(Kali ini, copy-paste dari Republika.or.id, edisi Jumat, 08-08-08)
Dalam buku kecilnya yang berjudul Fi Al Hilah li Daf'i Al Ahzan (Kiat Melawan Kesedihan), Al Kindi mendefinisikan kesedihan sebagai gangguan psikis (neurosis) yang terjadi karena kehilangan hal-hal yang dicintai dan sangat diinginkan.
Orang yang menjadikan kecintaan dan keinginan yang bersifat indriawi, maka ia akan menjadi sedih jika kecintaan dan keinginan yang bersifat indriawi itu hancur, hilang, atau musnah. Termasuk, dalam hal itu adalah kecintaan akan kekasih, orang tua, anak, keluarga, warisan, harta benda, jabatan, dan sebagainya.
Manusia akan selalu mengalami kehilangan sesuatu yang dicintainya. Oleh karena itu, kita tidak boleh bersedih karena kehilangan sesuatu atau kehilangan yang kita cintai. Sebaliknya, kita harus membiasakan diri dengan kebiasaan yang mulia dan rela terhadap segala keadaan agar selalu bahagia.
Karena, kesedihan adalah gangguan psikis. Maka, kita harus mencegah gangguan psikis ini sebagaimana kita mencegah gangguan fisik. Menurut Al Kindi, menyembuhkan gangguan psikis lebih penting karena kita memiliki jiwa, sedangkan fisik hanyalah alat bagi jiwa. Tindakan fisik menjadi suci karena tindakan jiwa. Maka, intinya lebih baik memperbaiki jati diri kita dibanding memperbaiki alat (fisik) kita.
Kemudian, ia mengatakan, ''Kita harus sabar dalam memperbaiki diri melebihi kesabaran kita dalam menyembuhkan gangguan fisik.'' Apalagi, penyembuhan jiwa lebih ringan dari segi biaya dan ketidaknyamanan dibanding gangguan fisik. Perbaikan diri hanya dapat dilakukan dengan kekuatan tekad atas orang yang memperbaiki diri kita, bukan dengan obat yang diminum, bukan dengan deraan besi ataupun api, bukan pula dengan uang. Tetapi, lakukan dengan disiplin diri dan kebiasaan yang terpuji dari hal-hal kecil dan sepele. Kemudian, meningkat pada tahap pembiasaan pada hal-hal yang lebih besar.
Sesungguhnya, manusia cenderung ingin memiliki banyak hal yang tidak primer dalam menegakkan jati dirinya dan kebaikan hidupnya. Semua itu membuatnya menderita dalam mencarinya, bersedih karena kehilangannya, dan menyesal karena berlalunya.
Padahal, apa yang kita klaim sebagai 'milik' adalah titipan Allah dan Allah bisa mengambil titipan itu kapan saja jika Dia mau. Kita tidak boleh bersedih karena kehilangannya. Mahabenar firman Allah SWT dalam surat Albaqarah (2) ayat 155-156, ''Dan, sesungguhnya akan Kami beri cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya kita itu milik Allah dan kepada Allah-lah kita kembali).''
4 comments:
If al-Kindi's definition of sadness is "kesedihan sebagai gangguan psikis (neurosis) yang terjadi karena kehilangan hal-hal yang dicintai dan sangat diinginkan", would Saiyidatina Fathimah Az-Zahra's extreme sadness after her father's return to Allah, count as she being neurotic and suffering from psychotic disturbance? Remeber this lady was counted as one of the four perfect women.
Fathimah tidak menjadikan kecintaannya pada ayahnya sebagai sesuatu yang indrawi, so she didn't suffer from extreme sadness. Besides, she knows exactly that they will be reunited in the hereafter. Insya Alah. Yes. She was one of the perfect women. I agree.
Then al-Kindi should make his definition more clear rather than just "mendefinisikan kesedihan sebagai gangguan psikis (neurosis) yang terjadi karena kehilangan hal-hal yang dicintai dan sangat diinginkan." This definition would cover all kinds of sadness.
Ya... you can tell Al Kindi yourself ya. ;)
Post a Comment