak Diah. Laskar pelangi masih blm usai dibaca, 2 buku selanjutnya sih udah nangkring dg manisnya di rak tapi msh berplastik. hayu ngebut juga aahh... Ngurusin klien jd begini & terlalu byk bacaan saingan, hehe... nyari justifikasi!

Diah Utami said...

Saya juga sedang 'ngumpulin' bahan bacaan lagi untuk di-"restore" di dalam kepala. Apa yang baik, mudah-mudahan bisa dipraktikkan ya, atau setidaknya jadi inspirasi untuk berbuat lebih baik. ;) Insya Allah. Amiin.

lina said...

great books...pelepas dahaga setelah mual ama buku-buku yg judulnya ,something-something, cinta....hehehe

Koleksi Memori