Monday, July 14, 2008

Ayat-ayat Cinta, the Movie

Beberapa waktu lalu, teman-temanku ramai membicarakan film adaptasi dari novel karya kang Abik ini. Sibuk nyari soundtract filmnya untuk ditambahkan ke MP3 mereka, atau mengadaptasi gaya Rianti Cartwright alias Aisha dalam film ini. Tanpa cadar, tentunya. Wah... pokoknya sibuk berat! Aku sih, seperti biasa, tak ikut arus trendi, walaupun mengikuti juga perkembangan berita yang terjadi di sekitar.

Baru beberapa hari yang lalu, aku sempat nonton film fenomenal itu. Fenomenal, karena novelnya saja punya ‘nafas’ baru di kalangan penulisan karya sastra terutama novel, yang kemudian melahirkan ‘aliran baru’ sastra Islami. Filmnya ditunggu banyak orang, bahkan presiden Yudhoyono sendiri ikut menonton film ini. Aku sendiri? Ketinggalan banget. Ketika dulu diajakkin teman untuk ke bioskop, sok sibuk aja sampai nggak menyempatkan diri. Lagipula, kupikir aku bisa beli VCDnya dan nonton film itu kapan-kapan. Dan demikianlah kejadiannya.

Resensi film yang menyatakan begini dan begitu memang sudah cukup banyak kudengar. Yang jelas, pada intinya, film itu sedikit berbeda dengan novelnya. Tak akan terkejut aku saat menonton film itu. Tapi tak ayal, aku agak kecewa juga. Ada beberapa bagian yang sangat berbeda dengan novel cantiknya. Selain itu, para pemeran utama di film itu yang jelas-jelas bukan muhrim, ternyata melakukan banyak kontak fisik, bahkan hingga pelukan dan... ciuman.

Selain itu, adegan Fahri talakki di depan ustadznya jelas-jelas dubbing, padahal kabarnya Fedi Nuril (pemeran Fahri) sudah berusaha keras untuk menghafal dan melafadzkan bacaan quran sebaik mungkin. Kentara sekali perbedaan suaranya. Hal lain yang membuatku tidak pro pada film ini adalah ketika konsep poligami dipraktikkan secara (menurutku) salah kaprah. Ketika ketiga orang itu tinggal bersama di satu rumah –walaupun ceritanya Fahri sudah menikah, sah, dengan kedua wanita itu-, di kamar yang bersebelahan, dengan pembagian giliran yang tidak ditetapkan sejak awal. Fahri bingung, Aisha dan Maria pun demikian. Di sini, penonton yang nggak ngerti pun akan terseret arus kebingungan. Salah konsep.

Zaman rasulullah dulu, setahuku memang terjadi kecemburuan di kalangan istri rasul, saling ‘bersaing’ untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari rasulullah, tapi tentu saja masih dalam koridor adab yang sangat terjaga. Iyalah... rasul beserta istri-istrinya tentu akan segera diingatkan Allah bila mereka lengah. Sedangkan kita di zaman sekarang ini, hm... banyak-banyaklah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dan jangan lupa untuk selalu minta petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT dalam setiap langkah kita. Semoga Dia rela, beriku mudah (potongan dari salah satu lagu yang kugubah, "Hariku"). Amiin.

No comments:

Koleksi Memori