Dari sekolah udah nggak enak hati. Entah kenapa. Ashar, sajadah sempat basah air mata. Kuputuskan, langsung pulang saja, atau mampir di warnet sebentaran.
Di persimpangan dekat hotel Horison, sudah setengah jalan menuju rumah, lampu lalu lintas rasanya tak memihak padaku. Sudah dua kali berganti hijau, aku belum juga kebagian jalan. Be-Te berat jadinya. Untuk yang ketiga kalinya, ketika aku sudah di ujung perempatan, lampu berganti merah. Ah, tanggung... pikirku. Mundur sudah tak mungkin, ngerem mendadak juga susah (makanya, Dee... kalo lampu sudah kuning, perlambat laju kendaraan!)
"Priit!" tidak nyaring sih suara peluit sang polantas yang sedang bersiap di seberang, tapi jelas terdengar di telinga yang sedang gundah ini. (ada ya, telinga gundah? hehe...)
'Wah, kena deh.' dengan patuh aku menepi. Pak polisi menghampiri.
"Sore, bu. Sedang buru-buru?"
"Tidak sih pak. Dalam perjalanan pulang." jawabku. Dimintanya SIM dan STNK. No problem with it. Surat-surat lengkap dan legal.
"Ada waktu untuk ditilang, bu? Sidang ke pengadilan?" tanyanya lagi. Wah, bisa pake prosedur lain kan untuk bayar denda tilang? Jangan sangka saya mau 'jalan damai'. Kupindahkan parkir mobil di jalan depan. Sedikit. Lalu kuhampiri polisi yang tak sempat kuperhatikan nametag-nya.
Lalu terjadilah dialog berputar-putar. Dia tak mau menyebutkan berapa denda yang harus kubayar karena aku sudah melanggar lampu lalu lintas. Dia bilang, "Terserah ibu saja." LHO, kok begitu? Bertahun lalu, aku pernah juga ditilang polisi (padahal kesalahanku mestinya bisa ditolerir. tapi itu cerita lain), dan disodori tabel jenis pelanggaran lalu lintas beserta jumlah denda yang harus dibayar. Dulu itu, sebetulnya, aku juga nggak salah-salah amat, tapi polisinya ngotot aja. Aku yang nggak mau memperpanjang soal, akhirnya ya mesti mau ngalah dan mbayar denda ke bank, lalu menukarkan bukti pembayaran denda dengan SIM yang sudah cacat kena staples.
Kali ini, aku juga bersikeras dengan prinsipku. Bila aku melanggar peraturan, sebagai warga negara yang baik, ya harus mau terima konsekuensi. Aku mau bayar denda, tapi mesti jelas dong. Berapa? Males berdebat kali, si polisi bilang,"Daftarnya ketinggalan di kantor." Aku nggak mau terima alasan itu. Nggak bereaksi, aku duduk mematung di seberangnya.
Akhirnya setelah menarik napas panjang beberapa kali, kubilang,"Wah... ini memang sudah nggak enak hati sejak dari tempat kerja. Rupanya firasat mau ketemu bapak kali, ya?"
"Memangnya kenapa?" si bapak rada nyolot juga.
"Maksud saya, saya emang harus kena tilang kali. Menggenapkan masalah yang terjadi di tempat kerja." Aku nggak bermaksud cengeng, tapi mataku berair juga. Si pak polisi, entah sebel entah mangkel, entah putus asa karena aku tak juga mau 'berdamai', akhirnya menyerahkan SIM dan STNK-ku kembali.
"Ya sudahlah, ini, saya kembalikan (SIM & STNK-nya). Ibu punya masalah dengan orang lain, biar saja deh, saya ridho (tidak menilang ibu)" LHO lagi! Aku masih ngotot di situ. Kubilang, aku tahu aku salah, sudah melanggar lampu merah, dan aku mau bayar denda. Tapi berapa? Yang jelas dong! Sebutkan angka, biar kubayar via bank, dan menyelesaikan urusanku lainnya.
Tapi akhirnya dia 'melepaskan' aku. Dia bilang lagi,
"Sudahlah bu, pergi saja. Kalau sampai atasan saya lewat sini dan melihat ibu (berlinang air mata begini), nanti saya disangka ngapa-ngapain, lagi." Aku jadi pengen ketawa juga, dikit. Aku lalu sibuk merogoh tas-ku. Nyari tissue, nggak ketemu!
Yah... akhirnya aku pergi saja deh. Kubilang pada pak polisi,"Semoga urusan bapak dimudahkan." Eh... dia kelihatannya sebel lagi.
"Maksud saya, pak. Hari ini bapak sudah memudahkan urusan saya, semoga urusan bapak juga diberi kemudahan." Aku kemudian berlalu. Dia juga sempat bilang,
"Yah, saya juga mau mengatur lalu lintas lagi. Masih banyak yang melakukan pelanggaran." NAH itu, pak! Aku bukan satu-satunya pelaku pelanggaran (dan itupun karena aku dalam kondisi gundah, bukan pelanggar lalu lintas rutin).
Ah, sudahlah. Aku pergi. Masih kesel. Jadinya pengen nangis!!! Akhirnya kujalankan kendaraan pelan-pelan. Pasang kacamata hitam, lalu membiarkan airmata kesalku turun satu-satu. Lama-lama, jalanan gelap juga ya? Hehe... Namanya juga sudah menjelang maghrib, ya gelap-lah. Kubuka kacamata hitam. Biarlah, orang lain tak akan melihat mata sembabku. Nyampe rumah, segera cuci muka, shalat, dan tidurr...! Batal mampir ke warnet, tapi batal ditilang juga kan...? ;)
Di persimpangan dekat hotel Horison, sudah setengah jalan menuju rumah, lampu lalu lintas rasanya tak memihak padaku. Sudah dua kali berganti hijau, aku belum juga kebagian jalan. Be-Te berat jadinya. Untuk yang ketiga kalinya, ketika aku sudah di ujung perempatan, lampu berganti merah. Ah, tanggung... pikirku. Mundur sudah tak mungkin, ngerem mendadak juga susah (makanya, Dee... kalo lampu sudah kuning, perlambat laju kendaraan!)
"Priit!" tidak nyaring sih suara peluit sang polantas yang sedang bersiap di seberang, tapi jelas terdengar di telinga yang sedang gundah ini. (ada ya, telinga gundah? hehe...)
'Wah, kena deh.' dengan patuh aku menepi. Pak polisi menghampiri.
"Sore, bu. Sedang buru-buru?"
"Tidak sih pak. Dalam perjalanan pulang." jawabku. Dimintanya SIM dan STNK. No problem with it. Surat-surat lengkap dan legal.
"Ada waktu untuk ditilang, bu? Sidang ke pengadilan?" tanyanya lagi. Wah, bisa pake prosedur lain kan untuk bayar denda tilang? Jangan sangka saya mau 'jalan damai'. Kupindahkan parkir mobil di jalan depan. Sedikit. Lalu kuhampiri polisi yang tak sempat kuperhatikan nametag-nya.
Lalu terjadilah dialog berputar-putar. Dia tak mau menyebutkan berapa denda yang harus kubayar karena aku sudah melanggar lampu lalu lintas. Dia bilang, "Terserah ibu saja." LHO, kok begitu? Bertahun lalu, aku pernah juga ditilang polisi (padahal kesalahanku mestinya bisa ditolerir. tapi itu cerita lain), dan disodori tabel jenis pelanggaran lalu lintas beserta jumlah denda yang harus dibayar. Dulu itu, sebetulnya, aku juga nggak salah-salah amat, tapi polisinya ngotot aja. Aku yang nggak mau memperpanjang soal, akhirnya ya mesti mau ngalah dan mbayar denda ke bank, lalu menukarkan bukti pembayaran denda dengan SIM yang sudah cacat kena staples.
Kali ini, aku juga bersikeras dengan prinsipku. Bila aku melanggar peraturan, sebagai warga negara yang baik, ya harus mau terima konsekuensi. Aku mau bayar denda, tapi mesti jelas dong. Berapa? Males berdebat kali, si polisi bilang,"Daftarnya ketinggalan di kantor." Aku nggak mau terima alasan itu. Nggak bereaksi, aku duduk mematung di seberangnya.
Akhirnya setelah menarik napas panjang beberapa kali, kubilang,"Wah... ini memang sudah nggak enak hati sejak dari tempat kerja. Rupanya firasat mau ketemu bapak kali, ya?"
"Memangnya kenapa?" si bapak rada nyolot juga.
"Maksud saya, saya emang harus kena tilang kali. Menggenapkan masalah yang terjadi di tempat kerja." Aku nggak bermaksud cengeng, tapi mataku berair juga. Si pak polisi, entah sebel entah mangkel, entah putus asa karena aku tak juga mau 'berdamai', akhirnya menyerahkan SIM dan STNK-ku kembali.
"Ya sudahlah, ini, saya kembalikan (SIM & STNK-nya). Ibu punya masalah dengan orang lain, biar saja deh, saya ridho (tidak menilang ibu)" LHO lagi! Aku masih ngotot di situ. Kubilang, aku tahu aku salah, sudah melanggar lampu merah, dan aku mau bayar denda. Tapi berapa? Yang jelas dong! Sebutkan angka, biar kubayar via bank, dan menyelesaikan urusanku lainnya.
Tapi akhirnya dia 'melepaskan' aku. Dia bilang lagi,
"Sudahlah bu, pergi saja. Kalau sampai atasan saya lewat sini dan melihat ibu (berlinang air mata begini), nanti saya disangka ngapa-ngapain, lagi." Aku jadi pengen ketawa juga, dikit. Aku lalu sibuk merogoh tas-ku. Nyari tissue, nggak ketemu!
Yah... akhirnya aku pergi saja deh. Kubilang pada pak polisi,"Semoga urusan bapak dimudahkan." Eh... dia kelihatannya sebel lagi.
"Maksud saya, pak. Hari ini bapak sudah memudahkan urusan saya, semoga urusan bapak juga diberi kemudahan." Aku kemudian berlalu. Dia juga sempat bilang,
"Yah, saya juga mau mengatur lalu lintas lagi. Masih banyak yang melakukan pelanggaran." NAH itu, pak! Aku bukan satu-satunya pelaku pelanggaran (dan itupun karena aku dalam kondisi gundah, bukan pelanggar lalu lintas rutin).
Ah, sudahlah. Aku pergi. Masih kesel. Jadinya pengen nangis!!! Akhirnya kujalankan kendaraan pelan-pelan. Pasang kacamata hitam, lalu membiarkan airmata kesalku turun satu-satu. Lama-lama, jalanan gelap juga ya? Hehe... Namanya juga sudah menjelang maghrib, ya gelap-lah. Kubuka kacamata hitam. Biarlah, orang lain tak akan melihat mata sembabku. Nyampe rumah, segera cuci muka, shalat, dan tidurr...! Batal mampir ke warnet, tapi batal ditilang juga kan...? ;)
2 comments:
nangis memang bisa jd senjata yg ampuh buat membebaskan kita dari tilang, mbak... :)
ahahaha keren juga tuh
dari Briptu Rosi
Post a Comment